Tampilkan postingan dengan label Ilha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilha. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Maret 2020

Part 2: Kuliah Sirah Nabawiyyah

Banyak tauladan dalam mengkaji pernikahan Nabi, bukan hanya persoalan berapa jumlah perempuan yang Nabi Nikahi sehingga melahirkan stigma Sunnah Nabi dalam pernikahan adalah poligami. Berikut pemaparan pemakalah:

Selain sebagai pemimpin umat islam, nabi juga menjadi seorang suami dari para istri-istrinya. Tentu kita sebagai umat islam tidak hanya mencontoh nabi dalam urusan ibadah saja, melainkan juga dalam hal berinteraksi sosial kita juga harus bisa meniru nabi, termasuk juga dalam berhubungan dengan istri. Dalam hubungan berkeluarga khususnya hubungan antara suami dan istri, nabi tentunya sudah memberikan banyak sekali suri tauladan yang sangat baik untuk ditiru atau diikuti. Selain memang untuk menghargai seorang wanita juga untuk memberi contoh kepada umatnya agar tidak sewenang-wenangnya terhadap seorang istri. Berikut adalah beberapa sikap atau akhlak nabi terhadap istri-istrinya:
A. Menghibur disaat istri sedang sedih
Nabi Muhammad merupakan suami yang sangat mengerti akan keadaan istrinya. Jika nabi menemui seorang istrinya sedang dalam keadaan bersedih, maka cepat-cepat nabi mengusap air mata yang menetes di pipinya serta menghiburnya sampai kesedihan itu diganti dengan senyuman.
Pernah suatu ketika nabi mendatangi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mendapati Shafiyyah dalam keadaan sedang menangis. Lalu beliau bertanya kepadanya, “apa yang membuatmu menangis?” Shafiyyah menjawab, “Hafshah (istri nabi yang lain) berkata bahwa aku anak orang yahudi.” Lalu beliau berkata, “katakanlah padanya suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!”. Disitu terlihat bahwa nabi menyelesaikan masalah dan menghibur istri yang sedang bersedih lewat kata-kata sederhana namun sangat mengandung makna yang dalam.

B. Penuh kasih dan sayang
Sikap romantis terhadap istri merupakan suatu upaya untuk bisa menjaga keharmonisan agar cinta tetap terjaga dan tumbuh didalam hati. Nabi adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan atau derajat para istrinya dan sangat menghormati mereka.
Diceritakan nabi pernah menggendong mesra sayidah A’isyah  ketika melihat orang-orang habsyi bermain-main di pelataran masjid. Nabi juga pernah mengajak A’isyah berlomba lari dan A’isyah mencuri kemenangan atas nabi. Nabi pun menyematkan panggilan kesayangan kepada A’isyah: “yaa humaira” duhai istriku yang pipinya kemerah-merahan.

C. Tidak membebani istri
Nabi senantiasa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Nabi tidak pernah membebani istrinya dengan sesuatu yang bisa nabi kerjakan sendiri. Bahkan nabi menyulam sendiri pakaiannya yang robek. A’isyah pernah ditanya tentang apa yang dilakukan nabi di rumahnya? Ia menjawab, “beliau selalu melayani istrinya.”

Melibatkan istri dalam mengambil suatu putusan
Nabi kerapkali mencurahkan kepada istrinya terkait persoalan yang tengah dihadapinya, dengan bercerita kepada istrinya, nabi berharap akan mendapatkan solusi. Hal ini terlihat ketika nabi meminta pendapat Ummu Salamah saat perjanjian Hudaybiyah.

D. Tidak pernah menyakiti istri
Suatu ketika sayidah A’isyah berbicara dengan nada tinggi kepada nabi, sayyidina Abu Bakar yang saat itu sedang berada di kediaman nabi mendengar dan tidak rela kalua nabi diperlakukan seperti itu, meski oleh anaknya sendiri. Bahkan, sayyidina Abu Bakar berusaha untuk memukul A’isyah,. Tapi nabi buru-buru mencegahnya. Nabi tidak ingin istrinya tersakiti, meski oleh orang tuanya sendiri atau bahkan nabi sendiri.

Dari sikap-sikap tersebut, sebagai pengkaji hadis, adanya hadis-hadis yang menceritakannya, memandang kedudukan Nabi dalam hadis tsb sebagai Nabi, Rasul, Suami, Manusia biasa or manusia super?

Kamis, 26 Mei 2011

Studi kitab As-Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah Karya Dr. Yusuf Qardhawi



 oleh: M. Achwan Baharuddin
       A.     Pendahuluan
Al-Quran adalah sumber utama dan pertama dalam islam, sedangkan hadis-hadis Nabi adalah sumber kedua setelah al-Quran dalam islam. Melihat hal ini, hadis Nabi yang berasal dari tutur kata, prilaku maupun Nabi yang hidup pada beberapa abad lalu sudah bias dipastikan terpengaruh dengan situasi dan kondisi masa lalu sehingga membutuhakan sebuah pemahaman baru terhadap hadis-hadis Nabi, ini tidak terlepas dari al-Quran sebagai sumber pertama dan utama yang juga menuntut pemahaman yang sesuai dengan situasi dan kondisi jaman sekarang.
Banyak usaha-usaha yang dilakukan para sarjana muslim dalam menjaga keontetikan hadis-hadis Nabi, salah satu usaha tersebut seperti yang dilakukan oleh Yusuf Qardhawi. Dia berusaha memberikan metodologi pemahaman hadis-hadis Nabi melalui bukunya al-Madkhal ila sunnah. Sedangkan buku Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah adalah sebuah buku yang mengeksplorasi metode-metode tersebut sehingga menuntut pembaca untuk membacanya, terlebih bagi mahasiswa Tafsir-Hadis. Untuk lebih jauh mengenai isi dari Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah, lihat laman Studi Hadis.

STUDI KITAB IBANAH AL-AHKAM

Oleh: M. Achwan Baharuddin

A.     Pendahuluan
Sejarah telah membuktikan pada mata dunia bahwa kejayaan Islam itu dapat dilihat dari banyaknya karya-karya yang ditulis oleh ulama-ulama / intelektual-intelektual muslim. Mereka adalah pahlawan yang menegakkan sendi kejayaan Islam pada Abad Pertengahan.
Karya-karya tersebut masih banyak yang tetap langgeng sampai pada generasi sekarang. Dan diantara sekian dari karya-karya intelektual muslim itu adalah kitab Bulugh Al-Maram yang ditulis oleh ulama mutaakhkhirin Ibn Hajar Al-Asqolaniy (773 – 852 H). Karya tersebut mendapat banyak sambutan dari intelektual-intelektual sesudahnya. Diantara mereka juga banyak yang berusaha men-syarahi-nya. Salah satu ulama yang men-syarahi kitab tersebut adalah As-Sayyid ‘Alawiy Al-Malikiy (1328 – 1391 H) dengan kitabnya yang terkenal dengan nama Ibanah Al-Ahkam. Selanjutnya  
lihat laman Studi Hadis