Selasa, 26 Juni 2018

Relativisme Moral George Bernard Shaw


oleh : Choirul Azka
   A.Pendahuluan
Ada berbagai macam definisi tentang relativisme, tetapi disini pemakalah akan menguraikan tentang arti relativisme khususnya akan dibahas mengenai tokoh George Bernard Shaw tentang relativisme nilai.
B. Pembahasan
1. Biografi George Bernard Shaw        
George Bernard Shaw lahir pada 26 Juli 1856 di Dublin, sebagai anak dari George Carr Shaw, yang dalam perdagangan gandum grosir dan Lucinda Elisabeth Shaw, putri seorang pemilik tanah miskin. Masa kanak-kanak Shaw merasa terganggu. Ayahnya adalah seorang pemabuk.
Shaw pergi ke Wesleyan Connexional Sekolah, kemudian pindah ke sebuah sekolah swasta dekat Dalkey dan kemudian ke Dublin's Central Model Sekolah, mengakhiri pendidikan formal di Dublin Inggris Ilmiah dan Umum Hari Sekolah. Pada usia 15 ia mulai bekerja sebagai pegawai junior. Pada tahun 1876 ia pergi ke London, bergabung dengan kakak dan ibunya. Shaw tidak kembali ke Irlandia selama hampir tiga puluh tahun.
      Shaw memulai karir sastra dengan menulis kritik musik, teater dan novel. Pada tahun 1884 bergabung dengan Shaw Fabian Society, sebuah kelompok sosialis kelas menengah dan bertugas di komite eksekutif 1885-1911.
      Shaw adalah orang yang berpaham rasional radikal, ia sama sekali mengabaikan konvensi, minat dialektika dan kecerdasan verbal sering mengubah panggung menjadi sebuah forum ide-ide dan tempat lebih terbuka, yang ketiga tindakan dari dramatisasi mengejar cinta wanita manusia, Man dan Superman (1903).
       George Bernard Shaw meninggal dunia di Ayot St Lawrence, Hertfordshire, pada tanggal 2 November 1950. Selama karirnya yang panjang, Shaw menulis lebih dari 50 naskah drama. Dia adalah seorang novelis, kritikus, esaias, politikus dan orator Irlandia yang menetap di Inggris.[1]
2. Pengertian Relativisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Relativisme adalah pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas.
Sebelum melangkah ke pembahasan yang lebih mendalam, ada baiknya mengetahui dahulu arti relativisme secara bahasa dan istilah. Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho.
Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah, baik atau buruk itu tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
3. Sejarah munculnya pham Relativisme dan perkembangannya
Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490SM - 420SM), tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis pertama dan juga yang paling terkenal. Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai orator dan pendebat ulung. Ia berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi orang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang tersebut.
Di zaman Barat postmodern doktrin ini dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya adalah relativisme. Kemudian relativisme berkembang pada peradaban modern yang didasarkan atas dasar rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusionisme dan hedonisme. Paham ini selalu terkait dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-20 paham ini mendapat dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian kemanusiaan seperti Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain.
Dalam bukunya Ethical Judgment, Edel memperinci beberapa faktor suburnya relativisme pada abad ke-20. Pertama, pandangan bahwa peradaban dan kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia, menurut Darwin, adalah bagian daripada dunia hewan. Kebenaran tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan itu tidak dikenali serta nun jauh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia.
Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern mengukur baik dan buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan manusia di lapangan sosial.
Ketiga, Teori ekonomi dan pandangan psikologi modern juga tidak kurang pentingnya dalam ikut menyuburkan relativisme, seperti misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner.
Keempat, Relativisme juga muncul kerana manusia tidak lagi mengetahui jalan yang bisa menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari hewan bahkan benda.
4. Aliran-Aliran Relativisme
a. Relativisme Etika
Relativisme etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku untuk semua orang di mana saja.
Pengertian lain, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip etika yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip etika bersifat relatif terhadap budaya atau individu tertentu. Sebagai contoh, membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan pembunuhan.
Tidak sedikit filsuf yang menganut aliran ini. Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benar-salahnya sesuatu tergantung pada individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa ‘penilaian moral’ (moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu, sementara Hegel menegaskan bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang salah.
Kesimpulan dari paham ini yaitu tindakan yang dianggap tidak beretika di satu tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku, budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif.
b. Relativisme Budaya
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etika. Relativisme etika berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya.
Sisi positif dari paham relativisme budaya ini adalah dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya sekitarnya, dan tidak pernah menganggap bahwa budayanya adalah budaya yang terbaik. Sedangkan dampak negatifnya bisa dirasakan oleh suatu negara, misalkan jika Indonesia sudah memiliki paham relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka secara otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada imigran tersebut.
c. Relativisme Agama
Lain halnya dengan relativisme etika dan budaya, inilah ujung dari paham relativisme yang sangat mengkhawatirkan, yaitu relativisme agama. Paham ini mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.
Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya, penganut paham ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu relatif. Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para ulama itu menjadi relatif, demikian pula pemahaman hukum para ulama juga relatif. Karena sifatnya relatif dan tidak absolut maka ilmu para ulama tidak dapat dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki otoritas dan tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para pelajar Muslim penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti kepada fatwa Majelis Ulama atau sejenisnya.[2]
5. Norma moral bersifat objektif dan universal
Jika kita setuju bahwa norma moral pada dasarnya Absolute maka sudah dapat diterima juga bahwa norma itu bersifat objektif dan universal dengan mempelajari objektivitas dan universalitas norma moral kita hanya memandang aspek lain dari kenyataan yang sama dalam tata urutan norma moral secara implisit sudah tercantum objektivitas dan universalitasnya. Karena itu disini kita sebenarnya tidak membahas sesuatu yang baru, akan menjadi jelas juga bahwa sama seperti keabsolutan norma mural objektivitas dan universalitasnya pun harus dimengerti dengan nuansa yang semestinya.
a.    Objektivitas  norma moral
Ketika kita mempelajari nilai pada umumnya kita lihat bahwa suatu nilai selalu berkaitan dengan subjek. Dalam arti itu suatu nilai bersifat subjektif hal itu bisa dikatakan tentang semua nilai, termasuk juga nilai moral. Nilai selalu merupakan nilai untuk seseorang. Mustahil Allah suatu nilai pada dirinya, terlepas dari penilaian oleh subjek apapun. Ciri subjektif itu telah kita pelajari dengan membandingkan nilai dengan fakta. Perbedaannya adalah bahwa Fakta pada dirinya tanpa kehadiran saksi mata memang mungkin sedangkan nilai selalu merupakan nilai bagi seseorang. Bahwa buah durian jatuh dari pohon merupakan suatu fakta walaupun tidak ada orang yang menyaksikan kejadian itu tapi bahwa buah durian enak untuk dimakan atau laris kalau dijual di Pasar, adalah nilai yang berkaitan dengan penilaian seseorang atau sekelompok orang karena nilai moral menyatakan suatu norma moral maka dalam norma moral pun ada unsur subjektif.
b.    Universalitas norma moral
Kalau norma moral moral bersifat Absolut maka tidak boleh tidak norma itu harus juga universal artinya harus berlaku selalu dan di mana-mana. Mustahil Allah norma moral yang berlaku di suatu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain. Hal itu memang dapat terjadi dengan norma hukum atau yang didasarkan pada undang-undang yang berbeda tapi tidak mungkin terjadi dengan norma moral bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang melindungi rahasia bank sedangkan negara lain tidak punya, tapi sulit untuk dibayangkan bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja tapi tidak berlaku di tempat lain.[3]

6. Pemikiran George Bernard Shaw
Pemikiran Shaw tentang relativisme budaya salah satunya dapat terlacak dalam bentuk novel dan kumpulan-kumpulan surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint, Major Barbara, Anndrocles and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi Yesus. Di antara sub bahasan novel Shaw ini yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini adalah masalah relativitas agama. Jika setuju dengan pendapat E.B. Tylor dan pernyataan Clifford Geertz bahwa agama (kepercayaan) bagian dari budaya, maka  konsep relativitasme budaya juga terjadi pada agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga bersifat relatif. Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini dalam membangun teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap agama lain. Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks inilah, agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis.
Nalar ini akan menjadi rujukan bagi pengikut relativisme agama termasuk Shaw. Maka wajar jika kemudian Shaw dikenal sebagai tokoh yang toleran. Toleransi Shaw dapat diperhatikan dari pernyataannya. Menurut Shaw (1956, 333) bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri.  Memang perubahan nama agama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan sedikit perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap terpuji tersebut.
Di samping menimbulkan sikap toleran, Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw. Misalnya, dia tidak segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai penyelamat manusia. Katanya, "Saya telah mempelajari dia (Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa dan menurut saya, terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat umat manusia.
C. Kesimpulan
Jadi nilai dari filsafat nilai yang diajarkan oleh Shaw adalah mengedepankan toleransi agar tidak menimbulkan konflik, karena perubahan nama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap tersebut. Dengan demikian pemikiran relativisme nilai tokoh Shaw berarti bahwa nilai itu adalah obyektif.
D.     Daftar Pustaka

http://wisatateater.blogspot.co.id/2011/03/bernard-shaw-biografi.html?m=. Diakses pada hari selasa pukul 16.07 wib ta[1]
www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian -aliran-dan.html?m=. Diakses pada hari selala pukul 16.00 tanggal 24 Aprel 2018
nggal 24 Aprel 2018.
K. Bertens. Etika.



[1] http://wisatateater.blogspot.co.id/2011/03/bernard-shaw-biografi.html?m=. Diakses pada hari selasa pukul 16.07 wib tanggal 24 Aprel 2018.
[2] www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian -aliran-dan.html?m=. Diakses pada hari selala pukul 16.00 tanggal 24 Aprel 2018.
[3] K, Bertens. Etika. Hal : 157 & 159

Seni Kaligrafi Dalam Pandangan Kenneth M. George


oleh : Ahmad Fatawi 
Pembahasan

A.    Biografi Kenneth M george
Kenneth M George adalah seorang spesialis dalam politik budaya agama, seni, dan bahasa di Asia Tenggara. Dia merupakan seorang Profesor Antropologi di College of Asia dan Pasifik di Universitas Nasional Australia, setelah sebelumnya bertugas di UW-Madison (1999-2013), Universitas Harvard (1990-1996), dan sebagai Editor Jurnal Studi Asia (2005-2008). Dia juga pernah memegang posisi mengajar di University of Oregon, Tulane, dan University of South Carolina. Penelitian etnografi dan sejarah seni di Asia Tenggara telah didukung oleh beasiswa dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial, Aga Khan Trust for Culture, Yayasan John Simon Guggenheim, National Endowment for the Humanities, Wenner-Gren Foundation, dan Institut untuk Studi Lanjutan, Princeton. Buku-bukunya termasuk Menampilkan Tanda-tanda Kekerasan: The Cultural Politics of a Twentieth Century Headhunting Ritual (1996); Politik Berjiwa: Agama dan Kehidupan Publik di Asia Tenggara Kontemporer (2005, disunting bersama Andrew Willford); dan Picturing Islam: Seni dan Etika dalam Muslim Lifeworld (2010).[1]
B.     Pemikiran Kenneth M george
Pemikiran Kenneth M George dilatar belakangi oleh banyaknya penelitian  keragaman budaya yang ada di kawasan Asia Tenggara. Hal itu terwujud saat dia mendapat kesempatan penelitian di pegunungan Mambi di Sulawesi Selatan, Dia mengkaji sastra tutur dalam upacara keagamaan dan kepercayaan masyarakat setempat. Selama 26 tahun Kenneth M George sering mengujungi Indonesia singgah di kota Bandung dan jakarta untuk mengkaji perkembangan seni rupa modern Gaya-gaya kaligrafi Kontemporer Tradisional, Kontemporer Figural, Kontemporer Simbolik, Kontemporer Ekspresionis, dan Kontemporer Abstrak hasil karya sejumlah seniman Muslim.[2] Ia melihat fenomena estetika terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh sahabatnya  asal Indonesia yaitu AD pirous.
            Abdul Djalil Pirous  dilahirkan di  Meulaboh, Aceh pada tanggal 11 Maret 1932. Menyelesaikan pendidikannya di Departemen Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (ITB), 1964. Melanjutkan studi tentang printmaking dan desain grafis di Rochester Institute of Technology, Rochester New York, Amerika Serikat (1969), dan sekembalinya ke tanah air, merintis pendidikan desain grafis di Seni Rupa ITB, dan mendirikan studio seni dan desain bernama Decenta (1973). Selanjutnya, menjabat sebagai Dekan pertama Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1984-1990), dan dikukuhkan sebagai guru besar ITB sejak 1994.[3] A.D. Pirous mengungkapkan cara-cara di mana perjuangan seniman membuat lukisan yang bagus terhubung untuk menjalani kehidupan yang baik. Dilema yang dihadapi oleh Pirous sering menjadikan kontradiksi dalam proses pembuatan seni menghubungkan karya seni dengan pengaruh bahasa, dan budaya publik serta etika.[4] Sehingga melihat gaya Pirous "Qur’anic lukisan, memberikan  interpretasi bahwa Islam tidak hanya diwakili oleh gambaran klasik, seperti orang yang pergi ke masjid untuk shalat. Ada banyak ekspresi yang mencerminkan Islam, salah satunya seni rupa modern yang dibuat oleh seniman Muslim. Kenneth menemukan dalam proses objek penelitian  kreatif AD Pirous, memperlihatkan usaha untuk mewujudkan spirit keislaman dalam bentuk kesenian. Bagaimana seniman menekan subjektivitas seninya sendiri lebih sempurna “berserah kepada Tuhan dan pesan ilahi”. Kenneth menggambarkan dengan jelas untuk mengistimewakan firman Tuhan dan tujuan artistiknya adalah membuat pengalaman tersedia bagi orang lain.[5]

           C.    Pendekatan dan Metodologi Kenneth. M. George
Pendekatan penelitian Kenneth M george menggunakan pendekatan antropologi dengan metode etnografi, penelitiannya  berdasarkan potret beragama yang ada dalam kenyataan. Dengan kata lain, Islam diteliti dari perilaku sehari-hari kaum Muslim Indonesia. Kenneth M george berusaha bersahabat dengan lingkungan atau orang yang diteliti sehingga menjadi akrab. Dari kedekatan itu, lantas Ia mengamati, menggali, mencatat, dan akhirnya mendapatkan data-data. Pada bulan November 2009 terdapat Antropologi Budaya, melihat kegelisahan dan kemarahan dunia seni Indonesia atas penggunaan skrip Al-Qur'an dalam mode dan lukisan.  Kenneth M. George memeriksa apa kesulitan dan krisis yang ditimbulkan, yang kepentingannya dilayani, dan wacana yang maju ketika seniman menggunakan Al-Quran untuk proyek-proyek estetika. Kenneth M George menyinari beberapa energi etis dan ideologis yang telah menggerakkan komunitas seni muslim masa kini. George berpendapat bahwa saat-saat panik atau kemarahan dapat menawarkan sekilas khusus klaim etika secara Islam di bidang visual budaya. Ia memberikan perspektif baru tentang beberapa hubungan kekuasaan yang membentuk publik seni Muslim nasional dan global yang terletak di persimpangan antropologi seni dan antropologi Islam. Dalam lukisan kaligrafi, misalnya, penampilan visualnya menjadi menarik pada dimensi keindahan, berkaitan dengan keterampilan untuk mengolah unsur-unsur estetika seni rupa. Secara tekstual, lukisan juga bermakna karena mengutip teks kaligrafi yang bersumber dari ayat Al Quran atau hadist. Bagi orang yang mengerti Bahasa Arab, itu menjadi pesan yang sangat bernilai. Lebih dari itu, dalam Kaligrafi terdapat unsur mengingatkan orang lain tentang etika. Meski tidak dilakukan secara massal, lukisan seperti itu bisa merangsang orang lain yang melihatnya untuk merenungkan teks dalam lukisan . Jadi, karya seni itu hanya tidak dibuat untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain bahkan mereka yang tidak mengerti bahasa Arab secara potensial dapat merasakan kekaguman religiusitas manusia, menunjukkan bagaimana etika kustodian untuk menangani bahasa Arab Al-Quran telah bermain di tangan kaum konservatif religius Muslim saat mereka memperluas otoritas mereka ke dunia seni nasional dan transnasional, dan lebih umum bagaimana seni Al-Quran telah menjadi ruang perjuangan atas ruang lingkup sekularisme, agama, dan budaya. George mengungkapkan untuk mengembangkan "etnoaesthetics nasionalis" mampu melakukan melalui eksplorasi estetika Islam yang produk budaya dari "pergeseran visi moral dan kewarganegaraan yang membawanya untuk mengklaim warisan Islam untuk bangsa pada umumnya, sebuah langkah yang secara politis dan estetis mengikat transendental wacana tentang bangsa dan agama.[6] Membayangkan Islam menunjukkan komitmen kedua  pertama terhadap seni dan keyakinan, dan terhadap seni dan antropologi. Ini masih merupakan wawasan langka dalam wacana populer dan media yang dipengaruhi Barat yang menjadi Muslim tidak bergantung pada ketidaksepahaman tentang Al-Qur'an, hadits, syariah hukum, dan otoritas keagamaan.[7]

     D.    Contoh Kajian
Seni adalah produk aktivitas yang dilakukan secara sadar, bertujuan untuk mendapatkan atau mencapai estetika, dan sekaligus berfungsi sebagai salah satu jalan atau cara untuk menerjemahkan simbol-simbol. Kualitas simbol-simbol dan estetika tersebut dipengaruhi oleh sublimasi antara harmoni, kontras, frekuensi, ritme serta intensitas dalam proses kelahiran seni. Karena itu, seni seringkali berkonotasi estetika atau keindahan[8] kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani. Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan perkembangan seni menulis indah dalam huruf Arab yang di sebut Khat. Khat dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.[9]
Sebagaimana Firman Allah surat Al-‘Alaq ayat 1-5  
Artinya:. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Ayat tersebut dapat di pastikan bahwa kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan sekaligus  merupakan sarana Tuhan dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
Pada masa awal Islam, yakni zaman Rasulullah SAW dan al Khulafaar Rasyidun (Khalifah Abu Bakar as Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; 632-661), corak kaligrafi masih kuno dan mengambil nama yang dinisbahkan kepada tempat tulisan dipakai, seperti Makki (tulisan Mekkah), Madani (tulisan Madinah), Hejazi (Hijaz), Anbari (Anbar), Hiri (Hirah), dan Kufi (kufah). Kufi merupakan yang paling dominan dan satu-satunya kaligrafi yang "dirajakan" untuk menulis mushaf (kodifikasi) Al-Quran sampai akhir kekuasaan al Khulafaur Rasyidun.
Memasuki zaman kekhalifahan Bani Umayyah (661-750), mulai timbul ketidakpuasan terhadap khatt Kufi yang dianggap terlalu kaku dan sulit digoreskan. Lalu mulailah pencarian bentuk lain yang dikembangkan dari gaya tulisan lembut (soft writing) non-Kufi, sehingga lahirlah banyak gaya. Jenis khat yang terpopuler diantaranya adalah Tumar, Jalil, Nisf, Sulus dan Sulusain. Di pelopori oleh kaligrafer handal bernama Qutbah al Muharrir.
Perkembangan seni kaligrafi telah mencapai masa keemasan pada masa daulah abasiyah disebabkan motivasi para khalifah dan pedana menteri Abbasiyah, sehingga bermunculan kelompok para kaligrafer yang jenius. Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al Ahwal al Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf alif, dan lingkaran. Beberapa gaya yang paling fungsional di dunia Islam, yaitu Naskhi, Sulus, Raihani, Diwani, Jali, Farisi, Riq'ah dan Kufi.[10]
Sedangkan perkembangan kaligrafi di Indonesia tidak melahirkan corak, gaya atau aliran kaligrafi yang khas, seperti yang terjadi pada arus perkembangannya di Dunia Islam. Pertumbuhan yang ada hanyalah “pertumbuhan pemakaian kaligrafi” untuk kebutuhan- kebutuhan primer yang bersifat fungsional seperti untuk menyalin AlQur’an atau teks-teks keagamaan yang berkembang ke aneka lukisan.
Sebagaimana dikutip dari Sirojudin A.R. [11] Perkembangan seni kaligrafi di Indonesia mengklasifikasikan melalui beberapa periode panjang yaitu Angkatan Perintis, Angkatan Orang-orang Pesantren, Angkatan Pelukis dan Pendobrak, dan Angkatan Kader MTQ. Tetapi, perkembangannya yang menyolok muncul dari kegiatan lomba yang diselenggarakan di pelbagai event, yang paling populer di antaranya adalah event Musabaqah Kaligrafi  dimulai dari tingkat Desa hingga tingkat Dunia.
      a.       Angkatan Perintis (abad 13-19 M)
Seni menulis halus Arab yang populer dengan khat atau kaligrafi sudah dikenal semenjak kedatangan Islam di Indonesia. Bukti kaligrafi paling tua terdapat pada nisan-nisan kuno yang sebahagiannya dibawa dari luar Indonesia. Sedangkan bukti yang lebih mutakhir diperoleh dari sumber-sumber media seperti kitab, mushaf Al-Qur’an tua atau naskah perjanjian.
    b.      Angkatan Orang-orang Pesantren (1900-2000 M)
 Kaligrafi mengalami pertumbuhan seiring pertumbuhan pesantren yang dirintis oleh para wali. Pesantren perintis kaligrafi dikenal antara lain Giri Kedaton, Pesantren Ampel Denta di Geresik, dan Pesantren Syekh Quro di Karawang. Pelajaran kaligrafi diberikan mengiringi pelajaran Al-Qur’an, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain. Tulisan yang diajarkan mula-mula sangat sederhana dan belum bernilai estetis, namun masih mempertimbangkan gaya-gaya Kufi, Naskhi, dan Farisi yang asal condong ke kanan. Namun pada periode ini  pesantren juga memunculkan para khattat yang sering mengkhususkan diri pada penulisan mushaf, buku agama, dan dekorasi mesjid dengan mengkombinasi gaya-gaya Tsuluts, Naskhi, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Di antara pelopor dalam bidang ini adalah H. Azhari Noor (dekorator pertama Masjid Agung Al-Azhar Jakarta) dari Padang, H. Amir Hamzah Zaman dari Madura, dan H. Basyiroen Hasan dari Jakarta. Gerakan membangkitkan seni mushaf yang melibatkan para santri juga muncul sejak Festival Istiqlal I tahun 1991 dengan ditulisnya Mushaf Istiqlal (1991-1995), disusul kemudian oleh Mushaf Sundawi (1997), Mushaf Ibu Tien Soeharto, Mushaf Jakarta, Mushaf Kalimantan Barat, Mushaf Sukabumi, dan Mushaf Al-Bantani. Mushaf-mushaf berukuran raksasa ini tampil dengan gaya lebih estetis dibandingkan mushafmushaf kuno yang ditulis sepanjang akhir abad ke-16 hingga abad ke-19.
    c.       Angkatan Pelukis dan Pendobrak (1970-1980an M)
Pembawa gerakan ini adalah para seniman kampus seni rupa yang dipelopori oleh Prof. Drs. H. Ahmad Sadali (ITB Bandung asal Garut), diiringi kemudian oleh Prof. Drs. A.D. Pirous (ITB Bandung asal Aceh), Prof. Dr. H. Amri Yahya (ASRI Yogyakart asal Palembang). Para tokoh seni rupa ini memanfaatkan keluwesan aksara Arab di mana sosok kaligrafi sangat tegas ditonjolkan dengan penyerasian unsur-unsur rupa lainnya yang telah lebur dalam gaya pribadi masing-masing seniman dengan memandang “kaligrafi sebagai bagian integral” dari ide dasar lukisan yang bermakna religius. Para seniman rupa ini memandang kaligrafi benar-benar mengandung unsur-unsur ideoplastis yang tidak hanya selesai pada huruf. Popularitas angkatan ini dalam Pameran Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional ke-11 di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980) yang diikuti oleh pameran-pameran selanjutnya.
   d.      Angkatan Kader MTQ (1981- sekarang)
Perkembangan kaligrafi semakin semarak sejak dijadikan salah satu cabang yang dilombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dari tingkat nasional sampai tingkat daerah di seluruh Indonesia. Cabang yang diberi nama Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) ini selain menarik peminat, juga berhasil membibitkan kader-kader penulis dan pelukis kaligrafi dari sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Dari sejumlah peserta MKQ yang menyebar di pelbagai daerah, muncul para ahli bidang penulisan Naskah, Hiasan Mushaf, Dekorasi, dan Kaligrafi Kontemporer yang dikompetisikan.




[2] Sirojuddin A. R, Peta Perkembangan Kaligrafi Islam di Indonesia Jurnal Al-Turāṡ Vol. XX No.1, Januari 2014. Hlm 226

[3] Pirous, A.D. Melukis itu Menulis. (Bandung: ITB 2013) hlm 1

[4] Kenneth m george,  ANU College of Asia and the Pacific https://researchers.anu.edu.au/researchers/george-k di akses kamis 3 mei 2018  pukul 20:52

[5] Karin Zitzewitz, Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld. Kenneth M. George. (Malden: Museum Anthropology 2010)  hlm.22 
[6] Kenneth M. George. Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010). Hlm 46

[7] David G Marr, Picturing Islam :Arts and ethics in a Muslim liveworld  by kenneth M george jurnal asian of studies  hlm 285

[8] Laily Fitriani Seni Kaligrafi: Peran  dan Kontribusinya Terhadap Peradaban Islam  Fakultas Humaniora dan Budaya (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang) hlm 3.

[9] M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam Peradaban Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 1
[10] Laiyli fitiriyah, Ibid,  hlm 5-7
[11]  Sirojudin A.R, Op, Cit, hlm 223-224

Jumat, 22 Juni 2018

Nyadran prespektif NU

Beberapa amalan Umat Islam di Jawa yang secara nama masih menggunakan bahasa Jawa namun secara subtansi telah berubah diisi dengan amalan Islami, masih saja dianggap sebagai sesuatu yang diharamkan, seperti Nyadran, Megengan, Tingkeban, Selapan atau lainnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Akbar dari al-Azhar, Syaikh Jaad al-Haq menjelaskan:

العبرة فى المحرمات ليست بالأسماء، وإنما بالمسميات (فتاوى الأزهر – ج 7 / ص 210)

“Penilaian sesuatu yang diharamkan tidak terletak pada nama, namun pada subtansi isinya” (Fatawa al-Azhar 7/210)

Dalam Nyadran atau Megengan subtansinya adalah ziarah kubur, mendoakan almarhum, membaca ayat al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit, kesemuanya ini adalah ajaran Islam. Lalu dari segi mana yang haram dan sesat?

Rasulullah Bersedekah Makanan Atas Nama Khadijah

قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا ذَبَحَ الشَّاةَ فَيَقُولُ أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيجَةَ . قَالَتْ فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا فَقُلْتُ خَدِيجَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا (رواه مسلم)

“Aisyah berkata: “Jika Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau berkata: “Kirimkan daging-daging ini untuk teman-teman dekat Khadijah”. Aisyah berkata: “Saya memarahi Nabi di suatu hari”. Nabi bersabda: “Saya sudah diberi rezeki mencintainya” (HR Muslim)

 

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُهُ مِنْ ذَبْحِ الذَّبِيْحَةِ وَالتَّصَدُّقِ بِهَا عَنْ خَدِيْجَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بَعْدَ وَفَاتِهَا فَقَالَ: طَبْعًا هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ  نَعَمْ يُؤْخَذُ مِنْهُ اَنَّهُ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ اِمَّا بِلَحْمٍ وَاِمَّا بِطَعَامٍ وَاِمَّا بِنُقُوْدٍ اَوْ بِمَلاَبِسَ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ عَنْهُ اَوْ بِاُضْحِيَّةٍ عَنْهُ فِي وَقْتِ اْلاُضْحِيَّةِ هَذَا كُلُّهُ مِنَ الصَّدَقَةِ عَنِ الْمَيِّتِ يَدْخُلُ فِيْهِ (فتاوى الاحكام الشرعية رقم 9661)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamamelakukan penyembelihan hewan dan menyedekahkannya untuk Khadijah setelah wafatnya (HR Muslim No 4464). Syaikh berkata: Secara watak ini adalah sedekah. Dari dalil ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh bersedekah atas nama mayit baik berupa daging, makanan, uang atau pakaian, ini adalah sedekah, atau dengan qurban saat Idul Adlha. Kesemua ini adalah sedekah atas nama mayit” (Fatawa al-Ahkam asy-Syar’iyah No 9661)

Melakukan sedekah untuk almarhum dapat dilakukan dimana pun, termasuk juga di makam, seperti yang disampaikan oleh ahli hadis al-Hafidz adz-Dzahabi bahwa seorang ulama bernama Abu al-Qasim Ismail bin Muhammad yang diberi gelar Qiwam as-Sunnah (penegak sunah) juga membawa makanan di makam:

وَسَمِعْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ (الْاِمَامِ اَبِي الْقَاسِمِ) أَنَّهُ كَانَ يُمْلِي ” شَرْحَ مُسْلِمٍ ” عِنْدَ قَبْرِ وَلَدِهِ أَبِي عَبْدِ اللهِ، فَلَمَّا كَانَ خَتْمُ يَوْمِ الْكِتَابِ عَمِلَ مَأْدَبَةً وَحَلَاوَةً كَثِيْرَةً، وَحُمِلَتْ إِلَى اْلمَقْبَرَةِ (تاريخ الإسلام للذهبي – ج 8 / ص 195)

Saya dengar lebih dari satu orang dari muridnya, bahwa Abu al-Qasim menulis Syarah Muslim di dekat makam anaknya Abu Abdillah. Ketika ia khatam menulis kitab, ia membuat makanan dan masnisan yang banyak, serta dibawa ke makam (Tarikh al-Islam, 8/195)

تاريخ الإسلام للذهبي – (ج 8 / ص 193)

إسماعيل بن محمد بن الفضل بن علي بن أحمد بن طاهر. الحافظ الكبير، أبو القاسم التيمي، الطلحي، الإصبهاني، المعروف بالحوزي، الملقب بقوام السنة.

ولد سنة سبعٍ وخمسين وأربعمائة في تاسع شوال.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِىُّ يَأْتِى مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا . وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يَفْعَلُهُ (رواه البخارى رقم 1193 ومسلم رقم 3462)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, baik berjalan atau menaiki tunggangan. Dan Abdullah bin Umar melakukannya” (HR Bukhari No 1193 dan Muslim No 3462)

Imam an-Nawawi berkata:

فِيْهِ جَوَازُ تَخْصِيْصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِالزِّيَارَةِ ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ وَقَوْلُ الْجُمْهُورِ (شرح النووي على مسلم – ج 5 / ص 62)

“Dalam hadis ini dijelaskan bolehnya menentukan sebagian hari untuk ziarah. Ini adalah pendapat yang benar dan pendapat mayoritas ulama” (Syarah Muslim 5/62)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ اسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمَ

“Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Tak seorang pun yang berziarah ke makam saudaranya dan duduk di dekatnya, kecuali ia merasa senang dan menjawabnya hingga meninggalkan tempatnya”

Al-Hafidz al-Iraqi memberi penilaian terkait status hadis ini:

قَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِي أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي الْقُبُوْرِ وَفِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَمْعَانَ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى حَالِهِ وَرَوَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي التَّمْهِيْدِ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ اْلأَشْبِيْلِيِّ (تخريج أحاديث الإحياء 4 / 216)

“Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Qubur. Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sam’an, saya tidak mengetahui perilakunya. Hadis yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr dari Ibnu Abbas dan disahihkan oleh Abdulhaqq al-Asybili” (Takhrij Ahadits al-IhyaIV/216)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ (رواه الخطيب في التاريخ 6 / 137 وابن عساكر 10 / 380 عن أبى هريرة وسنده جيد ورواه عبد الحق في الأحكام وقال : إسناده صحيح كما في القليوبي)

“Rasulullah Saw bersabda: Tidak seoramgpun yang melewati kuburan temannya yang pernah ia kenal ketika di dunia dan mengucap salam kepadanya, kecuali ia mengenalnya dan menjawab salamnya” (HR al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Tarikh VI/137 dan Ibnu ‘Asakir X/380 dari Abu Hurairah. Dan sanadnya baik, juga diriwayatkan oleh Abdulhaqq dalam al-Ahkam, ia berkata: Sanadnya sahih)

 صحيح البخارى – (ج 14 / ص 40)

قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلُّهُنَّ فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، إِلاَّ الَّتِى كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري)

 “Tidak dilakukan oleh Rasulullah” atau “Tidak ada contoh dari Rasulullah” bukan sebuah dalil untuk melarang suatu amalan yang telah menjadi ‘ijtihad’ oleh sebagian ulama. Klaim semacam ini memang sering dijadikan alat oleh ulama Salafi-Wahabi untuk membidahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh mayoritas uma Islam. Sebagai contoh, tidaklah ditemukan dalil bahwa Rasulullah mengkhatamkan bacaan al-Quran selama Tarawih di bulan Ramadlan, ternyata fatwa Syaikh Bin Baz, ketua Komisi Fatwa Arab Saudi berkata lain:

هذا عمل حسن فيقرأ الإمام كل ليلة جزءا…  وهكذا دعاء الختم فعله الكثير من السلف الصالح ، وثبت عن أنس – رضي الله عنه – خادم النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهفعله ، وفي ذلك خير كثير والمشروع للجماعة أن يؤمنوا على دعاء الإمام رجاء أن يتقبل الله منهم

“Mengkhatamkan al-Quran selama Tarawih bulan Ramadlan adalah amal yang baik. Imam membaca 1 juz setiap malam. Demikian halnya dengan doa khataman al-Quran dilakukan oleh banyak ulama Salaf. Dan telah menjadi riwayat yang sahih bahwa Sahabat Anas, pelayan Nabi, melakukan doa khatam al-Quran. Di dalamnya ada banyak kebaikan. Bagi jamaah disyariatkan untuk mengamini doa imam, dengan harapan Allah mengabulkan doa mereka” (Majmu’ Fatawa Bin Baz 11/388)

Rasulullah Saw, Khulafa’ al-Rasyidin dan Para Sahabat Rutin Berziarah Tiap Tahun

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)

“Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra’d 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama” (HR Abdurrazzaq dalam al-MushannafNo 6716 dan al-Baihaqi dalamDalail al-Nubuwah III/306).

Sumber : https://aswajanucenterjatim.com/iXzDv