Rabu, 12 Oktober 2011

Epistemologi Irfani


EPISTEMOLOGI IRFANI
 Oleh: M. Achwan Baharuddin 

Landasan bagi Filsafat Ilmu telah diletakkan oleh Francis Bacon pada abad ke-16. Namun, perbincangan mengenai filsafat ilmu baru merebak pada abad ke 20. Perhatian yang besar terhadap filasafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya, seperti landasan antologis, epistemologis dan aksiologis. Filsafat ilmu hadir sebagai upaya untuk meletakkan kembali peran dan fungsi pengetahuan dan teknologi.
Epistemology, adalah salah satu landasan yang ditempuh untuk mengembalikan peran dan fungsi tersebut. Bagian-bagian dari epistemology adalah Empirisme, Rasionalisme, Positivisme dan Intuisionisme. Sedangkan dalam sudut pandang Islam, bagian-bagian epistemology adalah Burhani, Irfani dan Bayani.
    
A.    Pengertian

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos: dan account[1].
Epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.
Secara garis besar, epistemology bayani adalah pengetahuan bersumberkan pada teks-teks keagamaan, sedangkan epistemology burhani adalah pengetahuan bersumberkan pada rasio(akal)[2].

Epistemology irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf dan syuhud.
Kasyf atau mukasyafah salah satu tangga menuju pengetahuan tentang Tuhan dan dalam Tuhan, suatu pengetahuan yang hakikiah. Mukayafah adalah upaya penyingkapan hijab-hijab diri.[3]
Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.

B.     Kedudukan 
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi[4].  Dengan intusi, Bergson mencoba untuk menemukan atau proses pengetahuan yang tidak bisa dilakukan oleh panca indera dan akal.
Penyingkapan-penyingkapan irfani memberikan ungkapan dan pandangan khusus kepada lisan dan mata seorang arif tentang keberadaan dan kosmos eksistensi. Ungkapan dan pandangan ini merupakan hasil dari pengalaman esoterik dan temuan-temuan irfani. Dan ketika terkait dalam batasan teori dan penalaran (reasoning) ia berada dalam ruang-lingkup irfan teoritis, dua hal yang harus tuntas dalam pembahasan epistemologi irfani.
Dalam Irfan praktis, amal dan olah-batin merupakan starting-point dan jalan thariqat menuju hakikat. Dengan meniti jalan sair suluk di penghujung seorang salik akan hinggap pada mukasyafah atas nama-nama atau dzati. Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian) merupakan ujung jalan bagi seorang salik. Atas dasar ini, mukasyafah merupakan titik-henti (ending point) irfan praktis dan titik-mula (starting point) irfan teoritis.  Kasyf dan syuhud adalah media untuk mengakses alam meta-natural atau umumnya disebut sebagai meta-fisika.  
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas(bayani, irfani dan burhani), secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam.

"Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya".(Al-Baqarah: 242) 
"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya".(Yusuf: 2)
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya".(Asy-Syams:8)
"Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu".(Al-Ankabut:43)
Ayat-ayat Al-Quran diatas adalah sebagai bukti justifikasi ketiga epistemology yang cenderung ada, epistemology bayani, irfani serta burhani.
            Epistemology irfani dengan metode khasnya kasyf tidak bisa terlepas dengan pengetahuan yang bersumber pada intuisi terdalam, maka tidak heran jika kelompok yang mendalami epistemology irfani ini menjunjung tinggi intuisi, orang yang intuisinya tidak bersih atau terganggu maka dia dianggap sulit untuk memperoleh pengetahuan. Salah satu imam empat madzhab fiqh, Imam Syafii ketika mengalami “kebekuan pemikiran” yang menyebabkan dia tidak bisa menyerap ilmu yang diajarkan oleh gurunya: Syeh Waqi’,  salah satu saran gurunya adalah untuk meninggalkan maksiat, ilmu adalah cahaya ilahiyah, ilmu tidak akan bisa masuk kepada orang yang bermaksiat. Hal tersebut adalah salah contohnya permasalahan epistemology irfani.

C.    Metodologi
            Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani. Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat (wara’), tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT (faqir), sabar, tawakkal, dan ridla. Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan. Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Masalahnya, karena pengetahuan yang didapat adalah sebuah pengalaman dimensi batin, terkadang sulit untuk menyampaikan pengetahuan itu. Epistemologi irfani yang lebih menekankan pada pengalaman langsung ini membuat otoritas akal tertepis karena lebih bersifat partisipatif[5].
Menurut Syahid Muthahhari, untuk sampai kepada tingkatan manusia sempurna para filosof berpegang pada argumen-argumen akal, akan tetapi para sufi memandang bahwa argumentasi akal berada pada tataran yang rendah, tidak mencukupi, dan bahkan terkadang melahirkan kesalahan, maka dari itu mereka begitu sangat menekankan unsur-unsur riyadah, mujahadah, pensucian jiwa, cinta, dan sair-suluk (menapaki jalan-jalan spiritual). Para urafa meletakkan akal dan indra-indra lahiriah sebagai alat untuk mengenal alam yang terendah (alam materi, alam mulk, alam kegelapan), sementara alam-alam lain yang bersifat metafisik (alam malakut dan alam cahaya) hanya dapat disingkap dengan cara intuisi, mukasyafah, musyahadah, dan pensucian hati. Walaupun pengetahuan rasional itu melahirkan bentuk-bentuk keyakinan tertentu akan tetapi sangatlah terbatas, sedangkan keyakinan dan makrifat yang dihadirkan oleh intuisi dan hati lebih sempurna, mendalam, dan bersifat abadi. Peran argumen-argumen akal dalam hal ini lebih pada penegasan terhadap dasar-dasar akidah dan asas-asas keagamaan bagi kalangan-kalangan awam[6]. 
Dalam mengakses alam meta-fisika, para sufi selain menjadikan intuisi sebagai sumber utama, mereka menjadikan Qur'an dan Hadis sebagai nara-sumber hayati.  Qur'an bagi para sufi tidak dipandang sebagai sekedar sebuah kitab biasa, namun ditilik sebagai firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Pamungkas Saw melalui Jibril. Qur'an bagi mereka adalah kehidupan itu sendiri dan mata-air cinta Ilahi yang tumpah-ruah dalam kehidupan para sufi. 
Tafsir irfani al-Qur'an, menurut Mulla Shadra, menjadi mungkin tatkala seorang mufassir (penafsir) telah melintasi tingkatan pencerapan indrawi menuju tingkatan yang lebih tinggi. Artinya dari tingkatan indrawi dan lahir al-Qur'an menuju tingkatan kedua mitsali dan aqli untuk mencapai hakikat. 
Mulla Shadra berpandangan bahwa dalam menafsirkan al-Qur'an terdapat dua tingkatan; tingkatan pertama yaitu tafsir lafzi dan kedua tafsir batin. Takwil lafzi berkutat dengan gramatika, sintaktis,  mungkin mirip dengan tafsir gramatikal dan sintaksisnya Schleirmacher. Tafsir lahir ini memberi stressing pada sisi elokuensi (balâghah) dan  bentuk sastranya[7]. 
Epistemology irfani menurut Festugiere adalah fisafat murni, filsafat yang hanya disibukkan dengan ma’rifatullah dalam bentuk yang lebih baik, dengan melakukan tafakkur, khusyu’ dan melakukan syariat-syariat suci. Filsafat murni, filsafat yang tidak memberi perhatian kecuali beragama dan beribadah, tidak layak terlibat dengan ilmu lain kecuali sekedar sebagai pengantar yang akan membawa kepada perenungan, penyucian dan mengambil berkah dari ciptaan Allah dan kekuasaanNya. Penyucian terhadap Allah dengan hati dan jiwa dengan melepaskan keduanya dari segala hal yang menyibukkan keduanya dan mengagungkan keindahan ciptaanNya dan senantiasa bersyukur dan memuji kehendakNya.[8]  
Disini, Festugiere juga menegaskan bahwa kunci dalam memahami epistemology irfani dengan metode kasyf dan syuhud adalah hati dan jiwa. Seperti halnya dalam masalah Imam syafii kunci dalam memeperoleh sebuah keilmuan dan pemecah kebuntuan pemikirannya adalah hati dan jiwa yang suci dengan cara meninggalkan kemaksiatan. 
Kecenderungan ini pertama kali muncul dalam wilayah filsafat itu sendiri, dengan adanya upaya membangkitkan dan memperbaharui Phytagoras. Filsafat neo-Phytagoras ini bukanlah filsafat dalam pengertian sekumpulan pemikiran yang serasi dan saling melengkapi di seputar persoalan Allah, alam dan manusia, tetapi sebuah system kependatan dengan kepatuhan buta terhadap apa yang ia katakan yang  menurutnya merupakan wahyu dan ilham, mengabaikan kepuasan dan kesenangan manusia dan hanya ingin tunduk kepadanya secara total.[9] 
Salah satu proses penyucian jiwa dan hati adalah mengabaikan kepuasan dan kesenangan dan tunduk kepadaNya secara total. Yang dimaksud adalah kepuasan dan kesenangan yang bersifat sementara, yaitu kesenangan dan kepuasan duniawi karena hal tersebut akan menghalangi manusia untuk tunduk kepadaNya. 
Sedangkan menurut litelatur Hermetik[10] tidak ada yang bisa menyelamatkan jiwa kecuali dengan ma’rifah. Ma’rifah bukan dalam artian  upaya memperoleh pengetahuan tetapi secara terus menerus bersungguh-sungguh berusaha menyucikan jiwa dan melepaskannya dari kungkungan materi dan selanjutnya menyatu dalam ketuhanan, bahkan melebur denganNya. 
Selanjutnya, Hermetik mengatakan segala sesuatu maujud yang abadi alam secara keseluruhan  dan segala wujud dalam dirinya mengandung unsure Allah dalam bentuk pemkiran dan makna. Jika tidak menjadikan diri setara dengan Allah maka tidak akan mengenalNya karena sesuatu tidak akan bias dikenal kecuali oleh yang serupa dengannya.[11] Dalam hal ini, Al-Hallaj serta Siti Jenar bisa dijadikan contoh. Dua tokoh yang terkenal dengan “tidak ada sesuatu di dalam diriq selain Allah” serta “manunggaling kawula gusti”. Mereka berhasil “menyetarakan” diri denganNya.
Oleh karena itu, epistemology irfani sangatlah rumit. Ketika ingin memperoleh pengetahuan maka metodenya adalah dengan kasyf dan syuhud. Kita tidak bisa langsung mengakses metode tersebut sebelum jiwa dan hati kita suci. Penyucian jiwa dan hati dilakukan dengan meninggalkan kepuasan dan kesenangan duniawi. Ini bisa dilakukan dengan latihan yang dalam dunia sufi dikenal dengan riyadlah.
  
Kesimpulan

Epistemology irfani adalah suatu proses pencarian kebenaran dengan berdasarkan intuisi serta hati. Akal serta teks-teks keagamaan hanyalah sebagai jembatan untuk memasukinya dan kebenaran yang diperoleh akal dan teks masih dibawah kedudukannya dengan kebenaran yang diperoleh dengan intusi serta hati. 
Epistemology irfani lebih mendalam pada umat islam berada pada dunia sufi atau Tasawwuf. Metode yang ada untuk memperoleh kebenaran irfani sangatlah kental dipraktekkan oleh kaum sufiSelanjutnya, bahwa dasar permasalahan epistemology irfani adalah intuisi dan hati maka secara  sadar intuisi dan hati penulis tidaklah sama dengan intuisi dan hati yang bisa memeperoleh kebenaran irfani.

[1] Hujair AH. Sanaky.”dinamika pemikran dalam islam” dalam   http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05 /bahan-kuliah-dinamika-pemikiran-dalam-islam/
[2] Epistemology bayani dan burhani  dibahas pada kelompok lain.
[3] Ahmad Tafsir. “Filsafat Ilmu;mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi pengetahuan”. (Bandung:remajarosdakarya.2007) hlm 140
[4] Ahmad Tafsir. “filsafat umum;akal dan hati sejak thales sampai capra” (Bandung;Remaja Rosda karya.2001). hlm 26.
[5]Eka Mukti Arifah.” Penerapan Konsep Logika Sebagai Metode Berpikir Analitik Pada Epistemologi Burhani”
[7] A.Kamil. “Hermeneutik Irfani; Menembus Batas Eksoterik Teks” dalam http://telagahikmah.org/ina/index.php? option=com_content&task=view&id=52&Itemid=31
                               
[8] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab;kritik tradisi menuju pembebasan dan pluralism wacana interreligious” terj Imam Khoiri. (Yogyakarta:IRCiSoD.2003) hlm 280
[9] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab:…..”  hlm 281
[10] Istilah hermetic dalam pengertian filsafat keagamaan berarti mengacu kepada sejumlah buku dan risalah yang dinisbatkan kepada Hermes “al-mustallas bi al-hikmah” yang berbicara atas nama Tuhan  dan kadang dia sendiri sebagai Tuhan hingga risalah-risalah itu dipandang sebagai wahyu Tuhan. Selengkapnya lihat  M.Abed al-jabiri. “formasi nalar arab…..” hlm 290-307
[11] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab….” Hlm 299