Senin, 04 Maret 2019

Mengkaji Ritual Ramadhan Melalui Pendekatan Antropologi (Studi Ritual Ramadhan di Dusun Corogo, Desa Janti, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang)



Oleh : M. Achwan Baharuddin

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadilah: 11)
A.    Pendahuluan
Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Islam, tidak terkecuali di dusun corogo. Sebuah pedusunan kecil yang terletak di pinggiran timur kota Jombang sekitar 10 KM. Pada umumnya, umat islam menyambut bulan istimewa dengan membuat kegiatan-kegiatan yang hanya bisa ditemui pada bulan ini saja, seperti buka bersama, tadarrusan, kultum, dan sebagainya. Setiap tahunnya, gegap gempita Ramadhan selalu diiringi dengan berbagai pengulangan ajaran normatif oleh para penceramah, seperti terhapusnya dosa selama setahun jika berpuasa karena Allah SWT, keutamaan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya, keutamaan membaca al-Quran dan sebagainya.
Terlepas dari dogmatisasi kegiatan ramadhan, sesungguhnya kegiatan tersebut secara tidak sadar melahirkan sebuah strata kelas (meminjam istilahnya Mark). Strata itu, secara a priori terlahir dari strata ekonomi yang ada. Namun demikian, melihat fenomena masyarakat tidak hanya cukup kepada level tersebut, kita harus melangkah kapada a posteriori sehingga pengetahuan itu tidak bersumber kepada praduga.
Untuk menjembatani dua kutub tersebut kepada dua sintesis yang “cukup adil”, maka kita harus lebih dahulu mempunyai kesadaran bahwa fenomena yang ada tidak sesederhana demikian. Mudjahirin Thahir(2011:39) mengatakan, bahwa realiats sosial memiliki 5 dimensi atau lapisan, yaitu empirik, simbolik, makna, ide dan world view. Dengan demikian, realitas itu sebenarnya sederhana, namun begitu rumit dan pelik untuk dipahami.
Salah satu tujuan penulisan ini adalah mengungkap lapisan realitas Ramadhan yang ada. Pada awalnya, realitas tersebut tidak berarti apa-apa, hanya masalah soal strata ekonomi belaka, sampai pada perjumpaan dengan antropologi melahirkan berbagai pertanyaan dan persoalan yang harus dijelaskan. Salah satunya adalah pembuktian apakah benar strata itu berdasarkan ekonomi? Atau ada hal lainnya yang sesungguhnya tersembunyi dalam membentuk fenomena demikian.
B.     Kerangka Teori
Penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada masyarakat jawa telah menjadi primadona bagi peneliti antropologi pemula. Hasil penelitiannya yang dibukukan dan diterjemahkan sebagai Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, menyatakan bahwa masyarakat jawa terdiri dari tiga kelas; abangan, santri, priyayi, cukup menarik perhatian. Ketertarikan tersebut berdasarkan pada sebuah pertanyaan sejauh mana relevansi teori Geertz tersebut pada masyarakat jawa saat ini, terutama masyarakat Muslim yang ada di pedusunan?
Acuan dasar dari pertanyaan tersebut adalah fondasi dasar yang coba dikembangkan oleh Madzab Frankfut dalam melihat realitas sosial. Bagi mereka, kategori-kategori teoritik yang digunakan dalam menganalisa fenomena sosial tidak lebih dari ketergantungan kategori-kategori tersebut yang terikat dengan waktu dan tempat (Ritzer dan Smart, 2012:354). Dengan demikian, kategori-kategori tersebut bersifat relatif dan dapat berubah maupun berkembang.
Alasan yang diberikan oleh Madzab Frankfut adalah bahwa ilmu dan teori itu ada dalam masyarakat (Ritzer dan Smart, 2012:355). Dalam artian, bahwa keadaan masyarakat yang relatif-tentatif-homogen menunjukkan perbedaan, perubahan dan perkembangan menuntut sebuah teoritiasasi mengikutinya, bukan sebaliknya, yaitu masyarkat mengikuti teori-teori yang sudah ada. Dengan demikian, perkembangan keilmuan mengikuti perkembangan masyarakat, baik dari sisi kondisi tempat maupun waktunya.
Oleh karena itu, kategorisasi orang jawa yang dilakukan oleh Geertz memerlukan sebuah proses pengujian untuk teorinya.[1] Hal ini tidaklah hal yang baru, khususnya dalam Islamic Studies kontemporer, proses pengujian teori-teori yang sudah ada sehingga hal itu dapat diterima dan digunakan sebagai teori dalam melihat fenomena terkini, salah satunya adalah prinsip abduktif.[2] Amin Abdullah (2012:160) mengatakan, setidaknya dalam Islamic Studies ada tiga tahap perkembangan epistemologis, induktif, deduktif dan abduktif.
C.    Pembahasan
1.      Mengurai Kegiatan Ramadhan
Seperti yang sudah dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa Ramadhan di dusun Corogo seperti halnya Ramadhan pada umumnya. Nuansa islami begitu terasa disetiap sudut dusun kecil ini, dari adanya beberapa kegiatan terawih, tadarrus, sampai pada persoalan duniawi, seperti adanya bersih-bersih desa dan  sebagainya. Meskipun begitu, adanya subjektivitas penulis sebagai warga sehingga beberapa kegiatan tersebut seolah-olah hal yang wajar pada umumnya. Beberapa kegiatan yang penulis ikuti seperti pengajian  menjelang buka, shalat tewarih dan pembagian sedikit rejeki kepada tetangga juga mendapatkan penilaian penulis pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang wajar pada umumnya dan tidak ada menariknya. Orang-orang berbondong ke Mushollah, salah satunya Mushollah Nurul Iman, yang ada di RT 01/08, pada jam 16.45 wib. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa orang yang mendahului pergi ke Mushollah untuk memberikan tanda kepada warga bahwa kegiatan itu segera dimulai.
Bapak Abu Rahmah Adhami dan Bapak H. Adam Malik, dua orang yang secara bergantian untuk memberikan tanda kepada warga bahwa kegiatan itu segera dimulai. Selain itu, ada Ibu Umi Karimah dan Ibu Sholihatun juga memberikan tanda sebagaimana kedua bapak-bapak tadi. Meskipun sama-sama sebagai petanda, namun tanda yang dihasilkan oleh mereka berbeda. Bagi kedua tokoh laki-laki diatas, setiap jam 16.30 memulai bacaan shalawat di Mushollah dengan pengeras suara dan di tutup dengan kalimat,
“monggo poro bapak-ibu warga corogo lor, bileh kegiatan pengajian dipun wiwite amergi waktu sampun jam 16.30 wib”.
Dari tanda tersebut dan jarak sekitar 5 menit, maka pengajian dengan Uztadz Helmi pun dimulai. Lain halnya dengan para bapak, kedua tokoh wanita diatas memberikan tanda mulai dari keluar rumah masing-masing sampai dengan mushollah, setiap orang, terutama wanita, yang dijumpai disapa dengan,
“monggo yuk....ayo bi....nang mushollah, ngajine wes dimulai”.
Pada hakikatnya, dua tanda tersebut sama, yaitu mengajak para warga sekitar untuk mengikuti pengajian yang diadakan di Mushollah Nurul Iman. Oleh karena itu, opini yang terbentuk dari kegiatan tersebut, terutama bagi penulis, adalah sebuah kegiatan umum yang ada dalam masyarakat islam dimana ada sebuah tokoh yang memerankan sebagai “malaikat jibril” yang bertugas untuk mengingatkan kepada manusia.
Lebih jauh, kegiatan tersebut juga berjalan normal adanya. Desain Mushollah Nurul Islam yang mendukung untuk di pisah antara jamaah pengajian putra dan putri juga indikator keumumannya. Selain itu, para jamaah juga duduk melingkar sehingga posisi tengah mushollah dibiarkan kosong. Bagi para jamaah yang mempunyai anak kecil, posisinya diluar ruangan (teras mushollah), sehingga aktivitas anaknya tidak mengganggu konsentrasi pengajian yang sedang berlangsung.
Namun demikian, ketika suatu hari penulis datang terlambat, tepatnya pada 13 Ramadhan, sehingga memaksa untuk duduk diluar-hal ini juga dikarenakan sudah penuhnya jamaah yang ada didalam. Seorang wanita, mbah Isa namanya,  nyeletuk
“mas...monggo kedalem, ten mriki panggonane wadon-wadon” (Mas, masuk kedalam ruangan saja, diluar itu tempatnya wanita)
 Perkataan Mbah Isah pun disetujui oleh Ibu Anik
iyo mas....mlebet mawon, mriki panggonane ibu-ibu” (Ya mas, masuk saja, disini tempatnya ibu-ibu).
Oleh karena itu, pengetahuan posisi, bahkan di Mushollah di dusun kecil pun, akan menyelematkan seseorang dari pandangan-pandangan negatif. Tetapi, sebelum beranjak ke dalam Mushollah, seorang laki-laki juga datang terlambat. Berbeda dengan sambutan yang diterima oleh penulis, laki-laki itu datang mengetahui bahwa salah satu sudut tempat yang dijadikan duduknya telah ditempati oleh seorang wanita, meskipun tempat duduk itu juga ada diluar Mushollah.
minggir-minggir, iki panggonku” (beranjaklah dari tempat dudukmu, itu tempat duduk saya)
“gak iso, iki gone wong wadon, teko keri ngusir” (tidak bisa, ini adalah area wanita, kamu juga datangnya terlambat tetapi menyuruh orang pergi)
“wes, pokok e minggir” (saya tidak tahu-menahu, kamu harus pergi)
“kene, lunggoh jejer ku ae nek ngunu” (sebelah sini, duduk disebelah saya kalau masih ingin duduk disini)[3]
Tentunya, percakapan tersebut juga sederhana dan biasa, namun jika dipahami lebih jauh bahwa percakapan tersebut merupakan perdebatan opini yang dimiliki oleh mereka berdua. Pemahaman atas opini seperti demikian juga pernah terjadi sebelum dan sesudahnya, yaitu  jika laki-laki terlambat maka dia langsung masuk ke dalam Mushollah dengan tidak menghiraukan apakah didalam sudah penuh atau tidak. Hal ini juga terjadi pada beberapa tokoh penting Dusun Corogo jika datang terlambat, baik dari tokoh laki-laki maupun wanita.
2.      Mengenal Masyarakat Dusun Corogo
Dusun Corogo merupakan sebagian wilayah administrasi dari Desa Janti, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Selain Corogo, wilayah administrasi Desa Janti melingkupi Dusun Gereh, Janti Tengah dan Janti Barat. Berbeda dengan beberapa wilayah administrasi lainnya, Dusun Corogo merupakan wilayah yang terpisah dari Janti secara geografis dimana bentangan sawah beberapa hektar memisahkannya.
Selain persoalan geografis, Corogo memiliki budaya yang berbeda dari pada dusun lainnya yang masih dalam wilayah administrasi Desa Janti. Salah satunya adalah sisi ekonomi. Secara ekonomi, warga masyarakat Corogo jauh berbeda dengan dusun lainnya dimana sebagian masyarakatnya terkategori masyarakat menengah kebawah. Untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, para warga banyak yang menjadi buruh sawah di alam sekitar.
Pada pagi hari setelah melaksanakan shalat subuh, mereka sudah berhamburan keluar rumah untuk pergi ke sawah, baik untuk melakukakan panen, nandur, mengontrol atau bahkan hanya sekedar mengairi sawah. Dalam kacamata Geertz, tentunya fenomena ini digolongkan kepada tipologi abangan dimana kehidupan kesehariannya tidak dapat dilepaskan dari kegiatan di sawah. Hal ini dikarenakan sawah merupakan salah satu tempat untuk mencukupi kebutuhan ekonominya. Selain sawah, bagi para pekerja sawah juga melakukan kegiatan ekonomi di pasar dan kota.
H. Adam Malik, salah satu tokoh sentral dalam kegiatan pengajian Ramadhan, di pagi Hari pergi ke sawah, pada siang hari sudah berpindah ke pasar. Tentunya, bagi Adam, sawah dan pasar memiliki posisi yang sama, yaitu sumber ekomominya. Hal yang sama dilakukan oleh Sunarto, di pagi hari ke sawah dan siangnya menjadi pekerja bangunan di kota. Ketika musim yang menuntut mereka berdua lebih banyak waktu di sawah, seperti musim panen dan tandur, maka mereka meninggalkan kegiatan di pasar dan bangunannya.[4] Meski demikian, beberapa warga ada yang menjadikan sawah sebagai sumber tunggal ekonominya, hal ini diwakili oleh Rojali dan Kusnan. Mereka berdua, kehidupannya tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan di sawah, sehingga jika sawah tidak ada kegiatan maka mereka tidak mempunyai kesibukan.
Disamping sawah dan pasar sebagai sumber kehidupan ekonomi, terdapat beberapa warga dusun yang menjadikan birokrasi, kantor, pabrik, pendidikan dan wirausaha sebagai sumber ekonominya. Abu Rahmah Adhami dan Umi Karimah, misalnya, menjadikan pendidikan sebagai sumber ekonominya, meskipun mereka bukan dibesarkan dari keluarga yang memiliki pendidikan sebagai konsentrasinya. Abu Rahmah dan Umi Karimah sama-sama sebagai Guru Professional di SMK N dan SMP N salah satu di kota tersebut. Bagi mereka, meski tidak dibesarkan oleh keluarga yang berpendidikan, mereka menganggap hal itu penting dan dapat memberikan kehidupan yang berbeda.
Selain mereka berdua, Saifuddin juga merupakan warga yang menjadikan pendidikan sebagai sumber ekonominya. Saifuddin bekerja sebagai staff pengajar salah satu kampus ternama di Propinsi Jawa Timur dan tidak mempunyai kesibukan selain mengajar. Kumala Dewi, sebagai istri dari Saifuddin, juga tidak memilki kesibukan kecuali menjadi Ibu Rumah Tangga. Sistem keluarganya merupakan warisan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya, yaitu Hj Sholihatun-H.Sofjan Hadi dimana keduanya merupakan tokoh dusun Corogo.
Birokrasi diwakili oleh Fuad Hasanuddin dan M Eksan Wahyudi dimana keduanya sumber ekonominya tidak dapat dilepaskan dari birokrasi. Fuad sebagai kepala pedukuhan sehingga waktu kesehariannya dihabiskan di kelurahan. Sedangkan Eksan, meski bukan petugas desa, dia  merupakan salah satu warga yang peduli dengan isu-isu sensitif birokrat, baik di pedukuhan, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi maupun negara.
Selain beberapa sumber ekonomi diatas, sebagian masyarakat Corogo menjadikan pabrik dan wirausaha. Masyarakat buruh pabrik ini diwakili oleh Masyithah, Habibah, Nana dan sebagainya dimana rata-rata mereka mengenyam pendidikan sampai SMP-SMA sederajat. Sedangkan wirausaha diwakili oleh Saifullah, Andri, Lutfi, Udin dan sebagainya dimana mereka sama-sama hanya mengeyam pendidikan sampai SMP-SMA, namun tidak tertarik dengan dunia buruh pabrik.
Sedangkan secara religiusitas, tipoli masyarakat Corogo tidak begitu menonjol. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan Mushollah diluar bulan Ramadhan tidak begitu ramai seperti halnya kegiatan di Mushollah bulan Ramadhan.  Beberapa warga yang menjadikan rutinitas jamaah ke Mushollah, seperti Mulyono, H. Adam Malik, Hj. Sholihatun, Syamsuddin, Mar’ah, Isa, Wagirin, Syafi’i dan sebagainya. Beberapa orang tersebut dalam kegiatan Ramadhan tidak menonjol kecuali beberapa orang. Seperti H. Adam Malik, baik dalam maupun diluar Ramadhan, selalu hadir dalam setiap kegiatan di Mushollah. Keaktifan tersebut dapat dilihat dari posisinya ketika pengajian Ramadhan, disamping sebagai orang yang berperan memberikan tanda akan dimulainya pengajian, H. Adam juga selalu menempati posisi duduk dideretan paling depan sejajar dengan penceramah.
Hal itu juga terjadi pada Hj. Shalihatun dimana dia selalu duduk sejajar dengan penceramah, meski pada wilayah wanita. Hal serupa juga dialami oleh Umi Karimah. Tetapi, perbedaan keduanya terletak pada sisi religiusitas diluar Ramadhan dimana Hj. Shalihatun selalu hadir dalam kegiatan Mushollah, sedangkan Umi Karimah hanya beberapa momen kegiatan. Kondisi Umi Karimah juga sama dengan yang dialami oleh Abu Rahmah Adhami, meski pada kegiatan pengajian Ramadhan menduduki posisi yang sama dengan H. Adam, tetapi diluar Ramadhan dia hanya terlihat aktif pada beberapa sebagian kegiatan yang diadakan di Mushollah. Meskipun mereka berdua tidak aktif dalam kegiatan Mushollah diluar Ramadhan, semua kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat Corogo, bahkan kegiatan non-keagamaan, selalu meminta pendapat dan persetujuan darinya. Hal ini terjadi ketika kegiatan tarling menyambut bulan Ramadhan dimana para pemuda mendiskusikan format acara kepada beberapa tokoh, salah satunya kepada Abu Rahmah Adhami dan Umi Karimah.
Oleh karena itu, realiatas masyarakat diatas seolah-olah mendukung beberapa tokoh yang sependapat dengan tipologi masyarakat jawa yang digagas oleh Geertz. Mark R Woodward (1999: 2-4) melihat bahwa tipologi tersebut hanya dapat dilihat dari prespektif islam modernis dan kolonial. Hal ini, menurutnya, bahwa framework yang dipakai oleh Geertz tidak dapat dilepaskan dari islam prespektif keduanya. Oleh karena itu, Martin Jay (2013:385) berpendapat netralisir sebuah realitas dari beberapa teoritikal yang ada harus melepaskan semua teori-teori tersebut dan mensistesiskan realitas kepada teori baru, bukan realitas yang harus tunduk kepada teori.
Dengan demikian, untuk memahami realitas masyarakat dan berlangsungnya pengajian ramadhan di Dusun Corogo, maka diperlukan titik temu antara realitas sehari-hari masyarakat dengan realiatas yang ada dalam pengajian. Secara garis besar, tujuan sub-bab berikut ini adalah memahami kedua realitas dan mensitesiskan sehingga melahirkan sebuah teori dari realitas yang ada.
3.      Memahami Kegiatan Ramadhan
Puncak dari penelitian ini adalah menguaraikan secara antropologis kegiatan pengajian ramadlan di Dusun Corogo. Salah satu titik berangkat untuk menjelaskan, sebagaimana struktur tulisan ini, adalah dengan melihat kegiatan ramadlan dengan tipologi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya pada rangkaian pengajian. Oleh karena, sebagai peneliti yang meniliti rutinitas kegiatan warganya sendiri, antara kesadaran subyektif dan obyektif sangat diperlukan.
Kesadaran subyektif merupakan alat untuk menelaah realitas yang secara tidak sadar memiliki nilai-nilai antropologetik. Sedangkan kesadaran obyektif adalah alat untuk menjelaskan realitas tersebut tanpa adanya tendesi yang memihak kelompok tertentu. Tentunya, hal ini sama dengan sebuah penelitian diri sendiri dan menjelaskannya kepada khalayak umum. Sebuah tindakan yang menuntut diri sendiri untuk mencari formula bahwa argumen yang disusun dapat diterima oleh khalayak umum sebagai kebenaran.
Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, bahwa kegiatan pengajian ramadlan merupakan sebuah area warga untuk mengisi waktu disore hari dalam rangka menunggu datangnya adzan maghrib dengan menimba ilmu. Dengan dipelopori oleh kedua tokoh sentral, H. Adam Malik dan Abu Rahmah Adhami, pengajian tersebut seolah menegaskan posisi keduanya dalam struktur masyarakat. Hal ini terlihat dalam struktur duduknya yang tidak pernah tergantikan, mereka berdua selalu duduk disamping penceramah. Selain itu, sebuah tindakan pada penutupan pengajian menjadikan bukti lain dari posisi tersebut. Hal itu tercermin kepada persoalan bingkisan untuk penceramah,
Abu : iki pak ustadz e egk iso gowo bingkisane.
H. Adam : Fuad, ngongkon sopo kunu
Fuad : lha yo, pak Abu karo H. Adam iki piye, bingkisan sak mene yow Ustadz e ora iso gowo
Pul, ngajak o To ngeterno bingkisan nang omah e Ustadz iki
Sunarto : nganggo opo?
Fuad : nganggo motor kae lho (sambil menunjuk ke luar Mushollah)
Saifulloh : giaplek, sak karepe dewe ae rek
Husnan : motor sak mono akene bingung, nyileh diluk gone andri.
Saifulloh dan Sunarto : njeh
Percakapan tersebut memang sederhana, namun jika dianalisa lebih jauh bahwa percakapan tersebut menunjukkan posisi masing-masing dengan tugasnya. Oleh karena itu, struktur masyarakat Dusun Corogo pada umumnya memiliki peranan penting disini. Jika diamati secara seksama, percakapan tersebut mempunyai struktur fungsional masyarakat seperti berikut:
Tokoh
Peranan
H. Adam Maklik
Abu Rahmah Adhami
Memiliki kewenangan untuk memerintah dan mengatur
Fuad
Menerima perintah dan memiliki kewenangan untuk memerintah dan mengatur, tetapi tidak sampai kepada batas peranan H. Adam Malik dan Abu Rahmah Adhami
Saifulloh
Sunarto
Menerima perintah dari dua kategori diatas, namun perintah kategori pertama lebih absolut dari pada perintah kategori kedua yang lebih cenderung tentatif

Sebagaimana sub bab mengenal masyarakat Dusun Corogo, bahwa tipologi masyarakat jawa yang ditetapkan oleh Geertz tidak sepenuhnya dapat diterapkan, maka tipologi masyarakat Corogo tentunya menarik untuk dipelajari lebih jauh. Mudjahirin Tahir (2006:272) mengidentifikasi bahwa masyarakat jawa, selain jawa pesisiran, adanya sebuah hirarki dalam memandang manusia, yaitu dari golongan wong gedhe dan wong cilik cenderung kepada status pekerjaan. Oleh karena itu, status mereka dalam kehidupan sosial ditentukan oleh pekerjaan halus (kantoran) dan kasaran (pertanian dan perdangan). Namun, fenomena pekerjaan yang dimiliki oleh beberapa pelaku dalam pembicaraan tersebut beragamam dan cenderung memilki dua pekerjaan.
Tokoh
Pekerjaan
H. Adam Malik
Pertanian (kasar)
Perdagangan (kasar)
Abu Rahmah Adhami
Guru (halus)
Fuad
Ketua Dukuh (halus)
Sunarto
Pertanian (kasar)
Bangunan (kasar)
Saifullah
Wirausaha (kasar)

Kategori pekerjaan beberapa orang tersebut secara tidak langsung menolak anggapan Mudjahirin Tohir diatas. Hal ini, dua tokoh sentral realitasnya memilki pekerjaan kategori halus dan kasaran. Kategori pekerjaan Fuad juga seharusnya menjadikan orang terpandang, namun pada realitasnya masih merasakan adanya sebuah perintah dari sesama manusia yang harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa hirarki dalam masyarakat di Dusun Corogo ada, namun tidak sebagaimana yang jelaskan oleh Mudjahirin Tahir.
Hirarki masyarakat Dusun Corogo diatas, oleh penulis klasifikasikan sebagai berikut.
Tokoh
Kategori
Kelompok
Ideologi
H. Adam Malik
Atas
Kyai
Pemimpin
Abu Rahmah Adhami
Atas
Kyai
Pemimpin
Fuad
Menengah
Pengurus
Dipimpin
Sunarto
Kebawah
Santri
Dipimpin
Saifullah
Kebawah
Santri
Dipimpin

Sesungguhnya, hirarki tersebut tidak lain merupakan hasil interelasi nilai-nilai pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ridin Sofwan (200:119) interelasi dalam islam tidak hanya pada nilai tidak hanya pada satu arah, namun terkadang juga berlawanan arah, sehingga kebudayaan jawa begitu komplek. Kompleksitas tersebut, menurut Woodward (1999:5) menjadikan kebudayaan jawa menarik menarik untuk diteliti lebih jauh. Selain itu juga, Woodward (1999:2) mengatakan bahwa para sarjana kesulitan untuk menemukan kesapakatan dalam penelitian dibandingkan dengan peniliti lainnya.
Meskipun dalam masyarakat Dusun Corogo, interelasi nilai-nilai pesantren sangat kuat, namun dalam sisi tuturan, masyarakatnya tidak sepenuhnya mengikuti nilai-nilai pesantren. Hal ini terlihat bahwa percakapan diatas tidak digunakannya norma strata tuturan sebagaimana yang dipegang teguh dunia pesantren. Dalam hal ini, masyarakat Dusun Corogo terpengaruh dialek suroboyoan,dimana lebih cenderung meniadakan strata kelas dalam tuturan.
D.    Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa strata sosial yang ada di Dusun Corogo, secara tidak langsung menggambarkan peranan tinggi sosial seseorang karena kecakapan ilmu, pengetahuan, dan wawasannya. Jadi, derajat tinggi bukan hanya sekadar jabatan atau pekerjaan tinggi. Derajat juga bukan dalam artian gaji tinggi, tetapi derajat juga dapat diartikan sebagai peranan yang dimiliki ditengah masyarakat sehingga keilmuan yang dimiliki benar-benar menjadikannya orang berguna.
Oleh karena itu, keilmuan bukan berarti selamanya diartikan sebagai pendidikan formal, semua pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk orang banyak adalah sebuah ilmu dan menjadikan pemiliknya memiliki keistimewaan berbeda dengan orang lain.
E.     Daftar Pustaka
Abdullah. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Amin. Darori (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang:PKIBJ IAIN Walisongo dan Gramedia, 2000
Geertz. Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, tk:tp,tt.
Jay. Martin, Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Nurhadi, terj, Bantul: Kreasi Wacana, 2013
Ritzer. George dan Smart. Barry, Handbook Teori Sosial, Imam Muttaqien, dkk, penj, Bandung: Nusa Media, 2012.
Thohir. Mudjahirin (ed), Refleksi Pengalaman Penelitian Lapangan: Ranah Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Semarang: Fasindo, 2011
Thohir. Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo, 2006
Woodward. Mark R, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Hairus Salim, penj. Yogyakarta:LkiS, 1999.


[1] Menurut Mudjahirin Thohir (2006:9), kategorisasi Geertz berdasarkan struktur sosial masyarakat jawa, tepatnya Mojokuto, yaitu desa yang cenderung animistik dengan tradisi slametan, pasar yang cenderung Islamistik dengan perdangangan dan birokrasi yang cenderung Hinduistik.
[2] Pola pikir abduktif adalah pola pikir yang lebih menekankan adanya unsur hipotesa, interpretasi, proses pengujian, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan yang dihasilkan dari kombinasi dua pola induksi-deduksi untuk memperoleh sebuah pengetahuan.
[3] Pengamatan pada pengajian 19 Ramadhan
[4] Hal ini juga dimungkinkan dengan adanya pandangan bahwa sawah sudah tidak dapat dijadikan sumber ekonomi tunggal sebagaimana masyarakat yang diteliti oleh Geertz.