Tampilkan postingan dengan label DiskusiIAT.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DiskusiIAT.. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Maret 2020

Part 3: kuliah Bahasa al-Quran IAT A


Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan dalam keseharian manusia, baik itu dalam usaha bisnis, berinteraksi dengan teman, bahkan dengan penyandang cacat. Dalam Bahasa Indonesia kata Bahasa mempunyai beberapa makna atau pengertian. Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi. yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Lambang- lambang bunyi bahasa berwujud kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.[1]
Setidaknya ada dua teori tradisional yang menyatakan tentang kelahiran bahasa, yakni hipotesis monogenesis dan hipotesis poligenesis. Ening Herniti mengutip sumarsono memaparkan bahwa berdasarkan hipotesis monogenesis semua bahasa di dunia ini berasal dari satu bahasa induk dan menyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa.[2] Sehingga menurut teori ini sejak generasi pertama manusia sudah dibekali kemampuan berbahasa, dan bahasa inilah yang diwariskankan kepada keturunan mereka (manusia).
Sedangkan hipotesis Poligenesis, masih menurut Ening Herniti adalah hipotesis yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa yang berlainan lahir dari berbagai masyarakat, juga berlainan secara evolusi. Menurut teori ini, bahasa di dunia ini tidak mungkin berasal dari satu bahasa induk. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan, bergantung pada faktor-faktor yang mengatur pertumbuhan bahasa itu.[3]

Membicarakan al-Quran yang menarik salah satunya adalah berbicara mengenai bahasa. Banyak cerita teologis mengenai perdebatan tsb yang bermuara nantinya pada al-Quran itu Qadim atau Hadis. Jika dilihat dari pemaparan pemakalah di atas, menurut anda bahasa al-Quran terkategorikan? Silahkan berdiskusi



[1] Abdul Chaer, “Linguistik Umum” 2, no. 2 (2011): hlm. 1.
[2] Ening Herniti, “Bahasa Dan Kelahirannya,” hlm. 112-113.
[3] Ening Herniti, hlm. 112.

Minggu, 09 Februari 2020

Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan

Abstract

By.  AB

This article focuses on the issue of deradicalization of religious understanding through the reinterpretation of the traditions of the Prophet. This focus departs from the phenomenon of fighting in the name of religion or the actualization of the interpretation of religious texts, but the understanding gained is still textually safe. One of them is an understanding of the hadith of heaven under the auspices of the sword. Textually, al-saif is generally interpreted as sharp equipment used in warfare, namely the sword. While al-jannah is generally interpreted as a park or place where Muslims receive gifts from their earthly lives. This study utilizing Jorge J.E Gracia's literature review and interpretation discusses that al-jannah and al-Saif have meanings other than heaven and swords. Al-jannah if transferred proportionally can produce meaning as a vision and mission of life based on love, peace, and peace. While al-saif can be interpreted as patience, stay away from hostility and forgive each other 
You can read the article at the following text Deradicalization on Journal Hikmatuna, Vol. 5, No 1, 2019

References

al-Asqalani, I. H. (2002). Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

al-Nawawi, A. Z. (n.d.). Al-Manhaj Syarh Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-Arabi.

Ali, S. A. (1995). The Spirit of Islam: A History of The Evolution and Ideals of Islam with A Life of The Prophet. Delhi: Low Price Publications.

al-Sahar Nufuri, K. A. (2007). Bazal al-Majhud fi Hall Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kutu b al-Ilmiyyah.

Al-Zainy, T. M. (n.d.). Al-Majaza>t al-Nabawiyyah. Kairo: Muassasat al-Halabi.

Amin, S. M. (2010). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Arifin, M. Z. (2015). Deradikalisasi Pnafsiran al-Quran. Empirisma, 24(1), 56–62.

Armstrong, K. (2001). Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World. New York: Anchor Book.

Baharuddin, M. A. (2011). Hadis-Hadis Analogi Hari Kebangkitan Dengan Musim Semi: Studi Ma’anil Hadis [Skripsi]. Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga.

Baharuddin, M. A. (2013). Teori Interpretasi Gracia dan Relevansinya Terhadap Pengembangan Metodologi Ma’ani al-Hadis (Tesis). PPs UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Bay, K. (2015). Kriteria Sunnah Tasyri’iyah yang Mesti Diikuti. Jurnal Ushuluddin, 23(1), 71–87.

Bonner, M. (2006). Jihad Islamic History: Doctrines and Practice. New Jersey: Princeton University Press.

Chasbullah, A., & Wahyudi. (2017). Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qital. Fikri, 2(2), 407–424.

Febriane, S., & Mariamah. (2013). Keberhasilan Semu Deradikalisasi Di Indonesia. Global, 15(2), 137–164.

Harris, R. T. (2005). Antikekerasan dalam Islam:Tradisi Jemaat Alternatif. In D. L. S. Cristopher (Ed.), Lebih Tajam Dari Pedang. Yogyakarta: Kanisius.

Imam, K. (2016). Relevansi Hermeneutika Jorge J.E Gracia Dengan Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 17(2), 251–264.

Jabali, F. (2010). Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana dan Bagaimana? Jakarta: Mizan.

Karwadi. (2014). Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Islam. Al-Tahrir, Vol. 14(1, Mei 2014), 139–156.

Luftiyah, L., Tamam, A. B., & Muniroh, A. (2016). Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran: Pendampingan Masyarakat Rawan Terpengaruh Gerakan Islam Garis Keras. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, 6(1), 85–112.

M.A Salahi. (2010). Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Muslim. (n.d.). Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadid.

Mustaqim, A. (2008). Paradigma Interkonesi dalam Memahami Hadis: Pendekatan Historis, Sosiologis dan Antropologis. In M. Yusuf (Ed.), Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis. Yogyakarta: Bid. Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Prasetiawati, E. (2017). Menanamkan Islam Moderat Upaya Menanggulangi Radikalisme di Indonesia. Fikri, 2(2), 523–570.

Pustakaridwana. (n.d.). Maktabah al-Samilah al-Isdar al-Sani (Versi 3.1).

Qardhawi, Y. (2007). Pengantar Studi Hadis (A. Suyadi & D. Rodin, Penerj.). Bandung: Pustaka Setia.

Rahman, A. (2002). Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer (A. Sidik, Penerj.). Jakarta: Amzah.

Ridha, M. (2004). Sirah Nabawiyyah. Bandung: IBS.

Rohimin. (2006). Jihad: Makna Baru dan Hikmah. Jakarta: Erlangga.

Siswanto. (2017). Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam Inklusif Dalam Membangun Kesadaran Plurisme Agama. Hikmatuna: Journal for Integrative Islamic Studies, 3(2), 264–280.

Umar, N. (2014). Deradikalisasi Pemahaman al-Quran dan Hadis. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Zuhdi. (2017). Radikalisme Agama dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan. Akademika, 22(01), 199–224.

Rabu, 28 Agustus 2019

RPS dan Pembagian Kelompok MK Hadis Tematik

Pengantar
 
Mata kuliah ini bertujuan memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan siyasah, muamalah atau hubungan sosial manusia baik muamalah terhadap manusia maupun alam dan lingkungan. Mahasiswa diarahkan untuk mengembangkan wawasan mengenai hadis-hadis tersebut sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan. Perkuliahan ini menggunakan model temarik sehingga mahasiswa diharapkan mampu memahami hadis-hadis Nabi yang sesuai tema secara holistik dan mampu mengkontekstualisasikan dengan kondisi kekinian sehingga bisa menjadi bekal hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Berikut RPS dan Pembagian Kelompok MK Hadis Tematik Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir, IAIN Pekalonagn, Semester Gasal, Kalender Akademik 2019-2020.

RPS dapat dibaca Disini
Pembagian Kelompok Kelas IAT A baca Disini
Pembagian Kelompok Kelas IAT B baca Disini

Senin, 18 Februari 2019

Memahami Asbab al-Nuzul dalam Mengkaji al-Quran


PENDAHULUAN
           Oleh : Nurul Ifadah dan Nur Muhammad Rizqi
            
      Al-Qur’an adalah kalam Allah dan merupakan kitab suci bagi umat Islam yang tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dan dijadikan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim.. Al-Qur’an memiliki perananan yang sangat penting bagi kehidupan umat Islam karena al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang benar dan lurus.. Bagi umat Islam, seluruh isi kandungan yang terdapat didalam al-Qur’an berlaku bagi siapa pun, kapan pun, dan dimana pun karena al-Qur’an merupakan inti peradaban Islam.[1]
      Kegiatan menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu bentuk kegiatan untuk melihat dan menguji kevaliditas sebuah teks bagi kehidupan manusia. Redaksi ayat-ayat al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh Allah sendiri. Oleh karena itu seorang mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat al-Qur’an.[2] Hal ini membuahkan keanekaragaman penafsiran. Dalam mengkaji ilmu pengetahuan, khususnya dibidang ilmu tafsir, beberapa hal yang mendasar agar sasaran atau tujuan untuk mempelajari ilmu tersebut tercapai.
      Untuk menjadikan al-Qur’an shahih disetiap zaman diperlukan pengembangan dalam ilmu tafsir dan pada setiap kegiatan penafsiran al-Qur’an harus selalu dikaitkan dengan Asbabun-Nuzul ayat sebagai landasan historis. Dalam kegiatan penafsiran juga perlu memperhatikan realitas yang ada atau dibutuhkan adanya semacam komparasi historis agar pola penafsiran tidak bersifat “a history”. Oleh sebab itu (teks) al-Qur’an menjadi subjek yang tepat untuk di interpretasikan.


PEMBAHASAN 
A.    Pengertian Asbabun Nuzul
      Secara etimologi Asbabun Nuzul” merupakan susunan kata yang terdiri dari dua kata yaitu Asbab dan ­an-Nuzul. Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sabaabun yang berarti sebab, alasan, illat. Adapun kata Nuzul berasal darikata kerja Nazala yang berarti turun.[3]
      Sedangkan secara terminologi, Asbab an-Nuzul adalah suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat atau surat pada waktu proses turunnya al-Qur’an.[4] Seperti peristiwa yang terjadi pada saat turunnya al-Qur’an, lalu turun satu atau beberapa ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa tersebut atau seperti pertanyaan yang dihadapikan kepada Rasullullah Saw., lalu turunlah satu ayat atau beberapa ayat al-Qur’an yang didalamnya terdapat jawabannya.
      Bagi al-Qur’an, suatu akibat tidak akan terjadi tanpa adanya sebab terlebih dahulu. walaupun diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab tertentu, tetapi sebab disini, secara teoritis tidak mutlak adanya, walaupun secara empiris telah terjadi peristiwanya. Adanya sebab Nuzul Qur’an ialah merupakan suatu manifestasi kebijaksanan Allah dalam membimbing hamba-Nya. Dengan adanya asbab an-nuzul akan lebih tampak keabsahan al-Qur’an sebagai petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia.[5]
      Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian asbabun nuzul, salah satunya ialah al-Zarqani yang menyebutkan bahwa asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi sehingga kejadian tersebut dijadikan dalil atau petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat. Kemudian Subhi as-Salih juga mengungkapkan bahwa asbabun nuzul ialah suatu peristiwa atau kejadian tertentu yang turunnya berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat pertanyaan yang diajukan oleh sahabat kepada Nabi untuk mengetahui hukum syara’ atau untuk menafsirkan suatu hal yang berkaitan dengan agama guna memberikan penjelasan terhadap masalah yang terjadi. Sedangkan Hasbi Ash-Siddieqy mendefinisikannya sebagai kejadian yang karenanya diturunkan al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di suatu peristiwa sehingga al-Qur’an diturunkan langsung sesudah terjadinya sebab itu ataupun dikarenakan suatu hikmat.[6]
      Tidak semua ayat atau surat dalam al-Qur’an diturunkan beriringan dengan asbabun-nuzul, tetapi sebagian besar al-Qur’an justru diturunkan tanpa asbabun-nuzul. Berkaitan dengan hal tersebut dapat kita ketahui bahwa al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori yaitu: Pertama, ayat yang turun dengan adanya sebab atau pertanyaan. Kedua, ayat yang turun tanpa adanya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya seperti ayat-ayat yang menceritakan kisah para Nabi terdahulu, cerita umat atau peristiwa masalalu, berita tentang hal-hal gaib, penjelasan kondisi di hari kiamat, dan sebagainya.[7]
      Oleh sebab itu, Asbabun nuzul didefinisikan sebagai sesuatu hal yang karena al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan hukum-hukum Islam yang mengatur umat manusia dari alam kesesatan dan memberikan aturan-aturan atau aqidah-aqidah pada umat Islam, yang kemudian menjadi hukum-hukum al-Qur’an.

B.     Redaksi Asbabun Nuzul
      Bentuk redaksi yang menerangkan asbabun-nuzul ada yang menggunakan pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula menggunakan pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan maknanya.[8] Hal ini dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:
1.      Redaksi yang jelas menunjukkan sebab nuzul (Sharih). Hal ini terbagi menjadi tiga tingkatan:
a.       Diungkapkan dengan bahasa sebab seperti: sababu nuzuli al-ayah kadza (sebab turunnya ayat ini adalah...). Dalam redaksi tersebut sudah jelas mengandung  pengertian penyebab diturunkannya sebuah ayat, dan tidak memiliki kemungkinan makna lain.
b.      Diungkapkan dengan fa’ jawab ini mengandung pengertian penyebab diturunkannya ayat tetapi kekuatannya satu tingkat dibawah redaksi pertama.
c.       Jawaban Rasul Saw. atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Jawaban ini tidak diungkapkan dengan menggunakan redaksi sebab atau fa’ melainkan dipahami dari sebuah konteks pertanyaan dan ayat yang diturunkan. Contohnya terdapat pada Q.S. al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
      Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.
      Ayat tersebut menggunakan redaksi sharih karena sebuah riwayat yang dibawakan oleh Jabir yang mwngatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata, “apabila seorang suami mendatangi “qubul” isterinya dari belakang, anak yang lahir akan juling”. Maka turunlah firman Allah, “Isteri-isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...”[9]
      Imam Ahmad dan at-Tirmdzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Pada suatu hari, Umar mendatangi Rasulullah lalu berkata, ‘Celaka saya wahai Rasulullah!’ Rasulullah pun bertanya, ‘apa yang membuatmu celaka?’ Umar berkata, ‘Semalam saya menggauli isteri saya dari arah belakang.’ Namun Rasulullah tidak menjawab. Lalu Allah menurunkan ayat, ‘isteri-isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...’[10]
      Rasulullah bersabda,
“Gaulilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, dan hindari menjima’ isteri pada duburnya ketika dia sedang haid.”
2.      Redaksi yang tidak jelas menunjukkan makna sebab nuzul (Ghair Sharih).
Pada redaksi ini terdapat beberapa kemungkinan makna. Hal ini berarti menunjukkan sebab nuzul tetapi disaat yang sama juga mengandung arti penjelasan status hukum yang terkandung dalam ayat yang sedang diceritakan. Yang dapat menentukan mana makna yang paling kuat diantara dua kemungkinan makna tersebut adalah qarinahnya saja.
      Dengan demikian, apabila ada dua riwayat terkait dengan sebab nuzul ayat atau beberapa ayat, yang satu menggunakan redaksi yang jelas (sharih) dan yang satu menggunakan redaksi yang tidak jelas (ghair sharih), maka yang diambil sebagai sebab nuzul adalah riwayat redaksi yang beredaksi jelas (sharih), sedangkan riwayat yang beredaksi tidak jelas dianggap sebagai penjelasan atas apa yang terkandung dalam ayat tersebut. Contohnya terdapat pada Q.S. al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
   Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.
            Pada ayat tersebut terdapat redaksi ghair sharih, dimana dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Hakim, dari Ibnu Abbas mengemukakan bahwa penduduk sekitar Yastrib (Madinah) tinggal berdampingan bersama kaum yahudi. Mereka menganggap bahwa kaum Yahudi terhormat dan berilmu, sehingga banyak dari mereka yang meniru perbuatannya dan menganggap bahwa apa yang dilakukan kaum yahudi itu baik. Salah satu perbuatannya yang dianggap baik oleh mereka ialah tidak menggauli isterinya dari belakang.[11]
      Sedangkan penduduk kampung sekitar Quraisy (Makkah) menggauli isterinya dengan segala keleluasaannya. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Maka ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah salah seorang mereka kawin dengan seorang wanita Ansar. Ia berbuat seperti kebiasaannya tetapi ditolak oleh isterinya dengna berkata “kebiasaan orang sini, hanya menggauli isterinya dari muka.” Kejadian tersebut sampailah pada Nabi Saw, sehingga turunlah ayat tersebut yang membolehkan menggauli isterinya darimana saja baik depan, belakang atau terlentang asal tetap di tempat yang lazim.[12]

C.    Urgensi dan Manfaat Asbabun Nuzul
      Banyak ulama yang memandang bahwa ilmu ini sebagai salah satu cabang ilmu yang memiliki kedudukan yang penting dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan formulasi kalam Allah dalam bentuk tulisan yang diorientasikan bagi kemaslahatan manusia. Urgensi dari kedudukan ilmu asbab an-nuzul dapat dilihat dari pendapat para ahli ilmu al-Qur’an tentang peranan asbabun nuzul, di antaranya:[13]
1.      Ibn Daqiq al-‘Id (615-702 H), menyatakan: “Mengurai asbab an-nuzul al-Qur’an adalah merupakan salah satu cara yang kuat dalam memaknai al-Qur’an”[14]
2.      Ibn Taimiyah (661-728 H): “Mengenali asbab an-nuzul menolong (membantu) seseorang untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena pengetahuan tentang sebab akan mewariskan pengetahuan terhadap musabab”
      Dilihat dari pandangan ulama tersebut dapat diketahui bahwa ilmu asban an-nuzul mempunyai kedudukan yang penting dan tak terpisahkan dari ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain. Dengan mempelajari asbabun nuzul maka secara tidak langsung kita telah mempelajari kandungan isi dalam al-Qur’an. Selain itu, manfaat mempelajari asbabun nuzul yaitu:[15]
a.       Membantu memahami ayat dan dapat menghilangkan kekeliruan pemahaman seorang mufassir.
b.      Mengetahui hikmah dibalik penetapan sebuah hukum
c.       Membantu menyelesaikan makna-makna ayat al-Qur’an dan mendorong mufassir untuk berpegang kepada hakikat dari penafsiran al-Qur’an.

D.    Macam-Macam Asbabun Nuzul
      Untuk memahami al-Qur’an tidak selalu mempelajari situasi dan masalah lokal saat itu sebagai latar belakang turunnya al-Quran, tetapi juga harus memahami perkembangan situasi dan kondisi masyarakat secara keseluruhan ketika al-Qur’an diturunkan. Asbabun Nuzul al-Qur’an terbagi menjadi beberapa macam yaitu:
1.      Asbabun Nuzul Mikro
      Asbabun nuzul mikro adalah ilmu yang mengelaborasi hubungan antara suatu ayat al-Qur’an dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Pemahaman dalam metode yang dikembangkan oleh ulama salaf ini berimplikasi pada keharusan adanya Asbabun Nuzul yang tersebut dalam al-Qur’an, sehingga hal-hal yang tidak disinggung dalam al-Qur’an tidak bisa disebut sebagai Asbabun Nuzul.
      Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) adalah melalui: “riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah dan sahabat”, itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai sesuatu yang bila jelas maka ia mempunyai hukum marfu. Al-Wahidi mengatakan:[16]
      “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya, dan membahas tentang pengertiannya”.
      Metode tersebut ditempuh dan digunakan oleh ulama Salaf, mereka sangat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai Asbabun-Nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun-nuzul adalah riwayat, ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad yang secara pasti menunjukkan Asbabun-Nuzul.
      Menurut Ibn jarir At-thabari, semasa hidup beliau pada akhir abad 9–10 M, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam muatannya baik dalam perubahannya maupun dinamika masyarakat yang terus bergulir, tentu saja hal ini mewarnai cara pandang dan cara berpikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan. Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah Asbabun Nuzul, Ath-Thabari melontarkan tiga pernyataan mendasar mengenai konsep sejarah, antara lain: Pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian. Kedua, pentingnya pengalaman pengalaman dari umat dan kosistensi dan pengalaman sejarah.[17]
      Berkenaan dengan qiro’at (cara baca) surat Al-fatihah, ين الد يوم ملك Ath-Thabari memaparkan ada tiga jenis tanda baca : Ma’ dengan bacaan pendek, panjang dan dengan membaca Fatha Ka’. Sehingga pada akhirnya beliau menjelaskan bahwa makna takwil dengan Ma’dibaca panjang berdasarkan kepada sebuah riwayat dari ibn kuraib dari ibn abbas.[18]

2.      Asbabun Nuzul Makro
     Asbabun nuzul yang bersifat makro yaitu asbabun nuzul yang tidak hanya membahas bagian-bagian individual al-Qur’an saja dan bukan hanya berupa peristiwa dan pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat yang menyangkut sosio-historis. Tetapi asbabun nuzul makro ialah sabab yang membahas secara menyeluruh menyangkut hubungan sosial didalam masyarakat Arab pada waktu itu.
     Fazlur rahman mengomentari bahwa dibutuhkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu al-Qur’an tafsir, antara lain: pertama, diakui prinsip bahwa tidak hanya pengetahuan tentang bahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami al-Qur’an secara tepat, tetapi juga memahami bahasa Arab pada zaman Nabi. Kedua, tradisi historis yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah al-Qur’an dimasukkan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Allah SWT.[19]
     Dalam Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh, merupakan salah satu contoh penafsiran yang tidak hanya menekankan bahasa tetapi juga menekankan realitas universal sebagai munasabah atas asbabun nuzul seperti Q.S al-Lail ayat 15 dan 17, dimana inti dari asbabun nuzul ayat ditujukan hanya kepada Umayyah dan Abu Bakar, akan tetapi Muhammad Abduh bahkan menafsirkan ayat tersebut secara univesal tanpa adanya pengkhususan terhadap tokoh sejarah yang dituju oleh teks.

KESIMPULAN

     Asbabun nuzul memiliki peranan penting dan kegunaan yang cukup besar dalam usaha penafsiran al-Qur’an karena urgensi mempelajari asbabun nuzul yaitu untuk memperdalam penghayatan dan wawasan penafsiran al-Qur’an serta membentengi diri dari kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan mengetahui asbabun nuzul seorang mufassir yang hendak memahami al-Qur’an benar-benar bisa menjiwai suasana sosiologis dari makna yang terkandung didalam al-Qur’an. Jika seorang mufassir tidak berpijak pada sejarah munculnya sebuah teks maka kita tidak memiliki kajian analisis yang bersifat obyektif. Oleh karena itulah pentingnya nilai-nilai historis sebagai barometer untuk melacak sejarah masalalu dan yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan. 1997. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2008. Terj. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an. Depok: Gema Insani.
Anshori. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo.
Hamid, Abdul.  2016. Pengantar Studi Al-Qur’an.  Jakarta: Kencana.
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bumi Aksara
Suaidi, Pan. Almufida. Asbabun Nuzul: Pengertian, Macam-Macam, Redaksi dan Urgensi. Vol.1 No.1, Tahun 2016.
Suma, Muhammad Amin. 2014. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Susfita, Nunung. Asbabun Nuzul al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro. Vol.13 No.1. Tahun 2015.
Zaini, Ahmad. Asbab an-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna al-Qur’an. Vol.8, No.1, Tahun 2014.


[1] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm.1
[2] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hlm.22
[3] Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2016) hlm.102-103
[4] Anshori, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), hlm.101
[5] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011)hlm.132
[6] Ahmad Zaini, “Asbab an-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna al-Qur’an”, Vol.8, No.1, Tahun 2014, hlm.4-5
[7] Ibid,… hlm. 102
[8] Anshori, Ulumul Qur’an,... hlm. 104
[9] Jalaluddin as-Suyuthi, Terj. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (Depok: Gema Insani, 2008) hlm.94
[10] Jalaluddin as-Suyuthi, Terj. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an,...hlm.94
[11] Pan Suaidi, Almufida “Asbabun Nuzul: Pengertian, Macam-Macam, Redaksi dan Urgensi”, Vol.1 No.1, Tahun 2016, hlm.117
[12] Pan Suaidi, Almufida “Asbabun Nuzul: Pengertian, Macam-Macam, Redaksi dan Urgensi”,...hlm.118
[13] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.229
[14]Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,...hlm.211
[15] Anshori, Ulumul Qur’an,…hlm.113-114
[16] Nunung Susfita, Asbabun Nuzul al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro, Vol.13 No.1, Tahun 2015, hlm.71
[17] Nunung Susfita, Asbabun Nuzul al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro,…hlm.72
[18] Nunung Susfita, Asbabun Nuzul al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro,...hlm.72
[19]Ibid.,hlm.74