Senin, 30 November 2015

LOGIKA DALAM FILSAFAT DAN RELEVANSINYA UNTUK MENGGAPAI KEMAJUAN KEILMUAN


A. PENDAHULUAN
Secara sederhana, berfikir filosofis adalah berpikir secara kritis, mendalam sampai akar-akarnya serta dapat dipertanggungjawabkan. Pengertian sederhana tersebut dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwasannya peranan logika dalam berfikir filosofis menduduki peranan sentral.  Meskipun demikian, para filosof klasik tidak memperkenalkan logika dalam bangunan konsep yang dia bangun. Seperti Aristoteles, meski membuat karya tentang dasar-dasar logika, berpendapat bahwa logika bukan termasuk dari bagian Filsafat (berfikir secafar filosofis, red), namun merupakan bagian sebelum dari filsafat itu sendiri, logika adalah sebuah persiapan sebelum memasuki dunia berpikir secara filosofis.[1]
Dalam perjalanannya, logika tidak hanya sebagai ilmu persiapan untuk memasuki dunia filsafat, tetapi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari Filsafat. Lebih lanjut, perkembangan filsafat juga kemudian menjadikan logika sebagai ilmu cabang dari filsafat, meski hal itu tentunya terdapat pro-kontra. Oleh karena itu, mengenal lebih jauh tentang logika, baik ketika masih menjadi ilmu pembuka, bagian integral, maupun sebagai cabang filsafat.
Berawal dari pemaparan diatas, ada beberapa pertanyaan yang perlu mendapat kajian, terutama dalam pembahasan makalah ini, selain sejarah logika diatas, adalah apa yang dimaksud dengan logika, apakah ada perbedaan pengertian melihat pergeseran aksiologis logika secara historis. Lebih jauh lagi, dalam dunia pengetahuan kontemporer filsafat menduduki posisi strategis dan utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Nah, bagaimana posisi logika dalam persoalan tersebut, apakah sestrategis filsafat atau bahkan melebihi filsafat.
Disamping itu, logika juga perlu dikaji dalam sisi agama, bagaimana peranan dan kedudukannya dalam agama, hal ini dikarenakan dalam agama Islam, misalnya, literatur utama dan pertamanya-al-Quran-tidak sedikit menggunakan redaksi akal dan berfikir. Dari semua pemaparan diatas dan keterbatasan waktu-ruang, maka penulis coba berusaha menjawab berbagai pertanyaan diatas semampunya dalam tulisan singkat ini.   
    B.     PEMBAHASAN
      a.      Sekapur sirih “Logika”
a     Logika berasal dari kata Yunani Kuno, λογική(logikos) yang berasal dari kata benda λσγσς (Logos) yang mempunyai arti sesuatu yang diutarakan, pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa.
Sedangkan λογική(logikos) berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (piki
ran), mengenai kata, mengenai percakapan, mengenai bahasa. Oleh karena itu, logika menurut bahasa
adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan melalui
bahasa.[2]
              Sedangkan logika menurut para ahli adalah sebagai berikut:
-          Jan Hendrik Rapar: Logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.[3]
-          K. Bertens: Logika adalah ilmu yang berguna untuk menyelidik lurus tidaknya pemikiran.[4]
-          Harry Hamersma: cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah.[5]
-          I Gusti Bagus Rai Utama: logika adalah ilmu yang memepelajari kecakapan untuk berfikir secara lurus, tepat, dan teratur.[6]
-          Loren Bagus: Logika adalah studi tentang aturan-aturan penalaran yang tepat serta bentuk dan pola pikiran yang masuk akal.[7]
               Dari pemaparan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa logika adalah ilmu yang membahas aturan-aturan dan metode keabsahan atau ketepatan berfikir.[8] Oleh karena itu, filsuf klasik, Aristoteles, tidak memasukkan logika dalam karya-karya filsafatnya dikarenakan logika merupakan pijakan utama dan pertama dalam memasuki dunia filsafat. Lebih jauh lagi, K. Bertens mengemukakan bahwa salah satu alasan Aristoteles karena logika menurutnya merupakan pijakan awal sebagai persiapan untuk berfikir.[9] Tentunya, alasan tersebut menurut sebagian orang bertentangan.
       Misalnya, seorang dapat membaca harus mengetahui tulisan. Hal ini pasti akan menimbulkan dua kutub besar, pertama mengatakan tulisan termasuk bacaan, kedua tulisan bukan termasuk bacaan. Contoh tersebut sama halnya dengan mengatakan pangkal filsafat adalah penalaran, namun bagi kelompok tertentu penalaran bukanlah filsafat, menurut sebagian lainnya penalaran adalah bagiannya.
       Aristoteles, salah satu tokoh pertama Filsafat, meski tidak memasukkan logika dalam karya-karyanya, namun dalam kenyataannya, logika dalam filsafat Arietoteles menduduki posisi strategis. Salah satu bukti bahwa Filsafat Aristoteles menggunakan “kerangka kerja” logika adalah banyak didapati didalam karya-karyanya struktur kerja logika, seperti analitika-penyelidikan tentang argumen berdasarkan putusan-putusan yang benar dan dialektika-penyelidikan tentang argumen berdasarkan hipotesa. Selain itu, Aristoteles membuat beberapa karya yang kemudian hari menjadi pijakan pengembangan logika, categoriae, De Interpretatie, Analitica Priora, Analitica Posteriora, Topika dan De Sophisticis Elenchis.
       Cicero-lah, Filsuf Yunani abad pertama, yang mengenalkan logika dalam filsafat. Meski sebagai orang pertama-menurut sebagian besar-yang memperkenalkan istilah logika dalam filsafat, namun dia mengartikan logika sebagai seni berdebat, bukan sebagai aturan dan metode menyingkap keabsahan sebuah pernyataan. Sedangkan filsuf pertama yang menggunakan istilah logika seperti sekarang adalah Alexander Aphrodisias, seorang filsuf abad ke-3 yang menyatakan bahwa logika adalah ilmu yang menyelidiki lurus atau tidaknya pemikiran.[10]
       Logika yang berkembang dewasa ini merupakan sebuah metode berfikir yang sesuai aturan, tentunya, aturan ini bersinergi kepada epistemologi yang dipegang oleh masing filsuf. Seperti filsuf rasionalisme, berpegang pada aturan-aturan keabsahan berfikir secara rasional, filsuf empirisme berpegang kepada aturan-aturan empirik. Namun demikian, aturan-aturan keabsahan tersebut merupakan aturan ilmiah sehingga bisa dijadikan dasar kelogisan berpikir ilmiah. Hal ini dikarenakan filsafat kontemporer memposisikan logika sebagai suatu metode berpikir ilmiah sehingga aturan-aturan dalam metode tersebut harus sesuai dengan criteria metode ilmiah. Oleh karena itu, beberapa filsuf mengkategorikan logika kepada logika ilmiah dan alamiah, artinya logika meski membicarakan metode dan aturan berpikir, namun pemikiran tidak semuanya bisa mengikutinya. Seperti logika ilmiah adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis (proposisi) dengan ketentuan ilmiah, berbeda dengan logika alamiah yang terkadang mengesampingkan ketentuan ilmiah.
        Ahmad Tafsir dalam bukunya, Filsafat Ilmu, mengatakan bahwa berpikir dengan logika (logis) adalah penyimpulan sebuah proposisi yang ada atas kesuasaiannya dengan hukum alam. Sedangkan rasional adalah menarik kesimpulan seseuai dengan akal. Sebaliknya, logika alamiah adalah penyimpulan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum alam, tetapi hal ini dapat dipergunakan sebagai pengetahuan selama argument-argument yang dipakai untuk menyimpulkannya dapat diterima akal.[11]  logika alamiah ini kemudian dikenal dengan logika suprarasional.
               Salah satu contohnya adalah Ibrahim dan Api sebagaimana yang termuat kisahnya dalam al-Quran. Dari kisah tersebut, jika dilihat dari logika (sebagai metode dan aturan berfikir yang benar), tentunya menjadi seperti ini:
               Ibrahim adalah Manusia
               Api menghanguskan benda yang dibakar
               Manusia dibakar hangus
               Tentunya, logika ilmiah menarik kesimpulan Ibrahim dibakar hangus. Tetapi, sebagaimana yang dikisahkan dalam al-Quran bahwasannya Ibrahim tidak hangus. Oleh karena itu, menurut logika ilmiah peristiwa terbakarnya Ibrahim tidak dibenarkan. Namun dengan kacamata logika alamiah, hal itu dapat dibenarkan dengan argument-argument seperti ini.
        Tuhan membuat api. Api itu terdiri atas dua substansi, yaitu api dan panas. Api dan panas sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Namun, secara kondisional dan kepentingan Tuhan, Tuhan mengubah sifat api dari panas menjadi dingin. Bolehkah Tuhan berbuat seperti itu?[12]
        Dengan penjelasan Ahmad Tafsir diatas, tentunya dapat disimpulkan bahwa logika adalah pijakan berfikir logis, berfikir logis merupakan menarik sebuah kesimpulan atas premis-premis yang ada beserta argumennya dan dapat diterima oleh akal.Penjelasan Tafsir tersebut juga perlu digaris bawahi bahwasannya logika merupakan suatu metode berfikir yang integral dengan corak dan aliran epistemologi yang dianutnya.
        Sebagaimana pemaparan sebelumnya, logika merupakan sebuah alat penalaran dalam berfikir yang berdasarkan premis-premis dalam bentuk proposisi. Oleh karena itu, langkah awal dalam berlogika adalah memiliki pengetahuan awal, baik secara a priori atau a posteriori, yang ada dalam premis tersebut. Tentunya, penalaran dengan asas logika tersebut akan tidak benar-jika tidak ingin mengatakan sesat-sejak awal jika proses bernalar tidak didahului pengetahuan. Lebih lanjut, jika dicermati secara seksama, unsur-unsur yang ada dalam logika adalah term atau konsep, proposisi dan penyimpulan.    
b.      Objek Logika
Membicarakan logika sebagai ilmu tersendiri, atau framework ilmiah, tentunya membawa kepada pertanyaan objek kajian logika. Dalam disiplin ilmu pengetahuan, objek kajian terbagi menjadi dua, objek formal dan material. Hal ini juga berlaku kepada kajian logika sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwasannya logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan aturan-aturan berpikir yang sah. Berawal dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwasannya objek material dari logika adalah berfikir atau pemikiran tentang ilmu itu. Sedangkang objek formal dari logika adalah metode atau aturan-aturan keabsahan berfikir.
Pembagian objek kajian logika, menurut sebagian orang, akan bertemu pada psikologi. Seperti yang sudah diketahui, objek material suatu keilmuan masih memungkinkan sama dengan objek material ilmu lainnya. Semisal, objek material filsafat dan kedokteran sama, yaitu manusia. Sama halnya dengan filsafat dan kedokteran, objek material logika dan psikologi sama, yaitu kajian aktivitas berpikir. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah sebagai berikut.
Logika mempelajari hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Psikologi juga membicarakan aktivitas berpikir, karena itu kita hendaklah berhati-hati melihat persimpangannya dengan logika. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar salah. Sebaliknya, urusan benar salah menjadi pokok dalam logika.[13]
      c.       Macam-Macam Logika
Tidak sedikit buku yang membahas persoalan logika dalam filsafat, sejak era klasik hingga sekarang berjumlah ratusan. Akibatnya, bagi sebagian orang macam-macam logika sangat membingungkan dikarenakan dalam buku tertentu macam-macam logika belum tentu dijumpai dalam buku-buku lainnya. Oleh karena, secara sederhana penulis ingin membagi beberapa macam logika sependek pengetahuan yang dimiliki hasil dari pembacaan beberapa refrensi yang ada.
1.      Logika dilihat dari kualitas
   
a.       Naturalis
   
Naturalis dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yang bersifat alami, bercorak alam nyata.[14] Sedangkan yang dimaksud disini bahwa logika naturalis adalah kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia.[15] Sebagai manusia ciptaan Tuhan, tentunya manusia manusia memiliki beberapa pengetahuan yang sudah terkonstruk dalam pikirannya yang berguna untuk kehidupan sehari.
Secara nyata, logika naturalis adalah metode dan aturan berfikir kaum rasionalis. Mereka memandang bahwa adanya prinsip-prinsip dasar dalam dunia dimana hal itu bersumber dalam budi manusia dan diakui kebenarannya oleh akal. Oleh karena itu, bagi mereka pengetahuan tidak berdasarkan pengalaman atau eksperimen, namun berdasarkan kepada ide bawaan (Rene Descartes).
Dengan demikian, dalam buku-buku filsafat corak pemikiran seperti ini biasanya dirujukkan kepada tokoh-tokoh Rasionalis, seperti Descartes, Spinoza, Leibniz, Wolf dan berakar kepada Plato dan Aristoteles.    
b.      Ilmiah
   
Berbeda dengan naturalis, logika ilmiah lahir sebagai jawaban dari kekurangan dari logika naturalis. Logika ilmiah lebih menitik beratkan kepada penyusunan hukum-hukum, aturan, patokan dan rumus-rumus berpikir lurus. Lebih jauh lagi, bahwasannya kehadiran logika ilmiah memperhalus dan mempertajam pikiran dan akal budi. Dengan demikian, kesimpulan-kesimpulan logis dari premis-premis yang dinyatakan dapat dipertanggungjawabkan pembuktiannya.  
2.      Logika dilihat dari waktunya
a.       Tradisional
Tidak jauh berbeda dengan logika alamiah, bahwasannya logika tradisional adalah metode dan aturan berpikir logis mengikuti beberapa tokoh klasik, seperti Aristoteles, Logikus dan sebagainya. Namun, perbedaannya adalah logika tradisional tidak mengungkung dirinya hanya kepada tokoh-tokoh Rasionalis, tokoh-tokoh klasik empiris, seperti kaum Stoa, Chrysippus, Johanes Damascenus dan Boethius.  
b.      Modern
Jika logika tradisional dapat dikatakan sebagai Aristoteles sentries, maka logika modern sebaliknya. Dalam logika modern, logika-logika yang berpusat kepada Aristoteles atau filsuf-filsuf klasik ditinggalkan. Era ini ditandai dengan penemuan logika baru oleh Raymundus Lullus dengan istilahnya, ars magna.
Dalam logika tradisional setidaknya perkembangannya dipengaruhi oleh rasional dan empirisme. Namun begitu, kehadiran Lullus mencoba memberi warna baru dengan mengatakan bahwasannya pengetahuan tidak hanya berpusat kepada rasionalis dan empirisme, namun dimensi mistik perlu dipertimbangkan.[16]
Berbeda dengan Lullus, filsfus Jerman, Immanuel Kant lebih condong mengatakan bahwa metode atau aturan logika berpusat kepada akal budi yang disintesiskan dari rasio dan pengalaman inderawi. Selain itu, Henry Bergson (1859) juga menganggap tidak hanya akal terbatas, pengalaman juga terbatas. Oleh karena itu, metode dan aturan berpikir yang absah adalah intuisi.[17]
Selain itu, menurut Theodore Sider perkembangan logika modern merupakan perkembangan logika matematika dan simbol. Dalam artian, logika modern melihat bahasa sebagai alatnya dengan definisi formal, kalimat-kalimat formal dan sebagainya.[18]Lebih lanjut, logika modern menggunakan teknik-teknik matematika dalam menganalisa sebuah bahasa, salah satu contohnya adalah dengan menggunakan rumus-rumus.
3.      Logika dilihat dari obyeknya
a.       Formal
Logika adalah metode dan aturan berpikir yang benar. Oleh karena itu, benar atau tidaknya suatu kesimpulan dari premis-premis yang dibicarakan dalam logika memiliki dua kategori, benar dalam bentuknya dan benar dalam substansinya.
Logika formal adalah logika yang membicarakan kebenaran sebuah pernyataan dari sisi bentuknya. Pernyataan dianggap logis secara formal apabila kesimpulan yang ditarik logis dari premis dengan mengabaikan isi yang terkandung didalamnya.[19] Dengan demikian, logika formal akan mempunyai kesimpulan yang benar jika memiliki bentuk pernyataan yang benar. Misalnya,
Semua binatang adalah mati
Semua cicak adalah mati
Jadi, semua cicak mati
Contoh diatas memiliki bentuk premis yang dapat dibenarkan, hal ini berbeda dengan contoh dibawah ini,
Semua PNS adalah penerima gaji
Semua Pegawai Swasta adalah penerima gaji
Jadi, semua PNS adalah pegawai swasta.
Contoh diatas tidak dilihat ilmu logika kesimpulannya tidak dapat dibenarkan, hal ini dikarenakan bentuk dari kesimpulannya tidak memiliki dasar terhadap bentuk premis-premisnya. Bagaimana dengan kesimpulan yang mengabaikan substansi premisnya? Berikut contohnya.
Malaikat itu benda fisik
Batu itu malaikat
Maka, batu itu benda fisik[20]
Contoh diatas memperlihatkan bahwasannya kesimpulannya logis secara bentuknya karena kesimpulannya ditarik dari bentuk premis-premis yang ada. Namun, logika tersebut, tentunya, tidak benar jika dilihat dari substansi, baik premisnya maupun kesimpulannya.
b.      Material
Selain kebenaran logika dilihat dari bentuknya, keabsahannya juga dapat dilihat dari substansi atau isinya. Logika material adalah kesimpulan premis yang ditarik dari substansi atau isi premis-premis yang ada. Berbeda dengan logika formal, logika material penekanan kebenaran kesimpulannya berada pada substansi kesimpulan sesuai dengan substansi premis yang ada.
Oleh karena itu, dalam memahami logika formal maupun material diperlukan sebuah pengetahuan yang benar ketika membuat sebuah premis. Jika premis tersebut secara nyata berisikan sesuatu yang salah, maka dapat dipastikan substansi kesimpulan juga salah. Perhatikan beberapa contoh dibawah ini.
-                      Manusia adalah binatang berkaki empat
Alibaba adalah manusia
Jadi, alibaba adalah binatang berkaki empat
-                      Semua ayam mempunyai kaki
Dadang bukanlah ayam
Jadi, dadang mempunyai kaki[21]
Dari dua contoh diatas, jika ditelaah lebih lanjut maka contoh pertama merupakan contoh yang menunjukkan keabsahan bentuk kesimpulannya, tidak pada sisi substansinya. Sedangkan contoh kedua menunjukkan bahwa kesimpulannya absah secara substantif, tidak secara bentuknya.
4.      Logika dilihat dari proses atau dasar pemikiran
a.       Deduksi
Logika deduktif adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis yang ada, premis-premis tersebut merupakan sebuah pernyataan umum yang sudah diketahui.[22] Oleh karena itu, sebagian orang mengatakan bahwasannya logika deduksi (dan induksi) merupakan logika yang dikembangkan oleh filsuf klasik sekitar abad ketiga Sebelum Masehi (SM). Salah satu metode deduksi yang sering dipakai adalah silogisme. Seperti Aristoteles, dia mengatakan bahwa silogisme merupakan sebuah argumen yang diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan berlainan.[23]
Oleh karena itu, silogisme adalah penalaran atau penarikan kesimpulan yang terdiri dari tiga prosisi. Proposisi pertama dan kedua merupakan premis (anteseden), sedangkan proposisi yang ketiga merupakan kesimpulan (konsekuen). Premis pertama digolongkan kepada premis mayor, sedangkan premis kedua dikategorikan sebagai premis minor.[24]
Perhatikan contoh berikut ini.
Semua manusia adalah berakal
Hasan adalah manusia
Jadi, hasan adalah berakal
Memang, dilihat dari contoh-contoh diatas maka dijumpai kesulitan untuk memahami dikarenakan adanya kemiripan contoh. Namun, Mundiri membatasi patokan-patokan terhadap logika yang disebut dengan silogisme sebagai berikut.
-          Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular
-          Apabila salah satu premis negatif, kesimpulannya harus negatif
-          Dari dua premis yang sama-sama partikular, maka tidak sah mengambil sebuah kesimpulan
-          Dari dua premis yang sama-sama negatif, maka tidak menghasilkan kesimpulan apapun[25]
Berbeda dengan Mundiri, Sabarti Akhadiah memberikan patokan logika silogisme sebagai berikut.
-          Di dalam silogisme hanya ada tiga macam: term mayor, term minor dan tengah
-          Term dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari term-term dalam premisnya
-          Term tengah tidak boleh terdapat dalam kesimpulan
-          Term tengah sekurang-kurangnya satu kali harus distributif[26]
Dari patokan yang diberikan kedua tokoh diatas, sesungguhnya tidak ada perselisihan, namun satu sama lainnya melengkapi, sehingga dapat di gabungkan kedua patokan tersebut menjadi sebuah patokan umum yang harus dipatuhi dalam silogisme.
b.      Induksi
Jika penalaran deduksi adalah menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum, maka penalaran atau logika induksi sebaliknya. Logika induksi adalah penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari premis-premis yang bersifat khusus. Misalnya,
Sapi itu binatang bermata
Cicak itu binatang bermata
Kerbau itu binatang bermata
Jadi, semua binatang bermata.
Tentunya, bagi para pembaca akan menimbulkan pertanyaan, seperti dimakah letak perbedaan antara deduksi dan induksi selain prosesnya? Suwardi dalam bukunya, Filsafat Ilmu, menjelaskan dengan tabel sebagai berikut.
Induksi
Deduksi
Proses pemikiran dari sesuatu yang khusus kemudian disimpulkan kepada yang umum
Proses pemikiran dari sesuatu yang umum kemudian disimpulkan kepada yang khusus
Kesimpulan induksi bersifat generalisasi dan sintesis
Kesimpulan deduksi bersifat analitis
Penalaran induksi bersifat probable dengan lainnya bergantung kepada alasan
Penalaran deduksi bersifat sahih dengan relevansi premis yang ada
Penalaran induktif tidak siap dipakai untuk menjelaskan deduksi
Penalaran deduksi adalah tonggak penalaran untuk perkembangan keilmuan
Tabel : Suwardi Endraswara (2013:192-193)
5.      Logika dilihat dari kesimpulannya
a.       Langsung
Logika langsung yang dimaksud disini adalah penalaran yang premisnya sebuah proposisi dan langsung disusul dengan proposisi sebagai kesimpulannya. Untuk memahaminya, cermati contoh sebagai berikut.
Kerbau itu Binatang
Sebagian binatang itu kerbau
b.      Tidak langsung  
Berbeda dengan logika langsung, logika tidak langsung adalah sebuah penalaran dengan kesimpulannya berdasarkan atas beberapa proposisi. Contohnya sebagai berikut.
            Kerbau itu binatang
            Binatang itu buaya
Cicak itu binatang
            Sebagian binatang itu kerbau
     d.      Manfaat Logika Dalam Pengembangan Keilmuan
Sebagaimana yang sudah dipahami, salah satu ciri pengetahuan adalah ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa ilmu tersebut prosesnya menggunakan metode-metode, aturan-aturan dan penalaran-penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun demikian, sudah menjadi kesepakatan umum bahwa semua itu tergantung masing-masing ilmuan untuk memakai metode, aturan dan penalaran yang mana.
Secara historis, peranan logika sudah diaplikasikan oleh manusia untuk menguraikan peristiwa-peristiwa yang terjadi, meski logika mistis atau dongeng. Namun, dalam perkembangannga logika ilmiah lebih dikedepankan dalam hal itu guna memperoleh pengetahuan yang lebih ilmiah.[27] Lebih lanjut, sebuah pengetahuan harus memiliki unsur reasonable untuk diterima. Tentunya, unsur tersebut bertemu dengan fungsi logika itu sendiri, yaitu menjelaskan alasan-alasan tentang suatu kesimpulan yang dapat diterima dan tidak.
Dengan demikian, tugas logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah membuka cara berpikir logis ilmuwan dalam tata cara kerja ilmiah. Sebaliknya, ilmu pengetahuan sebagai hasil aktifitas logika. Logika dan pengetahuan merupakan dua term yang tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan tanpa logika bohong dan logika tanpa pengetahuan kosong.
Lebih lanjut, manfaat logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperinci sebagai berikut.
1.      Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan metode dan aturan abstrak yang dapat dipakai dalam pengembangan semua keilmuan.
2.      Daya berpikir abstrak tersebut membantu melatih dan mengembangkan daya berpikir ilmiah
3.      Logika mencegah ketersesatan berpikir yang harus dihindari oleh ilmu pengetahuan
4.      Logika modern membantu berpikir secara mandiri dan membedakan pikiran yang salah dan benar.
5.      Selain itu, logika membantu berpikir lurus, tepat dan teratur sehingga membantu memperoleh kebenaran yang menjadi modal penting dalam pengembangan pengetahuan.[28]
    e.       Proposisi, Logika dan Objektivitas
Dalam uraian diatas, proposisi selalu menghiasi ketika mencoba memahami arti dari sebuah logika, hal ini dikarenakan proposisi merupakan bagian integral dari logika itu sendiri. Lebih jauh lagi, keabsahan sebuah logika tergantung pada kebenaran proposisi yang disusun untuk dijadikan sebuah premis, baik premis mayor maupun minor.
Proposisi dapat diartikan sebagai sebuah ungkapan pembenaran atau pengingkaran atas pemahaman sederhana. Proposisi merupakan sebuah proses lanjutan dari kerja intelek, pemahaman sederhana, dan merupakan sebuah proses awal dari kerja intelek terakhir, yaitu penalaran.[29] Ketiga cara kerja inilah yang dinamakan cara kerja intelek secara komprehensif.
Perhatikan contoh berikut ini,
Hasan adalah manusia penyabar
Besi dipanaskan akan memuai
Agus Salim adalah diplomat
Semua pengetahuan sederhana yang tertuangkan dalam pernyataan diatas adalah proposisi, atau dalam kata lain proposisi merupakan pernyataan dari pemahaman sederhana yang dibenar dan salahkan. Oleh karena itu, jika ada sebuah pernyataan dari pemahaman sederhana tetapi tidak dapat dinilai benar atau salah, namun hanya sebuah pernyataan yang menunjukkan sebuah kehendak atau keinginan, maka hal itu bukanlah sebuah proposisi. Misalnya,
Semoga Tuhan melindungimu
Ambilkan saya segelas air
Alangkah cantiknya gadis itu
Menjadi sebuah pertanyaan disini adalah validitas kebenaran dan kesalahan sebuah proposisi. Dari sini, perlu penulis jelaskan bahwasannya kebenaran proposisi itu dilihat dari ketegori proposisi itu sendiri. Setidaknya, proposisi secara ketegoris terdapat dua macam, yaitu proposisi analitik dan proposisi sintetik.
Proposisi analitik adalah proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian yang sudah terkandung pada subyeknya. Sedangkan proposisi sintetik adalah proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian yang bukan menjadi keharusan bagi subyeknya.
Kuda adalah hewan
Pepaya ini manis
Dari kedua contoh proposisi diatas, contoh pertama merupakan proposisi analitik, dikarenakan pengertian hewan sudah dapat dimengerti dalam kata kuda. Sedangkan contoh kedua dinamakan proposisi sintetik, dikarenakan pengertian manis belum terkadung dalam subyeknya, yaitu pepaya.
Kedua macam proposisi tersebut sesungguhnya adalah pemahaman mengenai sumber pengetahuan itu sendiri. Dalam proposisi pertama, dituntut adanya sebuah pengetahuan alamiah, a priori, untuk memahaminya. Sedangkan proposisi kedua adalah sebuah pengetahuan yang bersifat a posteriori, sebuah pengetahuan yang validitasnya tergantung kepada sebuah pengalaman inderawi.[30]
Dengan demikian, hubungan antara proposisi, logika dan objektivitas erat. Penalaran ilmiah membutuhkan kebenaran logika dalam berpikirnya, sedangkan kebenaran logika bertumpu kepada kebenaran proposisi yang disusun. Kebenaran-kebenaran, baik dalam proposisi dan logika, tentunya bersifat relatif, tidak mutlak. Dari sini, sikap obyektif seorang ilmuwan diperlukan untuk melihatnya dengan benar. Ketika proposisi dibangun dengan rasionalitas, bukan emperis, maka ketika menilai proposisi tersebut dan digunakan sebagai logika ilmiah hendaklah menyikapinya dengan rasional, bukan emperical.
     f.       Logika Dalam Studi Islam
Sungguh menguras tenaga dan pikiran tatkala harus menjelaskan logika dalam Studi Islam. Secara eksplisit, Islam dijadikan sebagai obyek keilmuan tentunya membutuhkan logika untuk mengembangkannya sebagaimana keilmuan lainnya. Namun secara historis, justru logika merupakan salah satu dimensi yang menyebabkan keilmuan dalam Islam stagnan. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena perkembangan keilmuan berbanding lurus dengan perkembangan Logika atau sebaliknya.
Terlepas dari itu semuanya, dengan segala keterbatasan dan kedangkalan keilmuan yang dimiliki oleh penulis, dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi penyebab kemunduran atau stagnasi Logika yang ada dalam Islam (studi ,Red).
Menurut hemat penulis, ada beberapa alasan mengapa logika dalam Islam mengalami stagnasi, yaitu
   1.      Bergulat dengan Hukum
   
Logika dalam Islam sebenarnya sudah diajarkan dan diamalkan sudah jauh hari oleh Umat Islam. Dalam Studi Islam, Logika beristilahkan dengan Ilmu Mantiq.[31] Dalam buku monumentalnya al-Akhdhari, ilmu mantiq, para sarjana Muslim sesungguhnya masih berpolemik atas hukum mempelajari Logika. Dalam perkembangan keilmuan, polemik hukum mempelajarinya telah mempengaruhi sebagian umat Islam untuk mempelajarinya, sehingga perkembangannya tidak signifikan. Logika yang ada dalam kitab-kitab klasik belum juga terbarukan dengan logika-logika baru hasil “sintesis” sarjana modern maupun kontemporer.
Polemik hukum dan keterpengaruhan hukum Logika (Ilmu Mantiq) dalam dunia Islam, terlebih Islam yang berada ditimur lebih menerima ajaran al-Ghazali dan Syafi’i, berimbas pada mental pelajar Muslim untuk menekuni dunia logika. Lebih jauh lagi, hukum yang tersebar dan menduduki rangking pertama adalah haram, sehingga menimbulkan antipati terhadap logika oleh umat Islam.
    2.      Romantisisme Mu’tazilah
   
Nama golongan ini mungkin secara nyata sudah tidak ada dalam dunia kontemporer. Namun, secara keilmuan, hal itu dapat dijumpai lagi. Padahal, golongan inilah yang secara historis telah mampu membawa Islam bersanding dengan agama-agama lain secara ilmiah. Tentunya, dalam hal ini penulis tidak ingin mengatakan mendukung Mu’tazilah untuk dibangkitkan lagi. Namun, penulis ingin mengatakan bahwa logika jika dipertemukan dalam agama tidak ada salahnya. Seperti pisau, pisau itu akan membahayakan dan tidaknya berbanding lurus kepada yang memegang dan memanfaatkannya. Jadi pisau dan logika tidak pernah salah, namun oknum yang memegang dan memanfaatkannya lah yang salah. Sehingga begitu naif, jika alat itu yang dijudgment bersalah atas tindakan oknum yang yang memeganginya.
Oleh karena itu, ketika Hamka dipenjara, dia berkata, “kalian bisa memenjarakan fisik saya, tapi pikiran dan akal saya tidak bisa dipenjarakan oleh siapa pun”. Hal ini karena pikiran maupun akal tidak bisa dihentikan untuk selalu berproses melahirkan pemikiran-pemikiran. Seharusnya, umat Muslim tidak terpengaruh secara signifikan terhadap hukum mempelajari Logika, tetapi tetap mempelajari untuk kepentingan keilmuan itu sendiri.
Stigma negatif perlu dirubah dengan berlandaskan aksiologi keilmuan Islam, untuk kepentingan kemajuan ilmu yang ada. Pisau meski sudah beribu-ribu yang digunakan untuk hal negatif, namun dari perjalanan ruang-waktu, pisau tersebut masih diproduksi dengan menghiraukan hal negatif yang sudah ditimbulkan, karena hal itu timbul bukan dari pisaunya, apalagi pembuatnya, kenegatifan itu lahir dari oknum yang memegang dan memahaminya.   
    C.     KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas bahwasannya penulis dapat menyimpulkan
   1.      Logika lahir bersamaan dengan kehadiran filsafat, meskipun secara istilah baru dijumpai pada abad pertama masehi, namun secara ontologis logika sudah lahir sejak jauh hari.
   2.      Logika merupakan sebuah ilmu tentang metode dan aturan berpikir yang absah, benar atau salah. Keabsahan, kebenaran atau kesalahan itu juga tergantung kepada logika mana yang dipakai.
   3.      Objek material dari logika adalah berfikir. Sedangkang objek formal dari logika adalah metode atau aturan-aturan keabsahan berfikir
   4.      Tentunya, kehadiran logika sejak awal sangat membantu pengembangan keilmuan dikarenakan sifat dasar keduanya yang sama. Oleh karena itu, perkembangan dan kemunduran ilmu berbanding lurus (salah satu faktornya) dengan perkembangan dan kemunduran Logika
   D.     DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah. Sabarti dan Dewi Listyasari. Winda (ed), Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011
Bagus. Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Copi. Irving M., Introduction to Logic: Eigth Edition, New York: Macmillan Publishing Company, 1990
Endraswara. Suwardi, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah, Yogyakarta: CAPS, 2013
Hamersma. Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1999
KBBI Offline versi 1.5
Keraf. Sonny dan Dua. Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Mundiri, Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada dan IAIN Walisongo Press, 2001
Rapar. Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Sider. Theodore, Logic For Philosophy, Versi pdf, Tk:Tp, 2010
Tafsir. Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007
Utama. I Gusti Bagus Rai, Filsafat Ilmu dan Logika, Bandung: Universitas Dyana Pura, 2013
http:// santosogereja.blogspot.co.id

 

[1]Selengkapnya lih K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 1999) hlm, 167-168
[2]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 52. Lihat juga Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 519
[3]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat..., hlm. 52
[4]K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani ..., hlm. 167
[5]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm, 21
[6]I Gusti Bagus Rai Utama, Filsafat Ilmu dan Logika (Badung: Universitas Dyana Pura, 2013), hlm. 69
[7] Loren Bagus, Kamus Filsafat..., hlm. 520
[8] Definisi logika yang selama ini ditawarkan memunculkan persoalan lain. Seperti, metode dan aturan bagaimana sehingga pemikiran dapat dikatakan absah. Lebih lanjut, Irving M. Copi mengatakan bahwa definisi tersebut masih menyisahkan persoalan absah dan tidaknya (reason well or correctly) sebuah pernyataan.Irving M. Copi, Introduction to Logic: Eigth Edition (New York: Macmillan Publishing Company, 1990), hlm. 3
[9] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani..., hlm. 168
[10] Ibid, hlm. 167
[11]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), hlm. 13-17
[12]Ibid, 16-17
[13]Mundiri, Logika (Jakarta: Raja Grafindo Persada dan IAIN Walisongo Press, 2001), hlm. 7
[14]KBBI Offline versi 1.5
[15]Mundiri, Logika…hlm, 13
[16]Bto. Raymundus Lullus, dalam http://santosogerja.blogspot.co.id. Di akses pada tanggal 08 Nopember 2015
[17] M. Achwan Baharuddin “Epistemologi Irfani” dalam http://achwanruhayyun.blogspot.co.id /2011/10/ epistemologi-irfani.html. Di akses pada tanggal 09 Nopember 2015
[18] Theodore Sider, Logic For Philosophy, Versi pdf (Tk:Tp, 2010), hlm. 3
[19] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah (Yogyakarta: CAPS, 2013), hlm. 186
[20] ibid, hlm. 188
[21] Ibid, hlm. 189
[22] Sabarti Akhadiah, “ Logika dan penalaran Ilmiah” dalam Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari (ed), Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 209
[23] Mundiri, Logika..., hlm. 87
[24] Ibid, hlm. 235
[25] Mundiri, Logika..., hlm. 90-91
[26] Sabarti Akhadiah, “Logika dan Penalaran..., hlm. 237
[27] A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 24
[28] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu..., hlm. 178-179
[29] Sabarti Akhadiah, “Logika dan Penalaran..., hlm. 211
[30] Mundiri, Logika..., hlm. 49
            [31] Ilmu Mantiq secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir agar terhindar dari kesalahan. Lih. Athiep Schutz, Pengertian Dan Ruang Lingkup Ilmu Mantiq, dalam http://awatifbaqis.blogspot.co.id /2012/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-ilmu.html. Di akses pada tanggal 17 November 2015