Senin, 12 Desember 2011

Metode dan Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama



A.    Pendahuluan
Seperti halnya ilmu pengetahuan, agama (Islam) juga merupakan bagian dari kebudayaan. Pada awalnya agama (Islam) –dan ilmu pengetahuan- memang berasal dari Tuhan. Akan tetapi ia kemudian diterima, dimiliki, diamalkan dan dibudidayakan oleh manusia (Nabi Muhammad dan umat Islam). Agama (Islam) merupakan sebuah kebudayaan, karena dibudidayakan oleh umat manusia (umat Islam).
Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama (Islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang oleh antropologi- sebagai suatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktis keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Melalui pendekatan antropologis kita dapat melihat bahwa –misalnya- agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dan dalam hal ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja suatu –individu- masyarakat, maka kita dapat mengusahakannya dengan cara mengubah pandangan keagamaan –individu- masyarakat tersebut.
Melalui pendekatan antropologis, kita juga dapat melihat dan meneliti hubungan antara agama dan mekanisme pengorganisasian. Dalam kasus di Indonesia misalnya, kita pun dapat menemukan adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa yang bisa digolongkan menjadi beberapa macam: santri, priyayi dan abangan.
Yang tidak kalah penting, pendekatan antropologis juga masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama Islam mengenai kasus sodomi kaum Luth, misalnya.
Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagai praktik-praktik yang secara esensial saling berkaitan. Sehingga, untuk lebih memahami makna-makna yang terkandung di dalam ajaran agama Islam mengenai kasus sodomi kaum Luth, kita harus melihat kasus tersebut sebagai suatu praktik sosial-budaya yang di dalamnya terkait sejumlah bidang kemanusiaan, semisal teologi, etika, kesehatan, psikologi, etnografi, geografi, astronomi dan yang lainnya.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti –termasuk dengan pendekatan antropologis. Hanya saja, penelitian agama (Islam) pada awal tahun 70-an merupakan suatu hal yang tabu di Indonesia.
Menurut Daniel L. Pals dalam karyanya yang berjudul Seven Theories of Religion,[1] orang-orang Eropa pada awalnya juga menolak anggapan adanya kemungkinan untuk meneliti agama dikarenakan kepercayaan mereka bahwa antara ilmu dan nilai serta antara ilmu dan agama tidaklah bisa disinkronkan.
Pada awalnya penelitian terhadap agama memang sering dianggap tidak tepat dan bahkan tabu (terlarang). Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan pengetahuan manusia, hal tersebut kini dapat dibenarkan oleh sebagian besar orang.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri dengan berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis.
Melalui pendekatan antropologis, sosok agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.

B.     Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia dan Logos yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar", "berakal").[2]
Menurut Achmad Fedyani Saifuddin[3], antropologi bisa saja didudukkan sebagai salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial Hanya saja, ia sejatinya adalah suatu perspektif ilmiah. Mengingat sukarnya tercapai kesepakatan di kalangan antropolog mengenai kualifikasi antropologi –apakah- sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah bukan.
Para pengkaji memang tampak berbeda pendapat mengenai definisi (pengertian) antropologi. Misalnya:[4]
1.      William A. Havilland : Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
2.      David Hunter : Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
3.      Koentjaraningrat : Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu (studi) yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial-(ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.[5]
Secara garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:[6]
A.    Antropologi Fisik
1.      Paleoantropologi : ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2.      Somatologi : ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
B.     Antropologi Sosial-Budaya
1.      Prehistori : ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
2.      Etnolinguistik Antropologi : ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3.      Etnologi : ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4.      Etnopsikologi : ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
C.    Perkembangan Kajian Antropologi
Antropologi –sebagai sebuah ilmu- juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat,[7] antropologi –sebagai sebuah ilmu- mengalami empat fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi:
1.      Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an.
Sekitar abad ke-15-16 M, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.      Fase Kedua : pertengahan abad 19 M.
Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.      Fase Ketiga : awal abad ke-20 M
Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4.      Fase Keempat : setelah tahun 1930-an
Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa: Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncullah semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Menurut David N. Gellner,[8] antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian –yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga tertarik untuk mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya  pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M tampak menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan  The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim.
D.    Obyek Antropologi
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial (ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.
Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi manusia sebagai organisme biologis. Tetapi antropologi fisik inilah yang sejatinya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[9]
E.     Antropologi Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Penelitian Agama
Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama (islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang secara antropologis sebagai suatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.
Pendekatan antropologis masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan Antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat partisipatif.
Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagai praktik-praktik yang secara esensial saling berkaitan.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri dengan berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis. Melalui pendekatan antropologis, sosok agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.
F.     Obyek Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama
Budaya sebagai produk manusia yang bersosial-budaya pun dipelajari oleh Antropologi. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari di sini adalah agama sebagai fenomena budaya, bukannya agama (ajaran) yang datang dari Tuhan.[10]
Menurut Atho Mudzhar,[11] fenomena agama –yang dapat dikaji- ada lima kategori. Meliputi:
1.      Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2.      Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.      Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4.      Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5.      Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
G.    Paradigma Pendekatan Antropologis
Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Meliputi:[12]
1.      Evolusionisme Klasik : paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
2.      Difusionisme : paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
3.      Partikularisme : paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
4.      Struktural-Fungsionalisme : paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.
5.      Antropologi Psikologi : paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
6.      Strukturalisme : paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
7.      Materalisme Dialektik : paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.
8.      Kultural Materialisme : paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
9.      Etno-sains : paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi kognitif” . Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
10.  Antropologi Simbolik : paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada kehidupannya.
11.  Sosiobiologi : paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.
Menurut David N Gellner,[13] salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Dalam konsep Holisme, agama –menurut Gellner- tidak bisa dilihat oleh seorang antropolog sebagai satu sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. Sebaliknya, agama harus dilihat oleh para antropolog dengan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama.
H.    Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama
Menurut Amin Abdullah,[14] cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental. Meliputi:
1.      Deskriptif : Pendekatan antropologis  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok)  setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama.  Inilah yang biasa disebut dengan (thick description).
2.      Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni, dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman.
3.      Keterkaitan antar domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan  sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.  Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.
4.      Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
I.       Contoh Penelitian Agama Dengan Pendekatan Antropologis
Salah satu contoh rancangan penelitian yang akan dikemukakan pada bagian ini adalah rancangan penelitian bertopik: Runtuhnya Daulah Bani Umawiyah Dan Bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah. Menurut M. Atho Mudzhar,[15] rancangan penelitian tersebut sebaiknya memperhatikan dan memperjelas –setidaknya-  empat hal. Meliputi:
1.      Rumusan Masalah : faktor-faktor apa saja yang menyebabkan jatuhnya Bani Umawiyah dan bangkitnya Bani Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dirumuskan faktor penyebab runtuh atau bangkitnya dinasti, dan aspek –antropologis- apa saja yang akan dikaji.
2.      Arti Penting Penelitian : menjelaskan signifikasi penelitian. Misalnya, menjelaskan maksud penelitian (sesuatu yang belum pernah diteliti atau dibahas sebelumnya) dan kontribusi apa yang diperoleh dari hasil penelitian setelah dilakukan nantinya.
3.      Metode Penelitian : metode yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Yakni, dengan merinci hal-hal semisal: bentuk dan sumber informasi serta cara mendapatkannya, cara memahami dan menganalisa informasi, dan cara pemaparan informasi.
4.      Sumber Literatur : melakukan telaah pustaka dan membuat rangkuman dari teori yang telah dipaparkan. Setelah itu, seorang peneliti harus mengetahui apa saja yang belum dibicarakan, dan dari sinilah akan diperoleh kontribusi dari hasil penemuan penelitianyang digunakan.
J.      Penutup
Setelah menguraikan secara singkat pendekatan antropologis di atas, dapat dipahami bahwa pendekatan antropologis mendekati dan meneliti segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia (masyarakat) sebagai makhluk hidup (organisme biologis) dan –atau- makhluk sosial-budaya. Dalam lingkup penelitian agama, pendekatan tersebut bisa terfokus pada para penganut atau pemuka agama, organisasi keagamaan pemeluk agama, naskah (sumber) dan simbol agama, ritual peribadatan serta alat-alat dan sarananya.


Daftar Pustaka

Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Achmad  Fedyani Saifuddin , Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group, 2006.
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.
Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi


[1] Lihat: Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 1.
[2] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[3] Lihat: Achmad  Fedyani Saifuddin , Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 11.
[4] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[5] Lihat: Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 62.
[6] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[7] Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996, hlm. 1-4.
[8] Lihat: David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002, hlm. 15-18.
[9] Lihat: Abd. Shomad, op.cit, hlm. 62.
[10] Menurut Bustanuddin Agus, antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Lihat: Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006, hlm. 18.
[11] Lihat: M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 15.
[12] Lihat: Achmad Fedyani Saifuddin, op.cit, hlm. 63-66.
[13] Lihat: David N Gellner, op.cit, hlm. 34.
[14] Lihat: http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
[15] . M. Atho Mudzhar,  op. cit, hlm. 60.