Sabtu, 23 November 2013

TEORI INTERPRETASI JORGE J.E GRACIA DAN RELEVANSINYA TERHADAP METODOLOGI PEMAKNAAN HADIS

PENDAHULUAN 

 A. Latar Belakang Masalah

Islam mempunyai dua sumber hukum yaitu al-Quran dan al-sunnah, keduanya merupakan refrensi tertinggi bagi setiap muslim dalam memahami hukum Islam. Dalam memahami keduanya, kita dituntut untuk menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh, tanpa meninggalkan aspek-aspek penting di dalamnya, kendati setiap orang mempunyai kemampuan berbeda dalam menangkap dan memahami lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam al-Quran dan hadis, karena keduanya mengandung nilai-nilai yang bersifat zahir dan batin. Memahami kedua sumber itu, jika dibandingkan jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Quran. Karena dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran tidak mengurangi otoritas al-Quran sebagai wahyu dan juga pegangan hidup dan sumber utama ajaran Islam. Disamping itu Allah sendiri telah menjamin ketidakberubahan esensi misi al-Quran. Sedangkan hadis sendiri, bagi umat Islam menduduki peringkat kedua setelah al-Quran, dimana berfungsi sebagai penjelas ungkapan al-Quran yang mujmal, mutlaq, khas dan sebagainya. Disamping itu, periwayatan al-Quran termasuk periwayatan secara mutawatir, sedangkan hadis periwayatannya sebagian besar secara ahad, dan dalam kedudukannya al-Quran sebagai qat’i al-wurud sedangkan hadis kadangkala qat’i al-wurud. Secara umum, setidaknya terdapat tiga fokus kajian dalam ilmu hadis, yakni kritik sanad, kritik matan dan pemaknaan hadis. Kritik sanad dan kritik matan menjadi kajian penting dalam ilmu hadis, sebab hadis sendiri pada mulanya tidak tertuliskan sebagaimana al-Qur’an. Selain itu juga, jarak kodifikasi hadis dengan masa kenabian sangatlah jauh sehingga studi sanad dan matan menjadi penting guna mengungkapkan orisinalitas sebuah hadis. Tidak jauh berbeda dengan studi sanad dan matan, pemaknaan hadis juga menjadi bagian penting kajian hadis. Meski sudah banyak terdapat syarah-syarah hadis yang ditulis oleh ulama klasik, problematika pemaknaan hadis tidak selesai disini. Ini dikarenakan syarah-syarah tersebut hanya sebatas atau sebagian besar tentang makna gramatika bahasa dan tidak banyak membahas pada substansi atau makna dan kandungan hadis itu sendiri. Oleh karena itu, problematika pemaknaan hadis untuk saat ini dan banyak ditawarkan solusinya oleh intelektual Muslim kontemporer adalah metodologi dan pendekatan dalam memaknai hadis. Yusuf Qardhawi, semisalnya, memaknai hadis harus memperhatikan beberapa prinsip, antara lain; meneliti ke-sahihan sesuai dengan acuan ilmiah yang ditetapkan, pengertian bahasa, asbab al-wurud dan memastikan nas tersebut tidak bertentangan dengan nas lain yang lebih kuat kedudukannya. Berbeda dengan Qardhawi, Muhammad Syahrur berpendapat bahwa dalam memaknai hadis nabi, seseorang harus memperhatikan antara hadis yang bersifat risalah (berisi hukum-hukum dan ajaran) dan nubuwwah (berisi pengetahuan dan informasi). Bagi Syahrur, umat Islam tidak perlu menaati isi kandungan hadis-hadis yang bersifat nubuwaah. Selain kedua tokoh tersebut, terdapat beberapa tokoh lain juga yang menawarkan metodologi dan pendekatan dalam memaknai teks-teks hadis, semisal Shalahuddin al-Adlabi, Muhammad Ghazali, Fazlurrahman, Musahadi Ham dan lain sebagainya. Selain persoalan metodologi dan pendekatan dalam studi ulum al-Hadis, pemaknaan terhadap matan hadis tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran islam kontemporer, tetapi secara subtantif memberi spirit reevaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran yang selama ini menjadi taken for granted di kalangan umat Islam. Signifikansi ini menjadi lebih tampak jelas ketika normatifitas hadis di perhadapkan dengan realitas dan tuntutan perkembangan zaman. Pemaknaan, sebagai salah satu problematika penting dalam studi ulum al-hadis, memerlukan upaya upaya serius dan kehati-hatian dalam melaksanakannya. Sebab tingkat pemahaman dan penafsiran seseorang terhadap redaksi hadis dan kekuatan eksplorasi teks sangat menentukan corak dan karakter pemikirannya, apakah seorang tersebut sebagai tekstualis atau kontekstualis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para tokoh Islam kontemporer sampai saat sangat serius menyerukan spirit reevaluatif dan reinterpretasi teks-teks hadis, baik itu melalui pendekatan keilmuan internal itu sendiri (baca: ulum al-hadis) maupun pendekatan keilmuan eksternal (baca: ilmu sosial-humanistik dan sains) dan salah satu keilmuan yang sering diterapkan adalah hermeneutika. Hermeneutika sebagai sebuah teori dan metode penafsiran sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam studi agama, dalam hal ini penerapan dalam studi hadis. Fazlur Rahman adalah salah satu contoh intelektual Muslim yang menerapkan hermeneutika dalam studi Agama. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika menjadi sebuah keniscayaan dalam memaknai teks agama, tidak terkecuali hadis. Hal itu tidak hanya karena persoalan jarak antara kelahiran teks hadis tersebut dengan masa sekarang yang begitu jauh, tetapi juga dikarenakan secara umum hadis mencakup semua teladan Nabi, baik itu ucapan, tingkah laku dan penetapan yang sudah terbakukan dalam bentuk teks. Teks hadis, di sinilah, objek dari ilmu hermeneutika sebagaimana teks-teks lainnya. Secara umum, hermeneutika, dalam hal ini teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia, mencoba untuk menjembatani kesenjangan situasi dan kondisi di mana teks-teks tersebut lahir dan masyarakat pada masa saat ini, sehingga persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat diluar pengarang tersebut dapat dipecahkan melalui teks, yaitu teks hadis dan menjadikan teks sebagai teks yang hidup dan bermakna, bukan teks ‘usang’ masa lalu. Penafsiran menurut Gracia adalah sebuah proses atau aktivitas yang melebihi dari pemahaman, sehingga penafsiran terkait dengan sang pengarang, bahkan kepada pembaca dimana teks tersebut diciptakan juga terkait. Sedangkan pemahaman menurut istilah Gracia understand adalah aktifitas mental dimana seseorang memahami sesuatu, yaitu makna teks. Tetapi dalam proses pemahaman, seseorang tidak dapat direduksi dengan pemahaman sang pengarang ataupun sesuatu terkait tentang sang pengarang. Sehingga demikian, hanya melalui penafsiran teks maka kesenjangan antara teks, pengarang dan masyarakat sekarang dapat teratasi, bukan melalui pemahaman teks. Namun yang menjadi ketertarikan penulis dari teori penafsiran Gracia untuk di angkat adalah prinsipnya tentang interpretasi, yaitu interpretasi adalah teks. Disini letak perbedaan Gracia dengan para tokoh hermeneuitka lainnya, karena sebagian besar bahwa interpretasi adalah aktifitas pemahaman atau proses pemahaman. Selain itu, interpretasi terkadang juga dipahamai sebagai akhir dari sebuah kegiatan (baca: produk penafsiran). Kajian dan penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan maksud dari interpretasi adalah teks dan bagaimana bangunan atas konsep tersebut diperlukan. Mengingat, bahwa kaitannya dengan persoalan studi agama, dalam hal ini studi teks-teks agama, terutama hadis, saat ini semua obyek penelitiannya adalah teks. Secara historis, hadis mengalami proses transformasi dari budaya ucapan atau hafalan kepada tulisan, sehingga sekarang akses untuk memahami dan menafsirkannya berkaitan langsung dengan teks atau tulisan, bukan lagi dengan ucapan atau hafalan. Oleh karena itu, ekplorasi lebih jauh dan mendalam atas gagasan penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia diperlukan dan untuk lebih mengarahkan dan memfokuskan penulisan selanjutnya, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah. 

B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimanakah maksud dan bangunan teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia?
2. Bagaimana relevansi teori tersebut terhadap metodologi pemaknaan hadis kontemporer?
3. Bagaimana aplikasi teori penafsiran terhadap pemaknaan hadis?

C. Kerangka Teori 
Paradigma baru telah lahir ketika IAIN menjadi UIN, tidak hanya sebatas perubahan nama. Ketika dimasa IAIN, ilmu keagamaan berdiri sendiri yang kemudian melahirkan beberapa dikotomi keilmuan, namun, dimasa UIN, ilmu keagamaan tidak menyendiri dan bebas intervensi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam artian bahwa perkembangan keilmuan agama, sosial dan humaniora saling berhubungan satu sama lainnya sehingga perkembangan agama tidak hampa dengan permasalahan sosial dan humaniora atau sebaliknya. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah dalam karyanya, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif, sebagai berikut. Proyek besar reintegrasi epistemology keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat dimasa yang akan datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Interkoneksitas dan sensivitas antar berbagai disiplin ilmu-ilmu kealaman dengan disiplin ilmu-ilmu social dan disiplin humanities serta disiplin ilmu-ilmu agama perlu diupayakan secara terus menerus. Paradigma tersebut tidak hanya menghubungkan antara ilmu keagamaan dengan sosial dan humaniora, akan tetapi menghubungkan kepada sains dan komunikasi. Sehingga melahirkan lingkaran baru sesuai dengan hubungan antara agama-sosial dan humaniora-sains dan komunikasi. Gambar diatas menunjukkan bahwa semua keilmuan memiliki hubungan yang menyatu pada titik temu, tidak ada dikotomi keilmuan antara ilmu agama, umum dan lain sebagainya. Keilmuan tersebut berorientasi pada penekanan perpaduan antara ilmu-ilmu keagamaan (hadlarah al-nas), ilmu kealaman dan kemasyarakatan (hadharah al-ilm) dan ilmu etika filsafat (hadharah al-falsafah). Paradigma diatas dikenal dengan integrasi-interkoneksi, yakni mengembangkan keilmuan tertentu dengan mengaitkan dan mengkombinasikannya dengan keilmuan lainnya. Paradigma tersebut mengharuskan keilmuan meleburkan dan menjadi satu dengan keilmuan lainnya, baik sisi normativitas-sakralitas kepada historis-profanitas, atau menghapuskan sisi historisitas keberagamaan kepada normativitas-sakralitas tanpa reserve. Keharusan tersebut secara otomatis membebaskan dikotomi keilmuan dengan saling berdiri bersama menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Integrasi-interkoneksi keilmuan pada dunia kontemporer adalah sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditolak. Tidak terkecuali dengan keilmuan hadis dengan mengintgrasi-interkoneksikan dengan keilmuan lainnya, seperti linguistik, sosiologis, antropologis, hermeneutis dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak lain untuk memperkaya varian temuan yang bermanfaat bagi keilmuan itu sendiri dan masyarakat secara pragmatis.

D. Metode dan Pendekatan Penelitian 
1. Metode 

Secara kategorikal, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian secara holistik yang dideskripsikan melalui kata-kata dan bahasa dalam konteks tertentu. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena obyek penelitian bersandarkan pada data-data yang tersebar dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian, situs dan lain sebagainya. Kemudian data-data tersebut dibagi kedalam data primer dan sekunder. Data primer berupa karya-karya Jorge J.E Gracia dalam bentuk buku dan artikel, terutama yang berkaitan dengan teori interpretasi. Buku yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah A Theory of Textuality:The Logic and Epistemology. Dipilihnya buku tersebut sejauh penelusuran dan pembacaan peneliti karena dalam buku tersebut Gracia memaparkan teori interpretasinya secara komprehensif. Sementara data sekunder adalah buku Text;Ontological Status, Identity, Author, Audience. Dalam buku ini, Gracia memaparkan tiga elemen penting dalam sebuah interpretasi, yaitu pengarang, teks dan audien atau pembaca. Selain itu, teks-teks lainnya yang secara langsung mengacu pada tema ini serta tulisan di buku-buku yang secara tidak langsung mengacu dengan tema. Pada tahap selanjutnya, setelah data dikumpulkan, dilakukan analisis data. Analisis tersebut meliputi analisis deskriptif dan verikatif. Analisis deskriptif menggunakan teknik analisis domain (domain analysis) yang bertujuan untuk eksplorasi. Analisis ini digunakan untuk memetakan gambaran umum tentang objek penelitian pada tingkat permukaan namun relative utuh tentang objek penelitian tersebut. Sementara pada analisis verikatif, digunakan teknik analisis isi (content analysis) dangan tujuan konfirmasi. Model ini, disamping teknik yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif, teknik analisis isi dipandang sebagai teknik analisis data yang paling umum. 

2. Pendekatan 
Pendeketan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan sejarah, dimana salah satu variannya adalah sejarah pemikiran. Menurut Kuntowijoyo, sejarah pemikiran merupakan terjemahan dari history of thought, history of ideas, atau intellectual history. Sementara pemikiran dapat dipilah-pilah ke dalam pemikiran perorangan atau pemikiran seorang tokoh, isme tertentu, gerakan intelektual, periode tertentu dan pemikiran kolektif. Berdasarkan pemilahan tersebut, penelitian ini masuk dalam kategori yang pertama atau sejarah pemikiran tokoh, yakni pemikiran tokoh Jorge J.E Gracia dan pemaknaan hadis. Sejarah pemikiran mempunyai tiga macam pendekatan, yaitu teks, konteks dan hubungan pemikiran dengan masyarakatnya. Penelitian ini hanya menggunakan pendekatan teks, hal-hal yang harus dilakukan adalah menelusuri genesis pemikiran, serta perkembangan dan perubahan pemikirannya. Kecuali itu, varian pemikiran, komunikasi pemikiran, dialektika internal, kesinambungan pemikiran dan intertekstualitas, juga harus dipertimbangkan dalam melakukan studi tokoh yang menggunakan pendekatan teks. 


PENUTUP
       Kesimpulan
Berdasarkan penelitian penulis, serta dengan mengacu kepada rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini, yaitu; pertama, Bagaimanakah maksud dan bangunan teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia?, kedua, Bagaimana relevansi teori tersebut terhadap metodologi pemaknaan hadis kontemporer? Dan ketiga, Bagaimana aplikasi teori penafsiran terhadap pemaknaan hadis, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan.
     1.      Interpretation atau interpretasi menurut Gracia adalah teks. Interpretasi sebagai teks terdiri dari teks yang ditafsirkan ‘interpretandum’, keterangan-keterangan tambahan ‘interpretans’ dan mufassir. Tetapi, perlu disadari bahwa komentar-komentar tambahan dari mufassir bukanlah interpretasi, melainkan gabungan antara teks yang ditafsirkan dan teks tambahan dinamakan interpretasi. Sedangkan interaksi pembacaan oleh pembaca terhadap interpretasi yang melahirkan sebuah pemahaman makna teks adalah understanding. Untuk menghindari kesalahpahaman atas gagasan interpretasinya, Gracia memberikan rambu-rambu yang harus dipahami. (a) komentar-komentar itu bukan untuk mendistorsi makna teks atau menghalangi makna yang diharapkan oleh pengarangnya, melainkan sebagai keharusan untuk proses pemahaman kepada makna teks. Pada prinsipnya, pendapat Gracia ini berdasarkan hakikat dan tipologi teks yang dikembangkannya (b), kesalahpahaman atas gagasan interpretasi sebagai teks lebih cenderung kepada kesalahan memahami fungsi interpretasi, terutama fungsi historis, padahal fungsi interpretasi tidak terbatas hanya historis, terdapat fungsi pemaknaan (meaning function) dan fungsi implikatif (implicative function).  
    2.  Gracia memberikan penekanan-penekanan terhadap fungsi interpretasinya, terutama fungsi historis dan pemaknaan. Fungsi historis, dia lebih menekankan dengan langkah seimbang pemahaman atau principle of proportional understanding. Sedangkan fungsi pemaknaan, dia lebih menekankan dalam fungsi kebudayaan yang dimiliki oleh teks dari pada fungsi kebahasaan yang dimiliknya.
     3.      Relevansi gagasan interpretasinya dalam studi metodologi pemaknaan hadis adalah; pertama, hakikat teks sebagai interpretandum memberikan penegasan bahwa pemahaman hadis tidak harus melakukan penilaian sanad dengan mandiri, hal itu bisa mengikuti para pakarnya; kedua; prinsip pemahaman proporsional yang ditawarkannya juga dapat dipertimbangkan sebagai metodologi memahami makna teks secara historis; ketiga, fungsi kebudayaan yang dimiliki teks pada fungsi pemaknaan memberikan acuan baru dalam memaknai teks-teks hadis dimana selama ini berpegang kepada fungsi kebahasaan semata.
 

Rabu, 13 Februari 2013

Pemikiran Syaukani dalam Hadis


A.    PENDAHULUAN
Abad pertengahan adalah masa dimana dunia memasuki era kegelapan. Dalam hubungannya antara timur dan barat, konflik agama sehingga menimbulkan perang salib telah sering terjadi. Dalam Islam sendiri, abad tersebut adalah abad dimana system kekhalifahan mencapai kemunduran. Meski begitu, era pertengahan bukan lah era dimana ilmuawan tidak terlahirkan sama sekali. Salah satunya adalah Syaukani yang terlahir di era abad pertengahan.
Syaukani yang terlahir pada era kerajaan Utsmani adalah salah satu tokoh dalam beberapa bidang keilmuan, seperti al-Quran, Hadis dan hukum Islam. Dalam hadis, Syaukani telah berhasil melahirkan sebuah karya fonumental sampai saat ini, Nayl al-Author. Salah satu pujian untuknya di berikan oleh Shadiq Ahmad Khan, dia mengatakan bahwa Syaukani adalah seorang ahli ilmu segala pengetahuan, dengan kemampuannya tersebut, kalangan yang bersebrangan maupun sepaham memberikan aplaus terhadapnya.
Oleh karena itu, berkenalan dengan Syaukani lebih jauh dan dalam tentunya di perlukan untuk menambah wawasan keilmuan. Akan tetapi dengan segala keterbatasan, penulis sedikit menguak tentang sosok Syaukani dan pemikirannya tersebut dalam tulisan sederhana ini. Semoga bermanfaat.
B.     NAPAK TILAS KEHIDUPAN
al-Imam al-Mujtahid Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah al-Syaukani kemudian al-Son'ani, dilahirkan pada hari senin 28 Dzul Qo'dah tahun 1172 H. Ia hapal al-Quran dengan baik dan hapal banyak sekali matan-matan dan ringkasan fan fan yang berbeda, ketika itu umurnya belum genap 10 tahun, kemudian melanjutkan kepada syeh syeh besar, ia banyak sekali menyibukkan diri dengan tarikh, kumpulan adab-adab. Dalam kitab al-Badru al-Thali' di sebutkan kitab-kitab yg dibacanya dihapan ulama sebagai bahan ujian. Dan peneliti dalam dalam fiqih, hadis, lughoh, tafsir, adab (sastra) dan mantiq. Beliau termasuk murid yag rajin. Keluasan pengetahuan dan kepandayannya membuatnya ahli dalam hadis, ulumul qur'an fiqih dan ushul fiqih, mengarah pada pembaharuan dan melepaskan diri dari jeratan taqlid, ketika itu umurnya belum mencapai/genap 30. Beliau meninggal dunia pada 27 Jumadil Akhir 1250 H.[1]
Tulisan dan lisannnya (khutbah) membidik kejumudan dan taqlid, hidupnya menentang bid'ah, hurafat, menjauhkan manusia dari hal-hal yang membinasakan dan kemunkaran-kemunkaran, menjelaskan pada mereka pandangan agama yag bersih, berpegang teguh pada al-kitab dan al-Sunnah, mengajak mereka untuk ittiba (mengikuti) ajaran-ajaran agama yang benar, membersihkan aqidah-aqidah dari kebatilan yang berkembang pada masanya. Pada tahun 1209 H, pada saat usianya 36 tahun, dia menjadi qodhi akbar di al-Mansur 'Aly bin al-Mahdi Abbbas.
Karyanya mencapai 278, tetapi yang di cetak ada 38 kitab, beliau menyusun kitabnya dengan sasaran terbatas. Membahas permasalahan Agama, membahas aspek-aspek ilmu-ilmu agama dan menutup celah pada tempatnya, menentang aliran-aliran pembodohan dan ta'assub.
Diantara karya-karyanya adalah:
1.Tuhfatud Dzakiriin syarah 'Iddatul Hisnil Hushain  Irsyadus Tsiqot ilaa Ittifaaqi al-Syara'ii 'alaa al-Tauhiidi wa al-Ma'aadi wa al-Nubuwwati, sebagai penolakan terhadap penjelekan Musa bin Maymun al-Andalusi al-Yahuudy
2.Syarah Shudur fi Raf'il Qubur 
3.Risalah fii Haddi al-Safari Yajibu ma'ahu Qashrus Shalati
4.Risalah Fi Hukmi al-Tholaq al-Bidh'i hal Yaqa'u am laa?
5.Ittihaful Mahroh fi al-Kalam 'alaa Haditsi laa 'Adwaa wa laa Thayroh
6.Risalah al-Bhugyah fii Masalati al-Ru'yati, yaitu tentang melihat Allah di akhirat, beliau mejelaskan bagai mana madhab Ahlu sunnah tentang itu dan kebohonganu capan ahlul bidah tentang hal terebut.
7.al-Tasykiik 'alaa al-Tafkikk wa Irsyaadul Ghabiyyi ilaa Madhabi Ahlil Bayti fii shuhuubi al-Nabiyyi
8.al-Bahtsul al-Musfir 'an Tahriim Kullu Muskirin
9.Risalah fi Hukmi al-Tas'iir
10.al-Taudhih fii Tawaaturi maa jaa fil al-Mahdy al-Muntadzary wa al-Dajjali wa al-Masiih Risalah Jawabus saaili 'alaa ma'na hadits "Ana madinatuil ilmi wa 'Ali babuha"

Karyanya yang paling terkenal
                                              
1. Dalam tafsir : Fathul Qadiir al-Jaami bayna fanay al-Riwayah wa al-Diroyah
2. Dalam Fiqih : al-Saylu al-Jaraar al-Muttadafiq 'ala Hadaiqol al-Azhar, yaitu syarah al-Azhar fiFiqhi aalil Bayti                                                          
3. Dalam Hadis : Nayl al-Authar syarah al-Muntaqa al-Akhbar
Meski terkenal sebagai ahli hadis, beliau juga tidak lupa untuk menuntut ilmu, adapun di antara guru-guru beliau ialah:
- Ayahanda beliau yang mengajar beliau belajar Syarah al-Azhar dan Syarah Mukhtashar al-Hariri.
- As Sayyid al Allamah Abdurrahman bin Qasim al Madaini, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar.
- Al Allamah Ahmad bin Amir al Hadai, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar.
- Al Allamah Ahmad bin Muhammad al-Harazi, beliau berguru kepadanya selama 13 tahun, mengambil ilmu fiqih, mengulang-ulang Syarah al Azhar dan hasyiyahnya, serta belajar bayan Ibnu Muzhaffar dan Syarah an-Nazhiri dan hasyiyahnya.
- As Sayyid al Allamah Isma’il bin Hasan, beliau belajar kepadanya al-Malhah dan Syarahnya.
- Al Allamah Abdullah bin Isma’il as-Sahmi, beliau belajar kepadanya Qawaidul I’rab dan Syarahnya serta Syarah al Khubaishi ‘alal Kafiyah dan Syarahnya.
- Al Allamah al Qasim bin Yahya al-Khaulani, beliau belajar kepadanya Syarh as Sayyid al-Mufti ‘alal Kafiyah, Syarah asy-Syafiyah li Luthfillah al Dhiyats, dan Syarah ar-Ridha ‘alal Kafiyah.
- As Sayyid al Allamah Abdullah bin Husain, beliau belajar kepadanya Syarah al fami ‘alal Kafiyah.
- Al Allamah Hasan bin Isma’il al Maghribi, beliau belajar kepadanya Syarah asy- Syamsiyyah oleh al Quthb dan Syarah al- ‘Adhud ‘alal Mukhtashar serta mendengarkan darinya Sunan Abu Dawud dan Ma’alimus Sunan.
- As Sayyid al Imam Abdul Qadir bin Ahmad, beliau belajar kepadanya Syarah Jam’ul Jawami’ lil Muhalli dan Bahruz Zakhkhar serta mendengarkan darinya Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, dan Syifa’ Qadhi ‘lyadh.
- Al Allamah Hadi bin Husain al-Qarani, beliau belajar kepadanya Syarah al-Jazariyyah.
- Al Allamah Abdurrahman bin Hasan al Akwa, beliau belajar kepadanya Syifa al Amir Husain.
- Al Allamah Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin Amir, beliau mendengarkan darinya Shahih Bukhari dari awal hingga akhir.
C. SETTING SOSIAL
Sejak permulaan abad ke-12 H. (18 M.) dunia Islam telah memasuki fase kemunduran, pada waktu itu, tiga kerajaan besar: Turki Usmani, Safawi, dan Mughal telah mulai mengalami masa surutnya masa kejayaannya. Sehabis masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1566 M.), kerajaan Turki Usmani telah memasuki masa kemundurannya, sultan-sultan yang memerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kerajaan yang luas itu, bahkan mereka banyak dipengaruhi oleh para putri di istana, sementara di berbagai wilayah dalam kerajaan muncul berbagai pemberontakan, seperti di Suriyah timbul pemberontakan Kurdi Jumbulat, di Mesir terjadi pemberontakan ‘Ali Bek al-Kabir yang diteruskan oleh Muhammad ‘Ali, di Libanon terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Druze Amir Fakhruddin dan kemudian muncul pula gerakan al-Syihabiyah, di Palestina gerakan pemberontakan dipimpin oleh Damir al-Amr. Janissary, tentara Usman sendiri, juga berontak terhadap kerajaan. 
Pada masa itu pula, beberapa peperangan dengan negara-negara tetanggapun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Turki Usmani semakin terpojok. Yunani memperoleh kemerdekaannya kembali pada tahun 1829 M., Rumania lepas pada tahun 1856, begitu pula dengan Bulgaria pada tahun 1878 M., Albania, dan Macedonia. Dalam pada itu, kerajaan Syafawi di Persia yang menganut paham Syi’ah, mulai mengalami kemunduran. Penyebabnya adalah penyerangan yang dilakukan oleh Afghan yang menganut paham Sunni, di bawah pimpinan Mir Ways pada tahun 1709 M. setelah itu, terjadilah pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh Afghan. Dengan demikian, tamatlah kerajaan Syafawi di Persia. 
Sementara itu, di India, kerajaan Mughal yang berada di bawah kekuasaan Aurangzeb sedang mengalami tantangan dari golongan Hindu yang merupakan mayoritas penduduk India. Dalam kondisi demikian, Inggris turut campur dalam konflik politik di India, dan akhirnya India dapat dikuasai pada tahun 1857 M.  Hal di atas, gambaran kondisi dunia Islam ketika al-Syaukani hidup. Melihat kondisi dunia Islam yang semakin tidak menentu, Yaman adalah salah satu bagian dari kerajaan Turki Usmani, di bawah kepemimpinan al-Qasim ibn Muhammad, memberontak melawan Turki Utsmani, pada tahun 1598 M. dan mendirikan dinasti Qasimiyah. Setelah al-Qasim meninggal (1009 H.), ia diganti oleh putranya, al-Mu’ayyad Muhammad ibn al-Qasim (1009-1054 H.), yang telah sanggup mempertahankan Yaman dari serangan bangsa Turki.  Setelah itu, berkali-kali serangan bangsa Turki di arahkan ke Yaman, namun tidak menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan para imam Zaidiyah di Yaman. Al-Syaukani sendiri merekam cerita tentang kepahlawanan kakeknya, yaitu Abdullah al-Syaukani, yang ketika usianya telah mencapai 110 tahun masih mampu dengan gagah perkasa berjuang bersama para putra Yaman melawan bangsa Turki dan mengusir mereka dari tanah Yaman. Sekalipun demikian, para sultan Turki Utsmani tetap memandang Yaman sebagai bagian dari wilayah mereka , yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Oleh sebab itu, selama pemerintahan Dinasti Qasimiyah senantiasa terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Utsmani.[2] 
Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, perkembangan ilmu pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di wilyah lain, tidak dapat dikatakan telah mencapai kemajuan yang berarti. Diakui oleh al-Syaukani bahwa kebekuan dan taklid yang melanda kaum muslim sejak abad ke-4 yang mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bid’ah dan khurafat, sehingga terjauh dari tuntunan Islam yang sebenarnya.[3] Dalam situasi dan kondisi seperti itulah al-Syaukani di lahirkan. Syaukani mencoba untuk meluruskan permasalahan umat Islam pada masa tersebut dengan mengembalikannya kepada ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan al-Quran dan hadis. Baginya, Al-Quran adalah sumber pertama dan utama untuk mengembalikan umt Islam lepas dari taklid buta, sedangkan hadis, beliau tidak membatasi kepada hadis-hadis yang bersanad ahl al-bait, bahkan hadis ahad pun juga di perhitungkan dengan beberapa syarat yang akan di jelaskan dalam bab selanjutnya.

D. PEMIKIRAN AL-SYAUKANI
Salah satu pemikiran Syaukani tentang hadis adalah hadis ahad. Secara umum, hadis ahad adalah hadis satu, dua atau sedikit yang tidak melebihi derajat masyhur.   Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy- Syaukani menyatakan bahwa kabar wahid atau hadits ahad baru dapat diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat sebagai berikut:
1.          Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ucapan anak dibawah umur tidak dapat diterima. 
2.           Sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar atau cerita dari orang kafir.
3.          Nara sumber harus memiliki ‘adalah, yaitu integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan dan kewibawaan diri (muru’ah) sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini orang fasiq secara otomatis tidak mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak.
4.          Nara sumber harus memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi.
5.          Nara sumber diharuskan jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun tidak sengaja.[4]

Melihat persyaratan di atas, maka dapat diketahui bahwa Syaukani, meski beraliran Syiah, namun karena beraliran Syiah Ziyadah maka beliau tidak membatasi periwayat dari kalangan ahl al-bait belaka, Syaukani lebih melihat permasalahan tersebut lebih kepada kredibelitas seorang perawi. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan Syiah Imamiah yang menolak hadis perawi selain ahl al-bait. Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam. Akan tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan Utsman bin ‘Affan.[5] Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan mengakui kepemimpinan meraka. Di antara ajaran sekte ini juga adalah Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin AbiTalib lebih afdal dari pada Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib, sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm Mafdûl.[6]
Selain dalam hadis, pemikiran faham Syiah Ziyadah juga terlihat dalam karya tafsirnya, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fannai wa al-Dirayah min Ilm Tafsir. Al-Dzahabi dalam kitabnya, al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyebutkan bahwa tafsir karya Syaukani adalah satu-satunya tafsir yang bercorak mazhab Syiah Ziyadah, sedangkan untuk tafsir yang bercorak lawan dari Syiah Ziyadah, yaitu Syiah Imamiah berjumlah 12.[7]
Syaukani dalam hadis sangat memperhatikan transmisi sanad, karena dengan transmisi sanad sebuah hadis dapat di terima atau tidak. Meski begitu, respek Syaukani terhadap transmisi sanad yang bermuara kepada Bukhari dan Muslim, beliau tidak menghiraukan, dalam artian bahwa beliau menaruh respek hormat yang tinggi kepada kedua tokoh hadis tersebut. Salah satunya adalah ketika beliau menulis kitab Tuhfah al-Dzakirin.[8] Dalam karya tersebut, beliau mencoba menulusuri ulang transmisi sanad pada kitab Uddah al-Hisnh, meski melakukan kritik ulang terhadap sanad tapi beliau tidak memberlakukan kepada hadis-hadis yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Di samping memperhatikan transmisi sanad, beliau juga lafal-lafal hadis tersebut. Sebagai contohnya adalah beliau dalam kitabnya, Nayl al-Author, menjelaskan perbedaan lafal-lafal hadis dan maknanya, illat serta hukum yang dapat di ambil dari sebuah hadis tersebut.[9] Oleh karenanya, Syaukani selain tokoh dalam bidang Tafsir dan Hadis, beliau juga sebagai tokoh hukum Islam. Salah satu pemikiran Syaukani yang paling fonumental di bidang lafal hadis adalah hadis-hadis yang menunjukkan perintah dapat diterima sebagai hadis apabila lafal tersebut jelas menunjukkan perintah. Seperti redaksi hadis yang menggunakan امرنا رسول الله عن...  atau صلوا كما رأيتموني اصلي namun redaksi hadis seperti امرنا هكذا tidak dapat diterima.  







E. PENUTUP
Seperti yang sudah di paparkan di atas, Syaukani adalah tokoh dalam beberapa bidang keilmuan. Namun dalam keilmuan hadis, pemikiran Syaukani dapat di garis bahawai sebagai berikut.
1.      Hadis ahad, hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit perawi yang tidak sampai kepada derajat masyhur, tetap dapat di terima dengan beberapa syarat.
2.      Seperti tokoh lainnya Syiah Ziyadah, Syaukani juga memandang bahwa membatasi transmisi sanad hanya kepada ahl al-bait adalah sebuah kesalahan. Transmisi sanad dari Abu Bakar, Umar dan Utsman juga perlu di pertimbangkan.
3.      Selain memperhatikan transmisi sanad, Syaukani adalah ahli hadis yang memperhatikan terhadap lafal-lafal dan illat hadis.



[1] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl al-Author , Juz I (tk:Mustofa al-Baby al-Halaby,tt), hlm. 3
[2] Hasani Ahmad, Rasionalitas Tafsir Fath al-Qadir Imam al-Syaukani dalam http://hasanibanten. blogspot.com/2010/01/rasionalitas-tafsir-fath-al-qadir-imam.html. Di akses pada 05 Juni 2012. Lihat juga Syaukani, Nayl al-Author, Juz I, hlm 11-13.
[3] Al-Syaukani, Nayl al-Author, Juz I, hlm. 20
[4] Syamsuddin Arif, "Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam” dalam  Jurnal Islamia, II, no. 5, hlm. 32
[5] Imam Abi Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, al-Milal wa Nihal, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, tt), hlm. 155
[6] Ibid, hlm. 154
[7] Al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz II, (Kairo: Maktabah Wahbah. 2000), hlm. 407 dan 411
[8] Al-Syaukani, Syarh Tuhfah al-Dzakirin bi Uddah al-Hishn al-Hashin min Kalam Sayyid al-Mursalin (Jakarta:Pustaka Azzam. 2007), hlm. 10
[9] Al-Syaukani, Nayl al-Author, Juz I, hlm. 11-12

Al-Quran dalam kesenian Masyarakat Indonesia



       A.    PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab pegangan utama umat islam, oleh karena itu al-Quran adalah kitab suci yang paling banyak di ucapkan dan diperdengarkan dari waktu ke waktu. Menarik perhatian dalam hal ini bahwa umat islam ketika berinteraksi beranekaragam dalam mengaplikasikan dan mengamalkannya. Salah satu variasi tersebut adalah sebagian mereka melihat al-Quran sebagai bentuk estetik ilahi yang harus di apresiasi dengan estetik pula, seperti melagukan dalam pembacaan, menulis dengan berbagai bentuk tulisan yang indah serta lain sebagainya.
Dalam tataran masyarakat muslim di Indonesia, keanekaragaman tersebut juga banyak dijumpai, seperti tilawah, kaligrafi, bahkan sebagai oranamen-ornamen dinding masjid adalah suatu hal yang wajar di jumpai. Kaligrafi sebagai salah bentuk kesenian menulis telah menunjukkan bahwa al-Quran di terima oleh umatnya tidak hanya dalam tataran etika maupun norma kehidupan, melainkan sebagai ekspresi estetika. Namun yang menjadi sebuah pertanyaan mendasar, apa tujuan mereka mengapresiasi al-Quran dari sisi estetik dan apa yang terejawantahkan dalam kesenian kaligrafi adalah benar-benar ejawantah dari spirit islam. Beberapa pertanyaan tersebut coba penulis ungkap dalam tulisan sederhana ini dan semoga bermanfaat.
  
      B.     PEMBAHASAN
1.      Definisi
Kaligrafi dalam Ensikolpedia bebas Wikipedia maupun Kamus Besar Indonesia  diartikan sebagai seni menulis indah dengan pena sebagai hiasan.[1] Ungkapan kaligrafi sendiri berasal dari bahasa Latin “kalios” yang berarti indah dan “graph” yang berarti tulisan. Dalam bahasa Inggris, kaligrafi adalah bentuk sederhana dari calligraphy, dalam bahasa Arab biasa disebut dengan khat.
Secara terminologi, kaligrafi di artikan oleh Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut.
“Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.”[2]
            Pemaparan definisi di atas menunjukkan bahwasannya kaligrafi adalah sebuah “aturan maen” perihal tulis menulis. Adapun kaligrafi menurut Situmorang adalah suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.[3] Sedangkan Yaqut Musta’shim memahami kaligrafi sebagai sebuah pengalaman rohani kaligrafer yang terwujudkan dalam keindahan tulisan.[4]
2.      Sejarah
Al-Quran adalah kitab suci orang Islam yang menjadikan setiap lini kehidupan kaum muslimin menjadi indah, tidak terkecuali gaya budaya dan seni juga terpengaruhi bahkan terlahir dari al-Quran itu sendiri seperti pengaruhnya terhadap seni kaligrafi, al-Quran menduduki posisi penting.[5]
Merujuk kepada Q.S al-Baqarah: 31, banyak kalangan Arab meyakini bahwasannya kaligrafi pertama kali di cetuskan oleh Adam, makhluk pertama yang diajari Allah nama-nama seluruh benda yang ada.  Meskipun kaligrafi telah ada sejak manusia pertama, namun dikalangan umat Islam sendiri memulai memikirkan kaligrafi(tulis-menulis) pada era kodifikasi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa kodifikasi al-Quran adalah sebuah peristiwa penting yang merubah al-Quran sebelumnya bersifat hafalan atau oral, berubah menjadi tulisan. Seperti disiplin ilmu lainnya, kaligrafi menemukan keanekaragaman ketika Islam melakukan invasi ke beberapa negara untuk menyebarluaskan ajarannya, misalnya salah satu tulisan awal yang dianggap dikembangkan di Irak pada paruh kedua abad kedelapan Masehi, menjadikan al-Quran dalam penyalinannya menggunakan tulisan tersebut.[6] Selanjutnya, perkembangan tulisan pun tidak dapat di hindari, hal tersebut di tandai dengan beranekaragamnya tulisan, seperti Naskhi, Tsuluts, Riq’ah, Diwani, Diwani Jali, Farisi dan Kufi.[7]
Habibullah Fadzoili, sebagaiamana dikutip oleh Nurul Huda, menjelaskan bahwasannya periodesasi kaligrafi islam terbagi menjadi enam periode sebagai berikut.
Pertama, kemunculan gaya kufi. Dalam hal ini, baik kemunculan dalam bentuk tanpa tanda baca kemudian berlanjut sedemikian rupa indahnya.[8]
Kedua, munculnya beberapa gaya penulisan selaian gaya kufi yang sudah ada, seperti tsulust, riq’i, naskhi, muhaqqaq, raihan, dan tauqi’.
Ketiga, periode penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan oleh Abu Ali Muhammad bin Muqlah (940 M) dan Abu Abdullah Hasan bin Muqlah dengan metode al-khat al-mansub(ukuran standar bentuk kaligrafi).
Keempat, periode Abu Hasan Ali bin Hilal (1022 M). Pada periode ini, kaidah sebelumnya dikembangkan melalui kaidah yang di istilahkan dengan al-khat al-faiq.
Kelima, periode Jamaluddin Yaqut al-Musta’shim (1298 M). Jamaluddin mencoba mengembangkan hiasan kaligrafi dengan penyesuaian pena, yaitu potongan miring.
Keenam¸munculnya tiga gaya baru penulisan, yaitu gaya ta’liq dikembangkan oleh Abdul Hayy, gaya nasta’liq oleh Mir Ali dan gaya Shikatseh oleh Darwisi Abdul Majid.[9]   
Dalam perkembangannya, jika pada periode klasik pencampuran tulisan tidak dibolehkan dan lebih menonjolkan keelokan tulisan pada garis-garis, dalam periode kontemporer lebih menunjukkan kebebasab apresiasi jiwa seni kaligrafer, sehingga kaligrafi kontemporer tidak lagi sebatas pada garis-garis maupun satu tulisan saja. Meski menuai kontroversi, kaligrafi kontemporer mulai mendapatkan perhatian serius, terutama sejak diadakannya pameran seni kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Massa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).[10] Sirajuddin mencatat bahwa pelopor kaligrafi kontemporer di Indonesia adalah Ahmad Sadali dan A.D Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Di Yogyakarta sendiri, setelah generasi mereka lahir kaligrafer kontemporer seperti Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier dan lain sebagainya.[11]
3.      Kaligrafi Dalam Tradisi Seni Masyarakat
Kesenian tulis indah atau lebih dikenal dengan kaligrafi untuk masa sekarang ini, sudah begitu akrab di kehidupan orang Islam di manapun berada. Bagi mereka, kaligrafi memiliki berbagai fungsi serta nilai yang terkandung di dalamnya. Diantara fungsi dan nilai tersebut adalah sebagai berikut
a.       Nilai Agama
Kaligrafi adalah sebuah karya manusia yang mencoba menuangkan ide-ide Ilahi melalui tulisan-tulisan indah, sehingga kaligrafi bertautan dengan nilai-nilai Ilahi dalam ruang lingkup spiritual, karena bagaimanapun kaligrafi adalah karya nyata yang bernilai seni dan pengalaman spirit dari kaligrafer.
Kaligrafi Islam adalah pengejawentahan visual dari kristalisasi realitas-realitas spiritual yang terkandung dalam wahyu Islam, kaligrafi tersebut merupakan sebuah pakaian luar untuk Firman Allah di alam nyata meskipun  seni ini tetap berhubungan dengan alam spirit.[12]
Menurut Purwanto, seorang perajin perak di Kotagede, kaligrafi adalah kesenian yang bercirikan islami dan bernafaskan Islam.[13] Secara umum, kaligrafi berbicara mengenai tulisan indah, namun realiatas tersebut yang berkembang sampai sekarang adalah kaligrafi islam, yaitu gaya menulis indah Firman Ilahi, sehingga wajar jika dalam masyarakat menganggap bahwasannya kaligrafi bercirikan Islam dan bernafaskan Islam. Oleh karena itu, sebagian orang mengatakan bahwa kalgrafi adala visualisasi dari ayat-ayat Quran, karena dalam kaligrafi yang berkembang pesat adalah kaligrafi Qurani, tulisan indah tentang ayat-ayat Qurani.  
Sedangkan menurut Pirous, kaligrafi adalah salah satu jalan penafsiran dan pemahaman ayat-ayat al-Quran melalui mediasi visual dan pengalaman serta sebagai animasi dan hiasan pesan Ilahi.[14] Semua Muslim mengetahui tentang doktrin “Allah indah menyukai keindahan”, melalui seni kaligrafi tersebut, kaligrafer mencoba memvisualisasikan melalui keindahan tulisan untuk menagkap pesan-pesan yang ada.  Oleh karena itu, pemakaian warna dan lekukan tulisan kaligrafi dalam prespektif Pirous termasuk sebagai aktualisasi penafsiran kaligrafer terhadap ayat-ayat al-Quran. Hal tersebut semakin rumit bagi orang awam untuk memahami penafsiran tersebut, karena tidak semua orang dapat memahami nilai seni dari kesenian, apalagi hal tersebut adalah ejawantah dari penafsiran al-Quran. Disamping dituntut memahami dunia tafsir, persoalan tersebut juga menuntut orang untuk memiliki jiwa seni.
Seperti halnya kasus-kasus living quran lain, kaligrafi lebih kepada memahami keindahan ayat-ayat Qurani secara nyata dalam realitas kehidupan, tidak sebatas menguraiakan ayat demi ayat pada karya tafsir. Mereka menerima cahaya ayat-ayat Quran sesuai dimensi pengalaman dan keahliannya. Bagi mereka, huruf-huruf, kata-kata dan ayat al-Quran bukanlah sekadar unsur-unsur dari suatu bahasa tulis, tetapi makluk atau personalitas. Melalui penulisan dan pembacaan unsur tersebut, manusia memasuki hubungan dengan makhluk-makhluk dan mukjizat yang berasal dari dunia seberang.  
b.      Budaya dan Seni
Kaligrafi merupakan produk budaya. Ia lahir dari rahim budaya karena sesungguhnya ia merupakan kebudayaan. Kesenian Islam yang berada di Indonesia pertama kali muncul dalam bentuk batu nisan yang dinamakan dengan tombe. Nisan, sebagai pelambang nama seseorang yang termakamkan dalam periode awal di datangkan langsung dari Gujarat.  Nisan seperti ini bisa di jumpai di seluruh pelosok Nusantara yang memiliki makam wali Agung, seperti di Gresik terdapat makam Maulana Malik Ibrahim.
Nilai budaya menunjukkan bahwa kaligrafi turut andil dalam membangun sebuah kebudayaan. Secara historis, kodifikasi al-Quran adalah salah satu tonggak awal peradaban Islam. Dalam peristiwa tersebut, dunia tulis menulis jelasnya tidak dapat di lupakan oleh semua orang sampai saat ini. Bagaimana al-Quran pertama di tulis, bagaimana perkembangannya dan kontroversi yang ada, bahkan salah satu syarat diterimanya sebuah qiraah adalah adanya kesesuaiannya dengan tulisan, yaitu rasm ustmani.
  Kaligrafi di Kotagede telah memberikan sebuah warna tersendiri bagi seni ukir logam. Kaligrafi adalah sebuah ukiran unik dan khas sehingga kaligrafi tersebut di rupakan dalam bentuk seni ukir logam adalah seni ukir logam yang menjadikan Kotagede sebagai tempat khas seni ukir logam. Kaligarfi dengan bahan logam serta perak dan kuningan telah memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan kerajinan di Kotagede[15]

c.       Ekonomi
Ketika membicarakan aspek ini, awalnya para perajin menjadi “galau” karena dalam al-Quran telah dijelaskan  adanya larangan menjual ayat-ayat al-Quran, namun demikian fenomena tersebut tidak dapat di hindari. Untuk menghindari dari ancaman tersebut, mereka lebih melihat kepada realitas ekonomi, dalam artian bahwasannya tingginya permintaan menunjukkan adanya kelangkaan barang tersebut, baik itu kelangkaan penjual atau pemiliknya.
Pada awalnya, para perajin hanya memenuhi permintaan dari pihak Keraton, namun dengan perjalanan waktu, kaligrafi tersebut bukan hanya di minati oleh pihak Kraton, hal tersebut di tandai dengan kaligrafi sebagai primadona penjualan seni ukir dalam kurun waktu 2002-2004. Di sini, para perajin menurut Muharuddin lebih menginginkan syiar Islam. Dengan grafik penjualan yang meningkat mereka telah ikut berpartisipasi dalam menyebarluaskan ayat-ayat Quran.[16]   
Pemasaran kaligrafi tergolong sangat mudah dan bahkan untuk mematok harga tinggipun juga teramat mudah, hal tersebut di samping nilai seni yang terkandung, nilai pesan-pesan ayat-ayat Quran terkandung di dalamnya. Namun demikian, para perajin sering kesulitan untuk meninggikan harga, bukan karena pembeli atau penjual, tetapi kepada pesan ayat yang ada.[17]
  
      C.    KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut
1.      Kaligrafi adalah seni tulis indah, namun perkembangan pesat lebih terjadi seni tulis indah ayat-ayat Qurani.
2.      Kaligrafi adalah sebuah bentuk respon umat manusia dalam menerima FirmanNya yang di ejawantahkan dalam bentuk tulisan. Sehingga, untuk memahami kaligrafi bukan hanya melihat ayat yang tertuang namun nilai spiritual yang ada.
3.      Seni kaligrafi dalam masyarakat seni Kotagede, memiliki fungsi dan nilai prespektif Agama;visualisasi ayat-ayat Qurani, seni-budaya;motivasi dan semangat serta ekonomi;salah satu produk unggulan.
  
    D.    DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi. Apri, Kerajinan Kaligrafi di Kotagede. Yogyakarta: Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga. 2010
al-Faruqi. Isma’il R, dan al-Faruqi. Lois Lamya, Atlas Budaya Islam;Menjelaskan Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan. 2003
George. Kenneth M,  Picturing Islam: Art and Ethic In a Muslim Lifeword. Singapura: Toppan Best-set Primedia Limited: 2010
Huda. Nurul, Melukis Ayat Tuhan:Pengantar Praktis Berkaligrafi Arab. Yogyakarta:Gama Media. 2003
Nasr. Sayyed Hossen,  Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo. Bandung: Mizan. 1993
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edc.III. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

http// Id.m.wikipedia.org/wiki/kaligrafi.

Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985

Situmorang, Oloan, Seni Rupa Islam;Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Angkasa. 1993


E.     Contoh Kaligrafi Kotagede
 







            Gb 1. Kaligrafi piring oval        gb 2. Kaligrafi semar bahan tembaga

 













     Gb 3. Kaligrafi tembaga         gb 4. Kaligrafi ayat kursi bahan tembaga



[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edc.III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 380. Lih. juga http// Id.m.wikipedia.org/wiki/kaligrafi.

[2] Sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985), hlm. 2

[3] Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam;Pertumbuhan dan Perkembangannya (Bandung: Angkasa. 1993), hlm. 67

[4] Sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda, Melukis Ayat Tuhan:Pengantar Praktis Berkaligrafi Arab (Yogyakarta:Gama Media. 2003), hlm 3
[5] Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam;Menjelaskan Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan. 2003), hlm 390

[6] Tulisan yang berkembang di Irak adalah Kuffi, meski tulisan tersebut juga mengalami periode perkembangan;kuffi awwal, kuffi timur dan kuffi bengkok. Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya…, hlm 390

[7] Naskhi. Khat tersebut sering dipakai dalam penulisan mushaf dan naskah-naskah kitab berbahasa Arab, majalah atau Koran.
Tsulust, yang berarti sepertiga kertas. Ada yang mengatakan sepertiga kertas yang sering dipakai di kedutaan Mesir, ada yang mengatakan sepertiga tulisan  Umar yang besar atau tulisan Thumar kuno. Tulisan ini lebih jelas dan gagah dibandingkan dengan naskhi meskipun keduanya memiliki kemiripan. 
Riq’ah, khat yang penamaannya sesuai dengan gaya penulisannya yang kecil-kecil serta terdapat sudut siku-siku yang unik dan indah.
Diwani, khat yang sering dipakai untuk keperluan kantor(diwan), memiliki bentuk lembut, gemulai penuh gaya melingkar serta tersusun di atas garis seperti riq’ah.
Diwani jail, sama dengan khat diwani, namun memiliki perbedaan dengan adanya syakal, hiasan dan titik rata pada lekukan hurufnya.
Kufi, khat yang berafiliasi kepada tempat ditemukannya, Kufah. Penulisan dengan cara pembentukan yang geometris atau balok garis lurus, sejajar kemudian diolah untuk motif dekorasi sehingga keindahannya terlihat jika dibubuhi ornament-ornamen.
Farisi, gaya penulisan yang cenderung miring ke kanan dan ditulis tanpa harakat ataupun hiasan. Selengkapnya lih. Nurul Huda, Melukis Ayat…, hlm. 7-10

[8] Menurut hemat penulis, Periodesasi ini mengacu pada kodifikasi al-Quran yang mana diketahui bahwasannya penulisan al-Quran dalam peristiwa tersebut mengalama beberapa alur sehingga berwujud seperti sekarang ini.

[9] Nurul Huda, Melukis Ayat.., hlm. 4-6

[10] Siarjuddin, Seni Kaligrafi…, hlm 11

[11] Ibid, hlm. 178
[12] Sayyed Hossen Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan. 1993), hlm. 28

[13] Apri Akhmadi, Kerajinan Kaligrafi di Kotagede (Yogyakarta: Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga. 2010) hlm. 80

[14] Kenneth M. George,  Picturing Islam: Art and Ethic In a Muslim Lifeword (Singapura: Toppan Best-set Primedia Limited: 2010), hlm. 45
[15] Apri Akhmadi, Kerajinan Kaligraf…, hlm. 81

[16] Ibid, hlm. 83

[17] Ibid, hlm. 93