Kamis, 24 November 2011

Korupsi Prespektif Islam



Pendahuluan
Korupsi[1] adalah penyakit akut yang mewabah di departemen pemerintahan Indonesia belakangan ini, sampai pada Tahun 2005 menurut data political economic and risk consultancy Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Masalah tersebut semakin menenggelamkan Islam sebagai agama yang di anut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, itu di sebabkan sebagian para koruptor adalah muslim.
Kita tahu dalam Islam, ada ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan hukuman bagi para pencuri, berbuat curang, penyogokan dan lain sebagainya. Dengan penduduk yang mayoritas muslim dan kitab suci yang mengatur kehidupan umat ini maka sepantasnya kita mengetahui keberadaan kitab Al-Quran dalam memerangi persoalan yang sedang menyelimuti masyarakat ini.

Pembahasan
1.     ayat-ayat Al-Qur’an
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”. (Al-Baqarah:188)
                Asbab al Nuzul ayat di atas sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tafsir Ibn Katsi1r adalah[2]:
قال علي ابن أبي طلحة، وعن ابن عباس: هذا في الرجل يكون عليه مال، وليس عليه فيه بَيِّنة، فيجحد المال ويخاصم إلى الحكام، وهو يعرف أن الحق عليه، وهو يعلم أنه آثم آكل حرامٍ.
            Melihat hal diatas, Surat Al-Baqarah: 188 merespon peristiwa yang terjadi dalam masyarakat arab(bisa di persempit dengan kejadian yang ada pada waktu itu). Yaitu seorang pemuda pemilik harta yang tidak mempunyai saksi untuk melegalkan kepemilikannya, kemudian sang pemuda membawa permasalahan tersebut kepada hakim guna melegalkannya namun dia mengetahui bahwa harta tersebut bukanlah miliknya dan perbuatannya adalah haram.
            Tafsiran Al-Baqarah : 188 menurut kitab Tafsir Al-Qaththan adalah:
يقصد الله تعالى ان لا يأكل بعضكم مال بعض بالباطل ، فجعل تعالى اكْل المرء مالَ أخيه بالباطل كأكل مال نفسه بالباطل ، وكثيرا ما يرد في القرآن هذا التعبير حتى يشعرنا الله بأن الناس كلهم اخوان..................... وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الحكام } : تلقوا بأموالكم الى الحكام ليُحكَم لكم بما حرام وتنتزعوا مال اخوانكم بشهادة باطلة أو بينة كاذبة ، أو رشوة خبيثة ، وأنتم تعلمون ان هذا ليس بمالكم ، وأنكم انما ترتكبون معصية بشعة .
ويدخل تحت قوله تعالى « بالباطل » كل كسب حرام[3] .

            Dalam Tafsir Al-Qaththan dijelaskan, tujuan ayat diatas adalah larangan bagi umat manusia makan harta orang lain dengan jalan batil, perbuatan tersebut disamakan dengan memakan hartanya sendiri dengan batil, semua cara yang di haramkan. Dalam kitab Tafsir Al-Maraghi bathil ditafsirkan dengan mengambil atau menguasai dengan cara tanpa imbalan sesuatu yang hakiki.[4]
            Sebuah contoh perbuatan bathil adalah melegalkan kepemilikan harta kepada hakim dengan sumpah palsu, saksi pembohong, dan suap. Yang menjadi titk tekan dalam surat Al-Baqarah diatas adalah penguasaan harta/pelegalan kepemilikan harta yang sejatinya ia  mengetahui harta tersebut bukanlah miliknya serta pelegalan dengan cara-cara yang kotor.   

 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.(An-Nisa’:58)
Asbab al-Nuzul ayat diatas adalah permintaan Nabi akan kunci ka’bah yang berkeinginan ubuk masuk ka’bah, kunci tersebut dipegang oleh Usmant bin Thalhah. Peristiwa ini terjadi setelah perang tabuk.[5]
Dalam kitab Tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa amanah terbagi dalam tiga bentuk, yakni amanah al-‘abdi ma’a rabbi, amanah al-abdi ma’a al-nas dan amanah al-insan ma’a nafsihi. Dalam kaitannya dengan tema korupsi, maka amanah yang menjadi pembahasan adalah amanah al-abdi ma’a al-nas, amanah yang diperoleh seorang hamba dari manusia lainnya. Amanah menjadi jaminan terpeliharanya keselamatan hubungan social kemasyarakatan dan kenegaraan.
Amanat  dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan  yang  dituntut  ini bukan  hanya  terhadap  kelompok,  golongan,  atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh  makhluk. Ayat-ayat  Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang  hampir saja   menyalahkan  seorang  Yahudi  karena  terpengaruh  oleh pembelaan keluarga seorang pencuri.
Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang  khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105).
2.      Gambaran Umum
Korupsi corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), menurut transparency Internasional adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Korupsi menurut prespektif hukum komisi pemberantas korupsi(KPK)[6] adalah suatu perbuatan yang tercakup dalam 13 buah pasal dalam UU No 31 Tahun 1999 jo.UU No 20 Tahun 2001. 13 buah pasal tersebut merumuskan 30 bentuk /jenis tindak pidana korupsi yang bisa di kelompokkansebagai berikut:
1.      kerugian keuangan Negara
- pasal 2 dan 3
2.      suap-menyuap
- pasal 5, pasal 12 huruf a-b-c-d, pasal 6, pasal 11 dan pasal 13.
3.      penggelapan dalam jabatan
- pasal 8, 9 dan 10
4.      pemerasan
- pasal 12 e-g-f.
5.      perbuatan curang
- pasal 7 dan pasal 12 h.
6.      benturan kepentingan dalam pengadaan
- pasal 12 i.
7.      gratifikasi
- pasal 12B jo. Dan pasal 12 c.

Analisa
Korupsi dalam gambaran umum (secara empiris juga demikian, semisal para mahasiswa hukum ditanya tentang apa itu korupsi, mereka tidak sanggup mendefinisikan korupsi secara gamblang, mereka hanya bisa memberikan gambaran perbuatan yang tergolong korupsi) diatas sangatlah luas pengertiannya, tidak ada spesifikasi perbuatan itu sendiri, yang ada hanya sebuah perumpamaan atau gambaran dari sebuah peristiwa yang bisa dimasukkan pada ketegori korupsi. Jika kita melihat sejarah perundang-undangan tentang korupsi, perumusan tentang perbuatan mengalami perubahan dan perbaikan, undang-undang tentang korupsi pertama kali adalah No 24 Tahun 1960 kemudian berangsur mengalami perubahan: No 3 Tahun 1971,  No 31 Tahun 1999, No 20 Tahun2001 dan yang terakhir adalah Undang-Undang No 30 Tahun 2002.
Dengan demikian, korupsi memang penyakit masyarakat yang akut serta telah merasuki jiwa para pemimpin Bangsa ini, meluasnya kejahatan korupsi telah terjadi sejak orde lama sampai sekarang sehingga perubahan KUHP/ peraturan korupsi selalu dirubah guna menjunakkan penyakit tersebut. Salah satu perbuatan yang tergolong korupsi adalah suap.
Menurut Ibnu Abidin: Suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainya supaya orang itu memutuskan sesuatu hal yang memihak kepadanya atau agar ia memperoleh keinginanya[7]. Sedangkan suap menurut perundang-undangan Negara adalah semua kegiatan atau peristiwa kejadian yang tercakup dalam pasal 5, pasal 12 huruf a-b-c-d, pasal 6, pasal 11 dan pasal 13. Salah satu rumusan suap tergolong korupsi pada pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001[8], untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini adalah:
a)   pegawai negeri atau penyelenggara Negara
b)   menerima hadiah atau janji
c)                  diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
d)                 patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001 juga mengatur hukuman bagi yang terjerat yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliyar.
Allah berfirman  dalam surat Al-Baqarah:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Suap tergolong perbuatan yang bathil, MUI dalam menyikapi suap atau korupsi hanya mengambil sikap pengharaman tidak dalam wilayah hukuman atau pidana, MUI menyerahkan hukuman bagi koruptor kepada pemerintahan dan mengajak pemerintahan dan masyarakat memberantasnya. Ini berdasarkan sebuah riwayat Abu Huriarah yang menceritakan bahwasannya Rasul pada masalah ini tidak menyebutkan hukuman pidana yang melakukan penggelapan, sogokan atau korupsi. Hanya menceritakan hukuman di akhirat belaka.
Oleh karena itu, MUI menyerahkan hukumannya kepada ulil amri (pemerintah), yaitu ta’zir yang berat dan tindaknya hukuman berdasarkan ijtihad, yaitu peraturan perundang-undangan. Di sini memerlukan ketetapan ijtihad para ulama yang lebih menukik pada penegakan keadilan, yaitu kekayaan apapun milik negara yang diperuntukkan untuk kepentingan rakyat harus dipelihara dengan prinsip hifzh mal harus ditegakkan, maka hukuman yang keras harus ditegakkan agar menjerakan[9].
Pendapat diatas senafas dengan pendapatnya Duski Ibrahim yang menyatakan bahwa qishash jelas tidak bisa diberlakukan begitu juga hudud sekalipun pencurian termasuk tindak pidana korupsi namun melihat tindak korupsi dalam pasal hukum Negara bukan hanya sekedar melakukan pencurian tetapi lebih dari itu, yakni tindak penyelewengan  dan menyalahgunakan dana, sehingga merugikan Negara dan orang banyak. Oleh karena itu, sanksi hukum yang dapat dikenakan adalah ta’zir, yang mana dalam pelaksanaannya bisa melebihi hudud dan qishash sesuai dengan pertimbangan hakim.[10]
Jadi apa yang dirumuskan oleh undang-undang Negara ini sudah senafas dengan Al-Quran dan Hadis Nabi yang mana memberikan hukuman bagi koruptor sebatas hukuman ukhrawi, pidana pada pasal Pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001 oleh pemakalah sudah dianggap cukup dalam menyikapi hukuman pidana bagi koruptor, yang menjadi masalah sekarang adalah penerapan pidana tersebut yang perlu kita cermati. Persoalan di Indonesia, tampaknya bukan pada tataran hukum, tetapi pada tataran implementasi hukum itu sendiri, sehingga korupsi tidak bisa dihilangkan atau minimal ditekan. Nilai-nilai universal Alquran dan sunnah memang memberikan perspektif preventif terhadap pelaku kejahatan yang intinya ialah sebagai upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara akal, Islam bersifat lebih preventif dalam menentukan hukuman-hukuman bagi pelaku kejahatan.
Namun ada factor yang tidak kalah penting dalam pemberantasan korupsi selain implementasi hokum yaitu moral dan hati nurani yang antikorupsi,  factor ini sangat penting, baik tatkala implementasi hokum berjalan dengan baik ataupun tidak. Nabi bersabda:

الا وانّ الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كلّه واذا فسدت فسد الجسد كلّه الا وهي القلب(رواه البخاري و مسلم)

Sebuah factor yang sangat penting dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi budaya baru bagi pemimpin bangsa ini, karena sebaik-baiknya peraturan perundang-undangan sebuah Negara jika mental, moral serta hati nurani para pemimpin Negara ini adalah koruptor bisa dipastikan masalah ini tidak akan bisa diselesaikan meskipun ada seribu komisi pemberantas korupsi.

Penutup
Dari apa yang dipaparkan, kami dapat menyimpulkan apa yang dirumuskan oleh Undang-undang Negara tidaklah bertentangan, perumusan senafas dan bisa dikatakan juga melengkapi Al-Quran dan As-Sunnah. Sekarang yang menjadi tugas kita adalah memberantasnya dengan jalan mengawasi praktek hokum yang ada di Negara ini dan tidak lupa untuk menjaga mental, moral dan hati nurani antikorupsi.
Apapun itu bentuk korupsi wajib diberantas, jika tidak dengan perbuatan maka dengan lisan jika tidak dengan hati namun perlu diingat bahwasannya memberantas perbuatan mungkar dengan hati adalah selemah-lemahnya iman.

Daftar Pustaka
Al-Maraghi,Mustafa. Tafsir Al Maraghi. Edc Terj. Semarang:Toha Putra.1986

M.Abdurrahman.”wabah korupsi dan problematika hokum di Indonesia: prespektif islam dan hokum nasional” dalam  http://persis.or.id/?p=38 diakses pada tanggal 14 Maret 2009

 Ibrahim,Duski. “perumusan fikih antikorupsi” dalam “korupsi, hukum dan moralitas Agama:mewacanakan fikih antikorupsi”. Edt Suyitno.Yogyakarta:Gama Media.2006

http://www.hudzaifah.org/Article432.phtml diakses tanggal 14 Maret 2009
------------”memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi.”. Jakarta:KPK.2006

Shaleh dkk. “asbab al nuzul” Bandung:Diponegoro.2007
Tafsir Al-Qathan Juz I hlm 103 dalam software Maktabah Syamilah
Tafsir Ibn Katsir. Juz 1 hlm 521 dalam software Maktabah Syamilah



[1] Disusun oleh M.Achwan Baharuddin, guna memenuhi tugas Tafsir Ahkam yang diampu oleh Dr. Ahmad Baidlawi.S,Ag.M,Si dipresentasikan  pada tanggal 16 maret 2009
[2] Tafsir Ibn Katsir. Juz 1 hlm 521 dalam software Maktabah Syamilah
[3] Tafsir Al-Qathan Juz I hlm 103 dalam software Maktabah Syamilah
[4] Mustafa Al-Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Edc Terj. (Semarang:Toha Putra.1986) Juz II hlm 150
[5] Shaleh dkk. “asbab al nuzul” (Bandung:Diponegoro.2007) hlm 144
[6] ---------”memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi.”. ( Jakarta:KPK.2006) hlm 19
[7] http://www.hudzaifah.org/Article432.phtml
[8] Rumusan korupsi pada pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001 berasal dari pasal 419 angka 1 KUHP yang dirujuk dalam pasal 1 ayat (1) huruf c UU No 3 Tahun 1971 dan pasal 12 UU No 31 Tahun 1999.
[9] M.Abdurrahman.”wabah korupsi dan problematika hokum di Indonesia: prespektif islam dan hokum nasional” dalam  http://persis.or.id/?p=38
[10] Duski Ibrahim. “perumusan fikih antikorupsi” dalam “korupsi, hukum dan moralitas Agama:mewacanakan fikih antikorupsi”. Edt Suyitno.(Yogyakarta:Gama Media.2006) hlm 139