Jumat, 11 Agustus 2023

Part II (Catatan Bolang di Tana Toraja)

 Sambil menunggu pesawat yang delay lebih dari 60 menit. 

Kesempatan ini saya ingin menyampaikan mengenai “belajar moderasi beragama dari tana toraja”.

Tana Toraja mayoritas Non Muslim, menurut statistik, muslim berjumlah 11% dari total jumlah penduduk. Data Arsiparis menunjukkan bahwa tempat Ibadah pasca masa animisme-dinamisme adalah Masjid, kemudian Gereja. Itu menunjukkan bahwa Agama Kristen lebih diterima dan akomodatif terhadap warisan tradisi nenek moyangnya. 

Di Tana Toraja,  mereka mengikuti tiga hukum yang berlaku: Adat, Agama dan Konstitusi. Muslim dan non muslim hidup berdampingan dalam berbagai acara. Salah satu yang diungkapkan adalah acara kematian. Tana Toraja memiliki adat yang begitu kental terhadap peristiwa tersebut. Lihat tulisan part I. Keberagamaan mereka seperti secercah titik terang untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.

Umat Beragama: baik itu Islam maupun Kristen terbagi menjadi 2 kelompok besar: umat yang masih terikat adat dan tidak. Menurut Narsum yang juga sebagai ketua Hukum Adat, itu tidak dipermasalahkan. Kerukunan, kedamaian serta harmoni kehidupanlah yang menjadi argumen dasarnya.

Menurut hukum adat yang mereka sepakati, kematian sudah ada standard aturan agamanya masing-masing, sehingga upacara kematian meninggalkan acara adat diperbolehkan. 1 hukum adat yang tidak diperbolehkan untuk ditinggalkan adalah pernikahan. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam bagaimana pertemuan adat dan agama dalam prosesi pernikahan.

Kembali ke persoalan kematian. Umat Muslim yang masih terikat adat, dalam proses kematian juga mengenal 7, 41, 100 hari. Yang menarik, ketika yang mendapat Musibah umat muslim dan mengadakan acara tahlil, namun seluruh warga lintas agama akan turut hadir. Tidak hanya sekedar membantu.

Kehadiran tersebut, bagi mereka, ebagai simbol penghormatan secara sosial. Karena penyelenggara adalah umat Islam, maka pimpinan, hidangan dan segalanya akan disesuaikan dengan syariat agama islam. Begitu pula sebaliknya, jika yang terkena musibah non muslim, akan disesuaikan dengan aturan agamanya.

Bagaimana dengan hidangan halal-haram? Mereka sudah ada kesepakatan sosial bahwa hidangan akan disesuaikan dengan agama-agama yang dipeluk warganya. Sehingga tidak mungkin, umat muslim akan mendapatkan hidangan Babi, begitu pula non-muslim tidak akan menerima hidangan kerbau. Hewan yang dihormati oleh adat dan agama lainnya.

Nilai penuh kerukunan, penghormatan, kasih sayang dalam kehidupan rakyat tana toraja. Salah satu kepala lembang madandan, kec rantetayo mengatakan bahwa tana toraja dari leluhur sudah menerapkan nilai moderasi beragama sejak dari nenek moyang. Maka tidak heran, banyak masjid berdampingan atau berhadapan dengan gereja. Yang membangun masjid semua warga tanpa melihat agama yang dipeluk, begitu pula gereja. Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAKN Tana Toraja, Syukr Matasak, sebagai Co-Host KKN MB dalam sambutannya bahwa ketua pembangunan masjid raya tana toraja adalah Kristen. Menurutnya, salah satu faktor kerukunan umat beragama di tana toraja karena pembawa 2 agama besar yang masuk: Kristen dan Muslim adalah bersaudara dan 1 keluarga.

Lanjutnya,  tana toraja memiliki filosofi utama dan pertama dalam segala filosofi kehidupan: karapasan (harmoni). Karapasan sudah menyatu dalam kehidupan, sudah masuk relung kurikulum kehidupan antar warga. Masyarakat Tana Toraja secara filosofis, sudah mengaktualkan nilai falsafahnya dalam kehidupan sehari; menjaga kerukunan dan toleransi tanpa melihat agamanya. Demikian, tana toraja ketika kesini, tidak mengajari mereka moderasi beragama, tetapi kitalah yang belajar moderasi beragama kepada mereka.


Tana Toraja, 11 Agustus 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar