Rabu, 25 April 2018

ANALISIS WACANA AL-QUR'AN: Pemikiran al-Qur'an Nasr Hamid Abu Zaid



Oleh : Khoirul Mujib  
PENGANTAR

"Kapan pun,
pemikiran memang sebuah kekafiran. Ia diharamkan dan diperangi.
Bersama lalunya zaman, ia menjadi sebuah aliran:
bahkan keyakinan dan pembaharuan.
Di atasnya, kehidupan terus melaju setapak demi setapak
menuju muara."
-          Amin al-Khuli

Babak kedua (baca: masa pertengahan) dari dunia pemikiran Muslim telah menunjukkan betapa kuat peran dan pengaruh teks turats dalam pembangunan peradaban Arab-Islam. Walaupun demikian kita juga toidak dapat mengatakan bahwa teks adalah satu-satunya pengarah dan pencetak peradaban, sebab dialektika manusia dengan teks-lah yang banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan peradaban tersebut.
Pada saat itu, kegiatan keilmuan berjalan melalui sebuah lingkaran tak berujung yang kian lama kian membosankan, bahkan cenderung membahayakan. Pasalnya, kegiatan ini tidak mampu menampakkan perkembangan yang berarti. Kegiatan keilmuan hanya berkutat pada pengulangan-pengulangan karya-karya ulama klasik, dengan meyakini bahwa wacana keagamaan telah mencapai titik final yang tak perlu dipermasalahkan lagi. Dan hampir tidak ada karya genuin yang mampu dipersembahkan.
Kejayaan masa lalu yang terus dielu-elukan telah mengantarkan dunia pengetahuan Islam pada suatu masa di mana semua hal telah terkondisikan dalam norma dan nilai tertentu yang telah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat. Sehingga penyelewengan dari norma-norma tersebut dilihat sebagai sebuah ancaman, ancaman bagi stabilitas masyarakat atau hanya ancaman bagi status sosial dalam masyarakat.
Dalam kajiannya terhadap sistem nalar bangsa Arab, Muhammad Abid al-Jabiri menyatakan bahwa nalar yang telah menjadi kendali atas semua perbuatan manusia Arab bukanlah merupakan endapan karakter manusia Arab zaman lalu, melainkan hasil dari sebuah konstruksi yang dilakukan di era kodifikasi. Pada era tersebutlah semua hal ditentukan dan dibakukan.[1] Realitas yang digambarkan juga merupakan realitas yang adad pada saat kodifikasi tersebut.
Beberapa patah kata Amin al-Khuli di atas adalah sebuah gambaran yang mengerikan, di satu sisi, dan sekaligus menggembirakan, di sisi lainnya. Kenyataan itu tampak mengerikan lantaran penyiikapan umat, kaum cendikiawan khususnya, yang cenderung antipati terhadap adanya sebuah gerak perubahan. Namun demikian, sebuah harapan baru terbentang di saat percikan api perubahan itu, bersama perjalanan waktu, berubah menjadi sebuah lentera yang akan terangi jalan menuju sebuah perubahan.
Sebuah kisah tragis yang dialami Muhammad Ahmad Khalafullah - yang gagal dalam pengajuan karangan disertasinya yang berjudul "al-Fann al-Qasasi fi al-Qur’an" yang melihat kisah-kisah di dalam al-Qur’an tidak sebagai sebuah cerita faktual, melainkan hanya sebuah perumpamaan, peringatan, nasihat, dan petunjuk kegamaan[2] - adalah salah satu contoh dari sekian kasus tindakan represif pada munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam Islam. Sebelumnya, kita juga bisa menyaksikan kisah Ali abdul Razik, dengan al-Islam wa Ushul al-Hukm, dan Thaha Husain, dengan karyanya, Fi Syi’r al-Jahili.[3]
Begitupula dengan kisah Nasr Hamid Abu Zaid, dengan Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan) dan al-Imam al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisime, Arabisme), yang juga harus berhadapan dengan “para pembela tradisi” yang telah menetapkan cap kafir pada diri Abu Zaid, menceraikannya secara paksa dari istrinya, bahkan menghalalkan darahnya. Namun kita tidak akan berpanjang lebar dalam kisah ini, sebab itu sudah bukan sebuah rahasia atau kabar baru lagi bagi kita.
Sementara itu, kita patut berbahagia dengan hadirnya beberapa orang pendobrak tradisi tersebut yang telah berhasil mengalirkan kembali budaya wacana yang sempat menggenang dan berputar-putar dalam lingkaran repetisi yang tak produktif. Kendati mendapatkan kritik pedas, bahkan ancaman, pada awal kemunculannya, pemikiran-pemikiran baru ini secara berangsur telah mendapatkan tempat di hati para akademisi al-Qur’an kontemporer.
Dalam sebuah karyanya, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran), Abu zaid menyatakan bahwa realitas sejarah pemikiran kita tidak hanya menggambarkan kuatnya pengaruh teks terhadap bangunan peradaban Arab-Islam, melainkan juga menggambarkan pertarungan wacana pemikiran, oleh sejumlah aliran pemikiran, dengan berselimutkan kepentingan-kepentingan politik yang silih berganti memegang tampuk kekuasaan secara represif.
“Seringkali sikap-sikap menentang, khususnya dalamkancah pemikiran, disebabkan oleh kletidaktahun atau adanya proses-proses kekaburan yang tmbul dari anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran” identik dengan “apa yang adad di dalam kenyataan.” ….Hal semacam ini banyak terjadi pada pikiran masyarakat awam. Karena itu, reaksi mereka terhadap pemikran yang berlawanan, bahkan menyangkut hal sepele, sangatlah keras ibarat reaksi seorang dukun terhadap apap yang mereka anggap melawan “kesucian” yang menjadi landasan hidupnya. Hal ini adalah wajar dan bisa dimaklumi sehubungan dengan pikiran masyarakat awam. Namun, jika sikap itu menimpa kaum cendikiawan dan tokoh-tokoh kebudayaan dan pendidikan dari kalangan perguruan tinggi, maka ia merupakan pertanda krisis intelektual yang mendekati taraf memperihatinkan.”[4]
PEMBAHASAN

Dalam pembacaannya terhadap Rethinking Qur'an: Towards a Humanistic Hermeneutics, karya Abu Zaid, A. Rafiq mengkategorikan pemikiran Abu Zaid dalam dua kelompok besar: kajian yang berdimensi vertical (kajian tentang hubungan teks al-Qur'an dengan Sang Author) dan kajian yang berdimensi horizontal (kajian tentang dunia teks dan hubungannya dengan para pembaca).[5] Dan kajian ini kita ini akan kita lakukan berdasarkan klasifikasi tersebut.
Ketepatan klasifikasi ini bisa dibuktikan pada kandungan beberapa karya Abu Zaid, meskipun kita tidak bisa bersifat kaku dalam penentuannya. Sebab antara karya yang satu dengan yang lainnya terdapat keterkaitan satu sama lain yang menuntut adanya penjelasan. Misalnya pendapat Abu Zaid tentang Historisitas al-Qur'an yang telah disebutkan dalam bukunya Naqd al-Khitāb al-Dīnī kembali ia paparkan dalam bukunya Mafhūm al-Nās (Tektualitas al-Qur'an) demi menjelaskan posisi teks al-Qur'an secara lebih detail.
Sebagai langkah awal, demi tujuan mendapatkan pemahaman yang mendekati komprehensif, akan kami paparkan beberapa pemikiran Abu Zaid yang telah tertuang dalam beberpa karyanya. Dan sebagai tindak lanjut, akan kami paparkan lebih jauh langkah-langkah hermeneutis dalam proses pembacaan dan pemahaman teks-teks al-Qur'an.

I. Sebuah Bedah Pustaka    
Abu Zaid, begitu sapaan akrab pemikir kelahiran Thanta, Mesir 10 Juli 1943 ini, adalah seorang pemikir yang juga produktif dan banyak menuangkan gagasan-gagasan gemilangnya ke dalam beberapa karya ilmiah yang di antaranya akan disebutkan berikut. Sebagian dari karya-karyanyalah yang membuat para Ulama Mesir kebakaran jenggot dan tak segan-segan menetapkan cap kafir kepadanya. Karya tersebut adalah Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan) dan al-Imam al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisime, Arabisme). Berikut cuplikan beberapa karya Abu Zaid:

- Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan)
Dalam karyanya yang "kontroversial" ini, Abu Zaid menegaskan bahwa, selain posisinya sebagai kalam Allah, al-Qur'an sebuah produk budaya (muntaj al-Tsaqāfī) yang tidak berbeda dari teks-teks budaya lainnya. Namun lebih dari itu, al-Qur'an juga terbukti, dengan duo-gerak sentripetal dan sentrifugal, berperan sebagai produsen budaya (muntij al-Tsaqāfī).
Sepintas tampak inkonsistensi pemikiran Abu Zaid yang berusaha menyatukan sebab (muntij al-Tsaqāfī) dan akibat (muntaj al-Tsaqāfī) sekaligus dalam sesuatu, yakni al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an turun dalam dimensi ruang dan waktu yang menandakan keterlibatan di dalam dan keterpengaruhannya oleh dimensi kemanusiaan. Sementara itu, sejak pertama penurunannya, al-Qur'an juga telah menjadi pembentuk realitas baru.
Selain itu, ia menegaskan bahwa keberadaannya sebagai produk dan produsen budaya tidak kemudian menurunkan kualitasnya sebagai kalam Tuhan, sebab di sana teks al-Qur’an berperan secara aktif dan selektif. Ia hidup dan berdialektika dengan budaya setempat.

-  al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran)
Dalam karyanya ini, Abu Zaid membangun sebuah landasan tentang historisitas teks al-Qur’an, baik secara teologis, filosofis dan linguistik. Kajian tersebut dibahas dalam bab I buku ini. Pada tiga bab selanjutnya Abu Zaid memaparkan beberapa pembacaan ideologis-tendensius terhadap teks al-Qur’an serta memaparkan akar-akar pembacaan yang melalaikan konteks historis, kultural dan lingusitik teks tersebut.
Selain itu, buku al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran) ini juga membahas tentang konsep Ta’wil dan Majaz (metafora) di dalam al-Qur’an. Serta kajian tentang beberapa level konteks yang perlu diperhatikan saat melakukan pembacaan terhadap teks al-Qur’an, yang meliputi level konteks ekstrenal (interpersonal), level konteks intenal (relasi antar unsur), level konteks linguistik (komposisi kalimat) dan level pembacaan (penafsiran).[6]

- Isykāliyāt al-Qirā’ah wa Āliyyāt at-Ta’wil
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Mansur dan Khoiron Nahdliyyin dengan judul Hermenutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan (ICIP, Jakarta Selatan: 2004)
Dalam buku ini, Abu Zaid banyak mengulas tentang teks sebagai simbol (semiotika) serta perdebatan antara beberapa aliran teologis, kaum filsuf dan sufi dalam menyikapi simbol-simbol tersebut. Buku ini juga sedikit pemikiran beberapa pakar yang menjadi rujukan Abu Zaid, seperti Abdul Qahir al-Jurjani, dengan teori al-Nadzm-nya. Serta paparan tentang pembacaan atas pembacaan.

- al-Imam al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisime, Arabisme)
Buku ini adalah salah satu karya Abu Zaid yang dijadikan alasan bagi para tim penguji naskah Abu Zaid untuk pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Dalam buku ini, Abu Zaid melihat di balik sikpa moderat, eklektik dan Fanatisme al-Syafi’i kepada bangsa dan bahasa Arab, suku Quraisy khususnya. Di sini ia mensinyalir bahwa konsep otoritas as-Sunnah dan al-Ijma’ yang ditawarkan al-Syafi’I telah berkontribusi pada pengukuhan teks sebagai rujukan utama pembacaan al-Qur’an, di satu sisi, dan kebekuan intelektual Muslim, di sisi yang lain.
Abu Zaid membuktikan dugaan ini dengan fakta sejarah kedekatan al-Syafi’I dengan dinasti Umaiyah yang nota bene adalah bangsa Arab. Sementara pada pemerintah dinasti Abbasyiah, al-Syafi’I justru memperjauh posisi dan hijrah ke Baghdad yang masih dipimpin oleh seorang Gubenur berkebangsaan Arab.[7]

- Mafhūm al-Nās (Tektualitas al-Qur'an)
Setelah banyak memeparkan hubungan teks dengan Sang author, di satu sisi, dan para pembaca, di sisi lain, dalam buku ini Abu Zaid memfokuskan diri pada kajian teks dan seluk beluknya. Di awal buku ini, dia kembali menjelaskan posisi al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-Tsaqāfī)  dan produsen budaya (muntij al-Tsaqāfī). Dalam hal ini, Abu Zaid tampak ingin menegaskan sisi historisitas al-Qur’an. Sebagai pembuka ia memulai kajiannya dengan pembahasan proses penurunan wahyu serta kondisi penerima pertama.
Buku ini lebih merupakan seuah kritik terhadap pemahaman-pemahaman klasik dalam ulum al-Qur’an (studi al-Qur’an) yang meliputi konsep Asbāb al-Nuzūl, Makkī-Madānī, Nāsikh-Mansūkh, al-‘Ām dan al-Khās dan semacamnya. Misalnya kritiknya terhadap konsep penentuan ayat-ayat Makkī-Madānī.  Dalam kajian klasik, para pakar al-Qur’an cenderung memisahkan dimensi teks dari dimensi realitas (konteks historis) sehingga mereka akan menghadapi kebingungan saat akan menafsirkan huruf-huruf muqaththa’ah. Bila mereka mau sedikit memperlonggar sikap mereka itu, setidaknya mereka dapat mencari rujukan makna dari huruf-huruf tersebut dalam konteks historis ayat bersangkutan dan terhindar dari penentuan muhkām dan mutsyābīh.[8]

- Rethinking Qur'an: Towards a Humanistic Hermeneutics
Sebagaimana yang dikatakan A. Rafiq di atas, kajian-kajian Abu Zaid dilanjutkan dengan kajian horizontal yang membahas posisi al-Qur’an dalam hubungannya dengan para pembaca. Buku yang merupakan kumpulan pidato Abu Zaid pada acara pengukuhan dirinya sebagai ketua lembaga Ibn Rushd og Humanism and Islam di University of Huanitics, Utrecht, Belanda ini adalah salah satu karyanya yang fokus dalam kajian horizontal tersebut.[9]
Dalam buku ini, Abu Zaid menegaskan bahwa teks al-Qur’an adalah sebuah wacana (diskursus) yang terus hidup dan berdialektika dengan para pembacanya (the spoken). Ia membedakan teks sebagai wacana dan teks sebagai mushaf yang cenderung diam (the silent) mati dan terkungkung dalam struktur kebahasaannya saja. Hal ini merujuk pada kisah pertempuran antara pihak Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah ibn abi Sufyan yang berakhir dengan jalan arbitrase (tahkim) lantaran Mu’awiyah mengangkat mushaf dengan hunusan pedang menjelang kekalahannya. Di sini kepentingan politik Mu’awiyah menjadi juru bicara mushaf  yang diam itu.
Dalam buku ini, Abu Zaid juga memaparkan beberapa gaya tutur al-Qur’an (polyphonic) yang secara umum meliputi gaya tutur Tuhan tentang dirinya, dialog dan negosiasi.[10] Lebih lanjut, dalam buku ini, Abu Zaid juga mengajak para pembaca untuk mengadakan dekonstruksi syari’ah serta pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.

       * * * *

Demikian cuplikan beberapa karya Abu Zaid berkenaan dengan pemikirannya dalam bidang al-Qur’an dan penafsirannya. Dalam pemikirannya ini, Abu Zaid banyak dipengaruhi oleh para pemikir sebelumnya, baik dari kalangan pemikir Muslim ataupun pemikir hermeneutika barat. Namun kita akan kesulitan untuk menentukan secara pasti di mana letak keterpengaruhannya tersebut. Sebab, diakui oleh Abu Zaid bahwa dirinya tidak suka menjelaskan tentang asal-usul pemikirannya sebab semuanya telah berbaur dalam atu pikirannya. Dan ia tidak mau menyelipkan pendapat pribadinya, dan mencari penguatan, pada pendapat para gurunya tersebut.    
II. Analisis Wacana Al-Qur’an
Abu Zayd menganggap fenomena wahyu keagamaan sebagai bagian dari budaya di tempat ia muncul.[11]Abu Zaid sendiri merasa perlu memberikan penjelasan baru atas proses pewahyuan al-Qur'an dengan meminjam teori komunikasi Roman Jakobson, meski tidak sama persis. Menurut Abu Zaid, proses pewahyuan tidak lain adalah sebuah tindak komunikasi yang secara natural terdiri dari pembicara, yaitu Allah, penerima, yakni Muhammad, sebuah kode komunikasi, yakni bahasa Arab, dan sebuah Canel, yaitu Ruh Suci (Jibril)[12]. Konsep wahyu menurut Abu Zaid tampak seperti ini;
                                 Konteks
Pembicara (Allah)                   Pesan (Qur'an)                  Penerima (Muhammad)
Canel (Malaikat Jibril)
Kode (Bahasa Arab)

Dari konsep wahyu di atas, terlihat jelas bahwa Abu Zaid tidak mengingkari bahwa Allah-lah sang pengirim pesan (Author). Namun ia lebih fokus pada teks al-Qur'an yang ada pada kita. Menurutnya, pembahasan tentang aspek metafisik proses turunnya wahyu dari pembicara (Allah) berada di luar jangkauan manusia, dan dapat menjerumuskan kita pada pembahasan yang mitologis. Abu Zaid sendiri menolak arguman yang menyatakan bahwa al-Qur'an diturunkan serentak dari Lauh al-Mahfud ke langit dunia, dan dari sana ia diturunkan secara gradual kepada Nabi Muhammad berdasarkan situasi-situasi tertentu.
Dari momen bahwa teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia tertransformasi dari sebuah teks ilahi menjadi sebuah teks manusiawi, karena ia berubah dari wahyu menjadi interpretasi. Pemaknaan Muhammad atas teks merepresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan pemikiran manusia. Menurut Abu Zaid, realitas adalah dasar, dari realitas dibentuklah teks al-Qur'an, dan dari bahasa dan budayanya terbentuklah konsepsi-konsepsi, dan di tengah pergerakannya dengan interaksi manusia, terbaharuilah maknanya.
Pandangan di atas mengantarkan Abu Zaid pada kesimpulan bahwa al-Qur'an adalah "produk budaya", yakni bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ke tujuh selama lebih dari dua puluh dua tahun, dan ditulis berpijak pada aturan budaya tersebut, yang di dalamnya bahasa merupakan sistem pemaknaannya yang sentral.

Tekstualitas al-Qur'an
Abu Zayd mambagi teks menjadi dua, yakni teks primer dan teks sekunder. Teks primer adalah al-Qur'an, sedangkan teks sekunder adalah Sunnah Nabi, yaitu komentar tentang teks primer. Abu Zayd mengklasifikasikan teks-teks keagamaan yang diproduksi oleh para sahabat dan ulama sebagai teks-teks sekunder lainnya yang merupakan interpretasi atas teks primer dan sekunder. Oleh karena itu, teks-teks sekunder hanyalah interpretasi-interpretasi atas teks primer. Tekstualitas al-Qur'an mengarahkan pemahaman dan penafsiran seseorang atas pesan-pesan al-Qur'an.
Tekstualitas al-Qur'an meniscayakan penggunaan perangkat-perangkat ilmiah, yakni studi-studi tekstual modern. Pengabaian atas aspek tekstualitas al-Qur'an ini menurut Abu Zayd akan mengarah pada pembakuan makna pesan dan kepada pemahaman mitologis atas teks.
Menurut Abu Zayd, tekstualitas al-Qur'an, seperti terekspresikan dalam al-Qur'an itu sendiri, berkaitan dengan tiga hal berikut: Pertama kata wahyu dalam al-Qur'an secara semantik setara dengan kalam Allah dan al-Qur'an adalah sebuah pesan. Sebagai perkataan dan pesan, Qur'an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah "teks". Kedua, urutan tekstual surat dan ayat dalam teks al-Qur'an tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis pewahyuan merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang ada seperti saat ini merefleksikan tekstualitasnya. Sebuah genre spesifik dalam ilmu-ilmu al-Qur'an, yakni munasabah ayat-ayat al-Qur'an telah diciptakan untuk menyediakan sebuah interaksi aktif antara penafsir dengan teks, karena dalam korelasi ini tersimpan kemungkinan yang bisa terungkap dalam proses pembacaan. Ketiga, Qur'an terdiri atas ayat-ayat muhkamat, yang merupakan induk teks, dan ayat-ayat mutasyabihat, yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamat. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang pembaca untuk menentukan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah kunci untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat.

Problematika Konteks
                 Sebagai konsekwensi turunan dari pendapatnya bahwa al-Qur'an adalah produk budaya, menurut Abu Zaid, memahami al-Qur'an dapat menggunakan analisis linguistik dan analisis wacana, sebagaimana teks pada umumnya.
Dalam hal ini, Abu Zaid menjelaskan bahwa terdapat empat (4) level konteks yang perlu diperhatikan oleh pembaca saat berhadapan dengan teks. Keempat level tersebut adalah level konteks ekstrenal dan interpersonal, level konteks internal (relasi antar unsur), level konteks linguistik (komposisi kalimat) dan level pembacaan (penafsiran).
Konteks eksternal di sini dimaksudkan untuk menyebut tiga macam konteks, yaitu konteks epistemologis dan ideologis sebuah teks, hubungan antara author-teks-penerima, serta hubungan teks al-Qur'an dengan teks-teks yang ada di sekitarnya. Macam ketiga dari level pertama ini tidak akan disebutkan di sini mengingat tidak adanya urgensi dalam penyebutannya.
Dimensi epistemologis dari sebuah teks adalah kesadaran masyarakat secara umum, terlepas dari perbedaan antara kelompok yang disebabkan perbedaan status sosial mereka. Sedangkan dimensi ideologis dari sebuah teks mencerminkan urat saraf dari pesan yang disampaikan. dengan kata lain, dimensi epistemologis adalah sesuatu yang memungkinkan terjadinya sebuah komunikasi, sementara dimensi ideologis lebih mengarah pada isi pesan yang disampaikan dalam proses komuinikasi terebut. Dengan demikian, dimensi epistemologis dapat dilihat pada struktur bahasa, sementara dimensi ideologis dapat dilihat dalam struktur teks.[13]
Sementara itu, Abu Zaid juga menekankan adanya pembahasan yang mencakup keseluruhan unsur pembentuk wacana teks tersebut; author-teks-penerima. Ketimpangan dalam melihat ketiga unsur tersebut akan berakibat pada hilangnya salah satu dimensi pembentuk makna teks.
Konteks internal  yang dimaksudkan Abu Zaid adalah mencakup pembahasan susunan ayat dan surat dalam al-Qur'an (namun Abu Zaid tidak akan membahas perdebatan apakah penentuan susunan tersebut adalah ketetapan Allah atau hasil ijtihad Ulama) serta variasi gaya tutur al-Qur'an, yang terkadang juga menimbulkan perbedaan penafsiran.
Pada tingkat pertama, proses diturunkannya al-Qur'an secara berangsur-angsur dalam rentang waktu 20 tahun lebih mengandaikan adanya perbedaan konteks yang melatarbelakangi turunnya masing-masing ayat. Begitu pula dengan variasi gaya tutur al-Qur'an yang memiliki konsekwensi makna tersendiri. Dalam hal seperti ini, kita tidak dapat bersikap seperti para sarjana al-Qur'an pada umumnya yang berinisiatif untuk menemukan titik temu dari masing-masing ayat, yang terkadang terlalu dipaksakan. Pengkajian terhadap al-Qur'an adalah pengkajian terhadap teks dan konteks yang melingkupinya.
Konteks linguistik adalah konteks yang langsung bersentuhan dengan makna gramatikal teks al-Qur'an. Dalam level ini pembaca dihadapkan pada taqdim-ta'khir, hadzf, idlmar dan sebagainya. Namun, bagi Abu Zaid pembacaan ini tidak cukup hanya pada kajian linguistik belaka. Pembaca diharapkan juga dapat menangkap makna tersembunyi dari sebuah teks (al-Maskut 'anhu).[14]
Konteks terakhir adalah konteks pembacaan atau penafsiran. Berkaitan dengan konteks eksternal tadi, terdapat dimensi ideologis yang tak jarang disispkan delam isi pesan teks. Di sini perlu disadari adanya pembacaan yang dilakukan oleh penutur. Pada saat ia bertutur, ia mengadakan pembacaan terhadap kata-kata yang akan ia keluarkan. Dalam hal ini ia melibatkan "pembaca imajiner", yaitu dirinya sendiri, dengan tujuan agar pesan yang ia maksudkan dapat diterima oleh pembaca asli.

Makna dan Maghza
               Mengulangi pendapat Abu Zaid di atas, teks al-Qur'an bukanlah sebuah korpus tertutup yang menutup kemungkinan adanya perbedaan pemahaman. Teks al-Qur'an bukanlah teks mati sebab ia adalah sebuah teks diskursus atau wacana yang terus menerus berdialektika dengan para pembacanya. Berkaitan pula dengan konteks eksternal historis yang melatar belakangi turunnya ayat al-Qur'an, Abu Zaid menggunakan istilah al-Ma'na (meaning) dan al-Maghza (significance) untuk membedakan makna-makna teks berdasarkan perubahan konteks historisnya. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah arti yang diambil secara langsung dari konteks historis terciptanya sebuah teks. Oleh karenanya yang pertama ini juga sering disebut sebagai makna asli (original meaninig). Dan makna ini telah membeku sehingga tidak akan mengalami perubahan.
   Sementara yang terakhir adalah arti yang diperoleh melalui pergesekan antara makna asli di atas dengan keseluruhan konteks yang mempengaruhi pembaca. Dengan pergesekan ini, sangat dimungkinkan lahirnya makna-makna baru yang lebih relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Inilah yang disebut dengan pembacaan yang produktif (al-Qira'ah al-Muntijah).
    Lebih jauh, Abu Zaid ingin menyampaikan bahwa penjagaan terhadap turats (tradisi) tidak hanya dilakukan dengan menghindarkan tradisi tersebut dari "ancaman" perubahan, dengan mensakralkannya dan menganggap pemaknaannya telah mencapai titik final. Penjagaan tradisi yang sejati adalah dengan cara mengkaji ulang makna tradisi tersebut dan kembali menerapkannya dalam menjawab tantangan zaman. Cara ini, menurut Abu Zaid, lebih menghormati teks turats daripada sekedar menjaganya.
Daftar Bacaan
1.       Nasr Hamid Abu Zaid, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran: edisi terjemah Indonesia oleh Sunarwoto Dema), LkiS, Yogyakarta 2003
2.        Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Nāshsh (Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an: edisi terjemah Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin) LKiS, Yogyakarta 2001.
3.       Nasr Hamid Abu Zaid, Isykāliyāt al-Qirā’ah wa Āliyyāt at-Ta’wil (Hermenutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan : edisi terjemah Indonesia oleh M. Mansur dan Khoiron Nahdliyyin, ICIP, Jakarta Selatan: 2004)
4.       Nasr Hamid Abu Zaid, al-Imam al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisime, Arabisme: edisi terjemah Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin LkiS, Yogyakarta 1997
5.       Hilman Latif dalam Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Elsaq Press, Yogyakarta 2003
6.       Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, ed. Studi al-Qur'an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
7.       A. Rafiq, Rethinking Qur'an: Membaca Qur'an di antara Teks dan Diskursus, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadits Vol. 6, No I/ Januari 2005
8.       Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, (Formasi Nalar Arab: Edisi Terjemah oleh Imam Khoiri), IRCiSod, Yogyakarta, 2003


[1] Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, (Formasi Nalar Arab: Edisi Terjemah oleh Imam Khoiri), IRCiSod, Yogyakarta, 2003 Halaman 98
[2] Penolakan itu juga berujung dengan larangan mengajar bagi khalafullah dan Amin al-Khuli, sebagai dosen pembimbingnya, khususnya di dalam bidang studi Islam. Selengkapnya, baca Hilman Latif dalam Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Elsaq Press, Yogyakarta 2003, Halaman 40-42.
[3] Ibid
[4]  Lihat al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran: edisi terjemah Indonesia oleh Sunarwoto Dema), LkiS, Yogyakarta  Halaman 85
[5] Lihat A. Rafiq, Rethinking Qur'an: Membaca Qur'an di antara Teks dan Diskursus, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadits Vol. 6, No I/ Januari 2005, Halaman 175
[6]  Op Cit, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah, Halaman 117
[7]  Berbeda dengan sikap para pendahulu dan sekaligus gurunya, imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang menolak tawaran pemerintah saat karya-karya beliau akan dijadikan sebagai rujukan utama dalam dunia pengetahuan Muslim
[8] Lihat Mafhūm al-Nāshsh (Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an: edisi terjemah Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin) LKiS, Yogyakarta 2001 Halaman 95
[9]  Op Cit, A. Rafiq, Rethinking….Halaman 174-175
[10]  Ibid, Halaman 176
[11]  Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, ed. Studi al-Qur'an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Halaman. 155.
[12]  Ibid. Halaman. 156-157.
[13] Op Cit, al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah, Halaman 120-121
[14]  Makna tersembunyi di sini bukanlah makna sisipan (fahwa al-khitab) seperti yang disebutkan oleh para pakar ushul al-Fiqh. Yang dimaksud di sini adalah makna yang dengan sengaja tidak disebutkan oleh penutur dengan alas an tertentu.

Habermas: sang pioner sosial


     
A.    PENDAHULUAN
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri?
Persoalan ‘metodologis’ dalam pemahaman sosial ini sesungguhnya terkait dengan perkembangan yang terjadi pada kajian-kajian tentang realitas sosialpolitik,di samping tuntutan pragmatis untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Dinamika masyarakat pada satu sisi menuntut adanya reorientasi dan restrukturisasi bangunan metodologis ilmu sosial, pada sisi lain kajian atas dasar sudut pandang baru menyajikan kekayaan analisis atas berbagai dimensi dan hubungan-hubungan sosial yang tak mampu diungkap melalui pendekatan sebelumnya.
Pergeseran pemahaman aspek ‘teoritis’ dan ‘praktis’ dari teori terjadi secara gradual. Akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut pada akhirnya membawa pada situasi ‘keberjarakan’ antara kajian politik klasik dengan realitas sosial dewasa ini. Pendekatan klasik terhadap politik menjadi sesuatu yang asing bagi kita. Politik dan perangkat teori sosial yang mendukungnya menjadi sesuatu yang ‘jauh’, karena kecenderungan yang kuat adanya penekanan pada aspek normatif, dan juga terjadi proses marginalisasi klaim-klaim pengetahuan yang mendasari putusan politik dengan menyatakannya sebagai jenis pengetahuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis. Akibatnya, bila dicermati perkembangan yang terjadi dewasa ini pada dunia ‘politik’, jarak kajian ilmiah terhadap ‘dunia praksis’ nampak menjadi semakin lebar.
Jürgen Habermas yang lahir pada tahun 1929 adalah pemikir kontemporer yang mencurahkan usahanya untuk menjawab persoalan-persoalan dasar di atas melalui dan berpijak dari suatu tradisi yang disebut Teori Kritis. Teori Kritis yang dipahami sebagai ‘teori sosial yang dikonsepsikan dengan intensi praktis’, merupakan buah pikiran yang muncul dari refleksi yang luas tentang hakikat pengetahuan, struktur penelitian sosial, dasar normatif interaksi sosial, dan tendensi-tendensi politis, ekonomis, dan sosio-kultural dari jaman ini.

      B.     BIOGRAFI SANG TOKOH
Jurgen Habermas adalah filsuf kontemporer yang paling terkenal di Jerman dan juga menghiasi panggung filsafat internasional. Ia dilahirkan pada 18 Juni 1929 di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan.
Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis disertasi doktor, ia menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama Heidegger Melawan Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca kehancuran akibat Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang diandalkan, jembatan antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi luhur filsafat Jerman. Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah, bagaimana dulu Heidegger menuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela Habermas, “bisa dipakai untuk apa-apa saja”.
Karya Habermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer—khususnya politik Jerman.
Sistem teoretis Habermas diabdikan untuk mengungkapkan kemungkinan nalar, emansipasi, dan komunikasi rasional-kritis --yang laten dalam institusi-institusi modern dan dalam kapasitas manusia-- untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dan mengejar kepentingan-kepentingan rasional.
Sampai kelulusannya dari gimnasium, Habermas tinggal di Gummersbach, dekat Cologne. Ayahnya, Ernst Habermas, adalah Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri Cologne. Jurgen Habermas belajar di Universitas Gottingen (1949/50), Zurich (1950/51), dan Bonn (1951-54) dan meraih doktor filsafat dari Bonn pada 1954, dengan disertasi berjudul das Absolute und die Geschichte. Von der Zwiepaltigkeit in Schellings Denken (Yang Absolut dan Sejarah: Tentang Kontradiksi dalam Pemikiran Schelling).
Dari tahun 1956 dan seterusnya, ia belajar filsafat dan sosiologi di bawah pengusung teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut untuk Riset Sosial di Johann Wolfgang Goethe University, Frankfurt am Main. Namun, kemudian terjadi perselisihan antara dua tokoh itu tentang disertasi Habermas.
Adorno yang bangga pada Habermas, relatif lebih bisa menerima disertasi Habermas. Namun, Horkheimer, yang menganggap Habermas terlalu radikal, menuntut revisi-revisi yang tak bisa diterima oleh Habermas. Adanya perselisihan itu, serta keyakinan Habermas bahwa Sekolah Frankfurt sudah lumpuh oleh skeptisisme politik dan kemuakan pada budaya modern, membuat Habermas memilih menyelesaikan habilitasi (disertasi pasca-doktoral) dalam ilmu politik di Universitas Marburg, di bawah bimbingan tokoh Marxis, Wolfgang Abendroth.
Karya habilitasi Habermas berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft (Transformasi Struktural Ranah Publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori Masyarakat Borjuis), yang terjemahan Inggrisnya terbit pada 1989.
Pada 1961, Habermas menjadi Privatdozent (dosen luar biasa) di Marburg, dan –dalam langkah yang amat tidak biasa bagi dunia akademis Jerman pada waktu itu—Habermas ditawari posisi “profesor luar biasa” ilmu filsafat di Universitas Heidelberg pada 1962. Tawaran itu ia terima. Pada 1964, Habermas dengan dukungan kuat dari Adorno, kembali ke Frankfurt untuk mengambil alih kursi Horkheimer dalam pengajaran filsafat dan sosiologi.
Habermas menerima posisi Direktur Institut Max Planck di Starnberg, dekat Munich, pada 1971, dan bekerja di sana sampai 1983, dua tahun setelah terbitnya karya utamanya, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif). Habermas lalu kembali ke kursinya di Frankfurt dan jabatan Direktur Institut Riset Sosial.
Sejak berhenti (pensiun) dari Frankfurt pada 1993, Habermas terus menerbitkan karyanya secara meluas. Pada 1986, ia menerima Penghargaan Gottfried Wilhelm Leibniz dari Deutsche Forschungsgemeinschaft, yang merupakan bentuk penghargaan tertinggi untuk riset di Jerman. Habermas juga memegang jabatan profesor “tamu permanen” di Northwestern University di Evanston, Illinois, dan “Profesor Theodor Heuss” di The New School, New York, Amerika.
Habermas mengunjungi Republik Rakyat Cina pada April 2001. Ia juga menjadi penerima Penghargaan Kyoto 2004 dalam bidang Seni dan Filsafat. Ia berkunjung ke San Diego, dan pada 5 Maret 2005 –sebagai bagian dari Simposium Kyoto yang diadakan oleh Universitas San Diego—memberikan ceramah berjudul “Peran Publik Agama dalam Konteks Sekuler.” Ceramah ini berkaitan dengan evolusi pemisahan Gereja dan Negara, dari netralitas ke sekularisme yang intens. Habermas menerima penghargaan Holberg International Memorial Prize pada 2005.

     C.    TEORI “LANGUAGE DAN COMMUNICATIVE ACTION” HABERMAS
c.1 Habermas versus Mazhab Frankfrut
Habermas bertolak dari Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang masuk dalam jajaran ‘mazhab Franfurt’,sebuah nama yang semula digunakan untuk menyebut sekelompok sarjana yang bekerja pada institute fur Sozialforschung (lembaga penelitian sosial) di Frankfrut am Main, yang mencapai puncaknya ketika Max Horkheimer menjadi direkturnya dengan ditandai bergabungnya teman dekatnya, seperti T.W Adorno, H. Marcues, Walter Benjamin dan lain sebagainya.[1]
  Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat. Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal. Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.
Dalam hal ini, Habermas melahirkan gagasan pembagian ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok. Pertama, ilmu empiris-analitis. System kerjanya mencari hokum-hukum pasti, bukan mengamati melainkan mengorganisir kesan yang Nampak secara indrawi dalam naungan kepentingan teknis yang diobjektifkan. Kedua, ilmu histori-hermeneutis. Keinginan memahami, dalam medium bahasa dan interaksi yang bertujuan menangkap makna. Ketiga, ilmu tindakan. Berusaha membantu manusia dalam tindakan bersama. Namun demikian, pemikiran Habermas pada dasarnya terletak atas distingsi ilmu empiris-analitis disatu pihak, dan ilmu kominikasi dipihak lain. Maka, lahirlah gagasan tentang paradigma “kerja” dan paradigma “komunikasi”[2]
c.2 Pemikiran Habermas
Pemikiran Habermas berangkat dari penemuannya tentang distingsi “praksis” tindakan manusia. Tindakan dalam arti yang mempengaruhi proses hidup manusia sebagai makhluk “yang berjenis”, sekaligus yang mempunyai cirri-ciri mendasar yang dapat berobservasi secara empiris.
Penemuan Habermas tentang dua dimensi praksis, kedua dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, yaitu dimensi “kerja” dan “interaksi” atau “komunikasi” yang dikukuhkan dalam penelitiannya tentang struktur social dengan membedakan dua tindakan social. Pertama. “tindakan rasional-bertujuan”, yang meraup dimensi kerja dan; kedua, “tindakan komunikatif”, yang bekerja pada dimensi interaksi.
“Tindakan rasional-bertujuan” itu mengandung sifat yang instrumental, dalam artian bahwa suatu tindakan yang sebetulnya sudah diarahkan oleh aturan tertentu, berdasarkan pengetahuan empiris, dengan cara-cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan, hal ini berlaku pada manusia yang berhubungan dengan alam, dalam artian subyek-objek. Serta mengandung sifat “strategis”, dalam artian sebuah kehendak tindakan yang sudah ditentukan dan tergantung pada pola-pola teori yang sudah dianggap pasti dan penilaiannya sudah ada kaidah-kaidahnya.
“tindakan komunikatif” diarahkan kepada tindakan komunikasi antar subjek-subjek yang disepakati bersama pada hubungan timbale balik, dalam bentuk norma-norma. Symbol-simbol yang dipahami terjadi lewat medium bahasa pergaulan, atau bahasa sehari-hari, karena dalam bahasa struktur pemahaman subjek yang berinteraksi, berkembang bebas dari tekanan atau dominasi.
Dalam tindakan komunikasi, jika manusia mampu sepakat dalam dunia alamiah (berhubungan dengan alam) dan dunia objektif (berhubungan dengan masyarakat), maka tercapailah ‘klaim kebenaran’(truth). Kemudian, dalam pelaksanaan norma-norma pada konteks dunia social-masyarakat, manusia dapat sepakat , maka tergapailah ‘klaim ketetapan’ (rightness). Selanjutnya, kesuaian antar dunia batiniah dengan ekspresi manusia, dimana keduanya berjalan seimbang, maka akan lahir ‘klaim autentisitas atau kejujuran’ (sincerety). Akhirnya, proses perjalanan unutuk menegejawantahkan macam-macam klaim itu, dimana manusia mampu mencapai kesepakatan dalam prosesnya, maka terwujudlah apa yang dinamakan ‘klaim komprehensibitas’ (comprehensibility).[3]
Pada kondisi semacam ini, Habermas lalu menawarkan gagasan tentang model “non-selektif” untuk mencerna masyarakat yang rasional. Non-selektif dalam arti, kehendak untuk mengembangkan masyarakat rasional secara keseluruhan yang mungkin dengan menyebarkan struktur-struktur kesadaran modern, dimana masyarakatnya sudah semakin rasional. Habermas kemudian mengembangkan teorinya dengan menghubungkan jaring-jaring relasi “pragmatis-formal” manusia, dalam arti berhubungan dengan dunia praksis tindakan manusia. Realitas praksis manusia itu adalah dunia objektif(kenyataan alam), dunia social dan dunia subjektif (diri sendiri). Dengan hadirnya ketiga dunia itu, manusia bisa mengembangkan tiga sikap atasnya, yaitu; sikap mengobjektifkan, sikap konformatif-norma (mengambil jarak untuk bersikap kritis) dan sikap ekspresif (kehendak untuk merealisasikan kritik dengan realitas praksis).[4]

             Dunia
Sikap dasar

Objektif

Social

Subjektif
Mengobjektifkan
Hubungan kognitif-intrumental
Hubungan kognitif-strategis
Hubg objektivitas dengan diri
Konformatif-Norma
Hubg estetis-moral dengan lingkungan yang tidak diobjektifkan
Hubungan kewajiban
Hubungan sensor diri
Ekspresif
Hubg estetis-moral dengan lingkungan yang tidak diobjektifkan
Pernyataan diri
Hubg spontan indrawi dengan diri
Akan tetapi, Habermas kemudian memperingatkan bahwa ada tiga kenyataan yang tidak bisa dirasioanalkan, dimana akan sulit mendapatkan pengetahuan yang sahih. Pertama, sikap menobjektifkan dalam dunia batin (subjektif) sejauh dalam dimensi subjektifitas. Kedua, sikap konfortimatif-norma dalam dunia objektif (alam) karena merupakan wilayah ilmu-ilmu alam dan filsafat alam, yang berusaha untuk mengalih-pindahkan sifat-sifat manusia kepada tubuh alam, sehingga akan sulit Untuk mengejar ketertinggalannya guna menyamai rekor kesuksesan yang ditorehkan oleh ilmu-ilmu alam kepada perkembangan sejarah manusia. Ketiga, sikap ekspresif terhadap dunia social-masyarakat, sebab sikap ekspresif dalam dunia social akan melahirkan konsekuensi pada kesemerawutan terhadap interaksi social, sehingga tidak akan mungkin dapat dirasionalkan.[5]
Bagi Habermas, ketika seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan, maka dia mengalami salah satu dari 3 relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu di dunia objektif (sebagai totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar. Kedua, dengan sesuatu di dunia sosial (sebagai totalitas hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim/sah). Ketiga, dengan sesuatu di dunia subjektif (sebagai totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya dimiliki si pembicara dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).[6]
Ucapan komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia. Tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan sesuatu di dunia namun merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain untuk menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan intersubjektif atas klaim validitas yang dikemukan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakal pendengar menerima kebenaran pernyataan namun pada saat yang sama juga meragukan kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan norma.
Proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah konfirmasi (pembuktian), pengubahan, penundaan sebagian, atau dipertanyakan secara keseluruhan. Proses defenisi dan redefinisi ini yang terus berlangsung ini meliputi korelasi isi dengan dunia (ditafsirkan secara konsensual dari dunia objektif, sebagai elemen privat dunia subjektif yang hanya bisa diakses oleh orang yang bersangkutan. Jadi komunikasi terbentuk dalam situasi intersubjektif, dimana “situasi” tidak didefinisikan secara kaku, tapi diselami konteks-konteks relevansinya,
Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan tercapainya kesepakatan. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karena itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan secara salah (resiko kegagalan).
      D.    Penutup
Perkembangan masyarakat dari masa ke masa dengan di iringi oleh perkembangan keilmuan serta paradigma yang ada di tengah-tengah masyarakat sehingga membutuhkan pembaharuan ulang atas konsep-konsep ataupun teori-teori yang ada. Hal ini terlihat dari usaha Habermas dalam melahirkan teori komunikatif yang sudah berkembang dengan tawaran teori baru.
Habermas mencoba memberikan hal yang praksis dalam melihat masyarakat modern yang mana hal tersebut belum diakomodir oleh teori-teori yang ada, dalam hal ini teori-teori yang di kembangkan oleh mazhab Frankfrut dengan tokoh Adorno dan kawan-kawan.



[1] Sindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern Oleh Max Hokheimer dalam Rangka Sekolah Frankfrut (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm 20-25
[2] F.M Suseno, “kata Pengantar” dalam Habermas, Ilmu dan Teknologi  terj Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990)  hlm. Xix-xx
[3] Fransico Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. xxii
[4] Fransico Budi hardiman, Kritik Ideology:Pertautan Pengetahuan dan kepentingan. (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 93
[5] Ahmad Jauhari, Memahami Rasio Komunikatif Jurgen Habermas (Yogyakarta: UIN-Sunan Kalijaga,Fakultas Ushuluddin, 2004), hlm. 149.