Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 April 2019

Larangan Menunda Membayar Hutang Bagi Yang Sudah Mampu Membayarnya Dalam Perspektif Hadis Nabi


A. Pengantar
Bagaimana sebenarnya Islam memandang orang yang mempunyai sikap menunda-nunda membayar hutang. Dalam kajian yang singkat ini, penulis akan melihat permasalahan ini dengan perspektif hadis Nabi dalam shahih Bukhari, Bab Bab al-hawalah no. 2125
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Abi Zinaj dari al-A’raj dari Abu Hurairah R.A, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “menunda-nunda hutang bagi orang kaya adalah kedhaliman, apabila hutang itu dialihkan kepada orang yang mampu, hendaklah (pemberi hutang) mengalihkannya”.

Dalam kajian singkat ini, penulis mencoba untuk mengkaji hadis diatas dalam ranah kritik matan. sebuah studi untuk memastikan otentisitas hadis Nabi perspektif Matan, bukan sanad, bukan juga bagaimana pemahaman ajaran yang terkandung dalam hadis di atas. 
B. Pembahasan

Beberapa ulama hadis sudah memberikan tolak ukur yang dapat digunakan untuk menilai kesahihan suatau matan hadis.  Salah satu lama yang mempunyai konsep diterimanya suatu matan hadis adalah Salahuddin al-Adlabi. Menurut beliau syarat diterimanya suatu matan hadis, apabila :
a.       Tidak bertentangan dengan petunuk al-Qur’an
b.      Tidak bertetangan dengan sirah Nabi atau hadis yang lain
c.       Tidak bertentangan dengan indera, akal sehat dan fakta sejarah.
d.      Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Tolak ukur yang pertama adalah tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an. Hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Abu Hurairah yang berisi larangan menunda-nunda membayar hutang bagi orang yang sudah mampu membayarnya dan diperbolehkannya memindahkan hutang kepada orang lain, adalah suatu hadis yang secara tidak langsung mengajarkan kepada kita agar tida berbuat sewenamg-wenang kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-maidah ayat pertama
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu . dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
                Perjanjian disini selain perjanjian antara manusia dengan Allah, juga perjanjian antara manusia dengan sesama manusia. Dalam konteks hadist ini, adalah perjanjian untuk melunasi hutang apabila sudah jatuh tempo. Maka bagi orang yang sudah ada kemampuan untuk membayar hutang, hendaklah dia segera melunasi hutangnya tersebut. Karena apabila ada orang yang sudah mampu membayar hutang, akan tetapi dia masih saja menunda untuk membayar, tentu akan membuat si pemberi hutang sakit hati. Padahal membuat orang lain susah adalah sesuatu yang sangat dilarang oleh agama. Dalam hal ini Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 56 berfirman
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
            Dalam tafsirnya, imam al-Alusi menafsirkan dalam tafsirnya sebagai berikut
{ وَلاَ تُفْسِدُواْ فِى الارض } نهى عن سائر أنواع الافساد كإفساد النفوس والأموال والأنساب والعقول
            Artinya membuat kerusakan terhadap harta orang lain adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Perlindungan harta benda juga menjadi salah satu dari maqashid al-syari’ah. Sehingga dalam konteks ini menunda membayar hutang bagi orang yang sudah mampu untuk membayarnya adalah sesuatu yang wajib, dan apabila menundanya dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk mengulur-ngulur waktu, maka menurut penulis termasuk perbuatan berdosa
                Tolak ukur yang kedua adalah tidak bertentangan dengan sirah nabawi atau hadis lain. Sejarah pernah mencatat sebagaimana terdokumentasi dalam sunan Ahmad juz III / 330. bahwa Rasulullah pernah hendak mensholati suatu jenazah, namun beliau batal untul mensholati jenazah tersebut, karena si jenazah masih mempunyai hutang terhadap orang lain, Rasulullah mau mansholati jenazah tersebut setelah bu Qatadah mau menanggung hutang si mayit. Setiap kali Rasulullah bertemu dengan Abu Qatadah, Rasulullah pasti bertanya, apakah hutang si mayit telah dilunasi ? sampai pada suatu kesempatan Abu Qatadah menjawab, bahwa hutang si mayit telah dilunasi. Mendengar jawaban itu Rasulullah bersabda “sekarang sudah segar kulitnya”. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhori hadist nomer 789 diceritakan Dari 'Aisyah r.a. isteri Nabi saw, bahwa Rasulullah saw. sering berdo'a dalam shalat, "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku juga berlindung kepada-Mu dari kejahatan Dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan lilitan hutang." Ada seorang yang bertanya kepada beliau, "Mengapa Anda sering kali berlindung kepada Allah dari lilitan hutang?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya apabila seseorang terlilit hutang, maka bila berbicara ia akan berdusta dan bila berjanji ia akan pungkiri," [1].
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim hadis nomer 3497 diceritakan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw. berdiri di hadapan mereka dan berbicara, "Sesungguhnya jihad fi sabilillah dan iman kepada Allah adalah amal yang paling utama." Bangkitlah seorang laki-laki dan berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu bila kau gugur fi sabilillah apakah dosa-dosaku akan terhapus?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya, asalkan engkau gugur fi sabilillah sedang engkau sabar dan mengharap pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri." Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Apa yang engkau katakan tadi?" Ia mengulanginya, "Bagaimana menurutmu bila aku gugur fi sabilillah apakah dosa-dosaku akan terhapus?" Rasulullah menjawab, "Ya, asalkan engkau gugur fi sabilillah sedang engkau sabar dan mengharap pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri kecuali hutang. Sesungguhnya begitulah Malaikat Jibril menyampaikannya kepadaku tadi," [2]. Diriwayatkan oleh imam Abu Dawud, Rasulullah bersabda “sesungguhny dosa yang berat di sisi Allah sesudah dosa besar adalah laki-laki yang mati yang masih mempunyai tanggungan hutang
Dalam hadis lain yang diiwayatkan oleh Abu Dawud (3144), an-Nasa’I (4610,4611), Ibnu Majah (2418), Ahmad (17267, 18637, 18644) Rasulullah bersabda

3144 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ وَبْرِ بْنِ أَبِي دُلَيْلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ يُحِلُّ عِرْضُهُ يُغَلَّظُ لَهُ وَعُقُوبَتَهُ يُحْبَسُ لَهُ
[menunda bagi orang yang mampu adalah kezaliman, ia halal kehormatannya dan dihukum
            Dari hadis di atas penulis menyimpulkan bahwa orang menunda membayar hutang sampai si penghutang meninggal dunia adalah dosa yang berat tanggungannya di akhirat. Bahkan karena besarnya dosa penunggak hutang pahala jihad fi sabilillahpun tidak dapat menutupinya. Ini adalah bagi mereka yang menunggak untuk membayar hutang bagi orang yang tidak mampu. Sementara bagi orang mampu untuk membayarnya dan menunda untuk membayarnya merupakan sesuatu tindakan pidana. Oleh karena itu, orang tersebut bisa diajukan ke pengadilan agar orang tersebut merasakan akibat perbuatannya tersebut. Hukuman pidana ini adalah hukuman di dunia. Apabila sampai meninggal dunia dia masih belum melunas hutangnya, maka azab Allah tentu telah menunggunya.
            Tolak ukur yang ketiga adalah tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indera dan fakta sejarah. Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. Hutang adalah suatu cara untuk memnuhi kebutuhan hidup. Pada daasarnya hutang berhukum mubah, namun dalam keadaan tertentu hukumnya bisa berubah sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi. Meskipun hutang adalah akad yang diperbolehkan oleh Islam, namun Rasulullah sebagai teladan umat Islam sangat tidak menganjurkan untuk berhutang. Hal ini beliau buktikan dalam do’a beliau yang meminta perlindungan kepada Allah agar terhindar dari hutang. Untuk konteks saat ini mungkin hutang adalah hal yang biasa bagi sebagian golongan masyarakat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan barang sekunder bahkan tersier mereka melakukannya dengan akad hutang. Apabila akad hutang dilakukan dengan sebuah lembaga keuangan, maka permasalahan pengembalian hutang bukanlah sesuatu yang sulit. Artinya apabila pihak yang mengutang tidak tepat waktu dalam mengembalikan pinjaman, maka lembaga keuangan bisa melakukan sita terhadap aset orang yang berhutang.
 Permasalan hutang menjadi sangat rumit apabila hanya melibatkan antar personal. karena kalau diantara kedua pihak itu mempunyai hubungan personal yang baik, maka apabila pihak penghutang tidak tepat waktu dalam membayar hutang, biasanya sipemberi hutang akan merasa segan untuk menagih hutang. Hadis di atas bisa meenjadi peringatan bagi mereka yang melakukan akad hutang dengan prang lain agar tidak bermain-main dengan hutang dengan jalan menunda-nunda untuk membayar hutangnya padahal mempnyai kemampuan untuk membayarnya. Hadis riwayat imam Bukhori dari Abu Hurairah telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak orang lain berkaitan dengan harta benda. Tidak seorangpun di dunia ini yang ingin dianiaya oleh orang lain, dan hadis di atas telah memberikan jaminan kepada kita bahwa Islam melindungi kita dari sikap zalim yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Selain itu hadis di atas telah mengajarkan kepada kita tentang prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
Hadis riwayat imam Bukhari dari Abu Hurairah inisarat dengan muatan edukatif dan masih layak untuk terus diamalkan oleh masyarakat yang hidup pada abad modern. Hal ini karena hampir sebagian besar umat Islam dalam memnuhi kebutuhan hidupnya dilakukan dengan jalan hutang. Ditambah dengan semakin mudahnya akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan hutang dari lembaga keuamgan, baik itu Bank, koperasi, bahkan tidak sedikit toko, swalayan, dealer kendaraan bermotor atau dealer barang elektronik yang menjual barang-barangnya dengan jalan hutang (kredit). Hadis-hadis yang tercantum di atas bisa menjadi filter bagi masyarakat agar tidak memnuhi keinginannya dengan jalan hutang, karena terlalu berat ancamannya apabila tidak bisa melunasinya,
            Tolak ukur yang keempat adalah, hadis tersebut menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Apabila kita perhatikan hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah di atas sudah menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian. Hal ini bisa dilihat dari kesederhanaan redaksi matannya, serta kandungan hadis yang masih sangat bisa diterma oleh akal manusia.
            Berdasarkan kritik matan di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah bersifat shahih dan maqbul. Sebab hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis lain dan dalam kandungan redaksi matannya tidak terdapat sesuatu hal yang dapat mengurangi keabsahan hadis tersebut.selain itu, hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, akal sehat


[1] Maktabah syamilah al-itsdar al-tsani
[2] Maktabah syamilah al-itsdar al-tsani


Senin, 04 Maret 2019

Mengkaji Ritual Ramadhan Melalui Pendekatan Antropologi (Studi Ritual Ramadhan di Dusun Corogo, Desa Janti, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang)



Oleh : M. Achwan Baharuddin

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadilah: 11)
A.    Pendahuluan
Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Islam, tidak terkecuali di dusun corogo. Sebuah pedusunan kecil yang terletak di pinggiran timur kota Jombang sekitar 10 KM. Pada umumnya, umat islam menyambut bulan istimewa dengan membuat kegiatan-kegiatan yang hanya bisa ditemui pada bulan ini saja, seperti buka bersama, tadarrusan, kultum, dan sebagainya. Setiap tahunnya, gegap gempita Ramadhan selalu diiringi dengan berbagai pengulangan ajaran normatif oleh para penceramah, seperti terhapusnya dosa selama setahun jika berpuasa karena Allah SWT, keutamaan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya, keutamaan membaca al-Quran dan sebagainya.
Terlepas dari dogmatisasi kegiatan ramadhan, sesungguhnya kegiatan tersebut secara tidak sadar melahirkan sebuah strata kelas (meminjam istilahnya Mark). Strata itu, secara a priori terlahir dari strata ekonomi yang ada. Namun demikian, melihat fenomena masyarakat tidak hanya cukup kepada level tersebut, kita harus melangkah kapada a posteriori sehingga pengetahuan itu tidak bersumber kepada praduga.
Untuk menjembatani dua kutub tersebut kepada dua sintesis yang “cukup adil”, maka kita harus lebih dahulu mempunyai kesadaran bahwa fenomena yang ada tidak sesederhana demikian. Mudjahirin Thahir(2011:39) mengatakan, bahwa realiats sosial memiliki 5 dimensi atau lapisan, yaitu empirik, simbolik, makna, ide dan world view. Dengan demikian, realitas itu sebenarnya sederhana, namun begitu rumit dan pelik untuk dipahami.
Salah satu tujuan penulisan ini adalah mengungkap lapisan realitas Ramadhan yang ada. Pada awalnya, realitas tersebut tidak berarti apa-apa, hanya masalah soal strata ekonomi belaka, sampai pada perjumpaan dengan antropologi melahirkan berbagai pertanyaan dan persoalan yang harus dijelaskan. Salah satunya adalah pembuktian apakah benar strata itu berdasarkan ekonomi? Atau ada hal lainnya yang sesungguhnya tersembunyi dalam membentuk fenomena demikian.
B.     Kerangka Teori
Penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada masyarakat jawa telah menjadi primadona bagi peneliti antropologi pemula. Hasil penelitiannya yang dibukukan dan diterjemahkan sebagai Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, menyatakan bahwa masyarakat jawa terdiri dari tiga kelas; abangan, santri, priyayi, cukup menarik perhatian. Ketertarikan tersebut berdasarkan pada sebuah pertanyaan sejauh mana relevansi teori Geertz tersebut pada masyarakat jawa saat ini, terutama masyarakat Muslim yang ada di pedusunan?
Acuan dasar dari pertanyaan tersebut adalah fondasi dasar yang coba dikembangkan oleh Madzab Frankfut dalam melihat realitas sosial. Bagi mereka, kategori-kategori teoritik yang digunakan dalam menganalisa fenomena sosial tidak lebih dari ketergantungan kategori-kategori tersebut yang terikat dengan waktu dan tempat (Ritzer dan Smart, 2012:354). Dengan demikian, kategori-kategori tersebut bersifat relatif dan dapat berubah maupun berkembang.
Alasan yang diberikan oleh Madzab Frankfut adalah bahwa ilmu dan teori itu ada dalam masyarakat (Ritzer dan Smart, 2012:355). Dalam artian, bahwa keadaan masyarakat yang relatif-tentatif-homogen menunjukkan perbedaan, perubahan dan perkembangan menuntut sebuah teoritiasasi mengikutinya, bukan sebaliknya, yaitu masyarkat mengikuti teori-teori yang sudah ada. Dengan demikian, perkembangan keilmuan mengikuti perkembangan masyarakat, baik dari sisi kondisi tempat maupun waktunya.
Oleh karena itu, kategorisasi orang jawa yang dilakukan oleh Geertz memerlukan sebuah proses pengujian untuk teorinya.[1] Hal ini tidaklah hal yang baru, khususnya dalam Islamic Studies kontemporer, proses pengujian teori-teori yang sudah ada sehingga hal itu dapat diterima dan digunakan sebagai teori dalam melihat fenomena terkini, salah satunya adalah prinsip abduktif.[2] Amin Abdullah (2012:160) mengatakan, setidaknya dalam Islamic Studies ada tiga tahap perkembangan epistemologis, induktif, deduktif dan abduktif.
C.    Pembahasan
1.      Mengurai Kegiatan Ramadhan
Seperti yang sudah dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa Ramadhan di dusun Corogo seperti halnya Ramadhan pada umumnya. Nuansa islami begitu terasa disetiap sudut dusun kecil ini, dari adanya beberapa kegiatan terawih, tadarrus, sampai pada persoalan duniawi, seperti adanya bersih-bersih desa dan  sebagainya. Meskipun begitu, adanya subjektivitas penulis sebagai warga sehingga beberapa kegiatan tersebut seolah-olah hal yang wajar pada umumnya. Beberapa kegiatan yang penulis ikuti seperti pengajian  menjelang buka, shalat tewarih dan pembagian sedikit rejeki kepada tetangga juga mendapatkan penilaian penulis pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang wajar pada umumnya dan tidak ada menariknya. Orang-orang berbondong ke Mushollah, salah satunya Mushollah Nurul Iman, yang ada di RT 01/08, pada jam 16.45 wib. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa orang yang mendahului pergi ke Mushollah untuk memberikan tanda kepada warga bahwa kegiatan itu segera dimulai.
Bapak Abu Rahmah Adhami dan Bapak H. Adam Malik, dua orang yang secara bergantian untuk memberikan tanda kepada warga bahwa kegiatan itu segera dimulai. Selain itu, ada Ibu Umi Karimah dan Ibu Sholihatun juga memberikan tanda sebagaimana kedua bapak-bapak tadi. Meskipun sama-sama sebagai petanda, namun tanda yang dihasilkan oleh mereka berbeda. Bagi kedua tokoh laki-laki diatas, setiap jam 16.30 memulai bacaan shalawat di Mushollah dengan pengeras suara dan di tutup dengan kalimat,
“monggo poro bapak-ibu warga corogo lor, bileh kegiatan pengajian dipun wiwite amergi waktu sampun jam 16.30 wib”.
Dari tanda tersebut dan jarak sekitar 5 menit, maka pengajian dengan Uztadz Helmi pun dimulai. Lain halnya dengan para bapak, kedua tokoh wanita diatas memberikan tanda mulai dari keluar rumah masing-masing sampai dengan mushollah, setiap orang, terutama wanita, yang dijumpai disapa dengan,
“monggo yuk....ayo bi....nang mushollah, ngajine wes dimulai”.
Pada hakikatnya, dua tanda tersebut sama, yaitu mengajak para warga sekitar untuk mengikuti pengajian yang diadakan di Mushollah Nurul Iman. Oleh karena itu, opini yang terbentuk dari kegiatan tersebut, terutama bagi penulis, adalah sebuah kegiatan umum yang ada dalam masyarakat islam dimana ada sebuah tokoh yang memerankan sebagai “malaikat jibril” yang bertugas untuk mengingatkan kepada manusia.
Lebih jauh, kegiatan tersebut juga berjalan normal adanya. Desain Mushollah Nurul Islam yang mendukung untuk di pisah antara jamaah pengajian putra dan putri juga indikator keumumannya. Selain itu, para jamaah juga duduk melingkar sehingga posisi tengah mushollah dibiarkan kosong. Bagi para jamaah yang mempunyai anak kecil, posisinya diluar ruangan (teras mushollah), sehingga aktivitas anaknya tidak mengganggu konsentrasi pengajian yang sedang berlangsung.
Namun demikian, ketika suatu hari penulis datang terlambat, tepatnya pada 13 Ramadhan, sehingga memaksa untuk duduk diluar-hal ini juga dikarenakan sudah penuhnya jamaah yang ada didalam. Seorang wanita, mbah Isa namanya,  nyeletuk
“mas...monggo kedalem, ten mriki panggonane wadon-wadon” (Mas, masuk kedalam ruangan saja, diluar itu tempatnya wanita)
 Perkataan Mbah Isah pun disetujui oleh Ibu Anik
iyo mas....mlebet mawon, mriki panggonane ibu-ibu” (Ya mas, masuk saja, disini tempatnya ibu-ibu).
Oleh karena itu, pengetahuan posisi, bahkan di Mushollah di dusun kecil pun, akan menyelematkan seseorang dari pandangan-pandangan negatif. Tetapi, sebelum beranjak ke dalam Mushollah, seorang laki-laki juga datang terlambat. Berbeda dengan sambutan yang diterima oleh penulis, laki-laki itu datang mengetahui bahwa salah satu sudut tempat yang dijadikan duduknya telah ditempati oleh seorang wanita, meskipun tempat duduk itu juga ada diluar Mushollah.
minggir-minggir, iki panggonku” (beranjaklah dari tempat dudukmu, itu tempat duduk saya)
“gak iso, iki gone wong wadon, teko keri ngusir” (tidak bisa, ini adalah area wanita, kamu juga datangnya terlambat tetapi menyuruh orang pergi)
“wes, pokok e minggir” (saya tidak tahu-menahu, kamu harus pergi)
“kene, lunggoh jejer ku ae nek ngunu” (sebelah sini, duduk disebelah saya kalau masih ingin duduk disini)[3]
Tentunya, percakapan tersebut juga sederhana dan biasa, namun jika dipahami lebih jauh bahwa percakapan tersebut merupakan perdebatan opini yang dimiliki oleh mereka berdua. Pemahaman atas opini seperti demikian juga pernah terjadi sebelum dan sesudahnya, yaitu  jika laki-laki terlambat maka dia langsung masuk ke dalam Mushollah dengan tidak menghiraukan apakah didalam sudah penuh atau tidak. Hal ini juga terjadi pada beberapa tokoh penting Dusun Corogo jika datang terlambat, baik dari tokoh laki-laki maupun wanita.
2.      Mengenal Masyarakat Dusun Corogo
Dusun Corogo merupakan sebagian wilayah administrasi dari Desa Janti, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Selain Corogo, wilayah administrasi Desa Janti melingkupi Dusun Gereh, Janti Tengah dan Janti Barat. Berbeda dengan beberapa wilayah administrasi lainnya, Dusun Corogo merupakan wilayah yang terpisah dari Janti secara geografis dimana bentangan sawah beberapa hektar memisahkannya.
Selain persoalan geografis, Corogo memiliki budaya yang berbeda dari pada dusun lainnya yang masih dalam wilayah administrasi Desa Janti. Salah satunya adalah sisi ekonomi. Secara ekonomi, warga masyarakat Corogo jauh berbeda dengan dusun lainnya dimana sebagian masyarakatnya terkategori masyarakat menengah kebawah. Untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, para warga banyak yang menjadi buruh sawah di alam sekitar.
Pada pagi hari setelah melaksanakan shalat subuh, mereka sudah berhamburan keluar rumah untuk pergi ke sawah, baik untuk melakukakan panen, nandur, mengontrol atau bahkan hanya sekedar mengairi sawah. Dalam kacamata Geertz, tentunya fenomena ini digolongkan kepada tipologi abangan dimana kehidupan kesehariannya tidak dapat dilepaskan dari kegiatan di sawah. Hal ini dikarenakan sawah merupakan salah satu tempat untuk mencukupi kebutuhan ekonominya. Selain sawah, bagi para pekerja sawah juga melakukan kegiatan ekonomi di pasar dan kota.
H. Adam Malik, salah satu tokoh sentral dalam kegiatan pengajian Ramadhan, di pagi Hari pergi ke sawah, pada siang hari sudah berpindah ke pasar. Tentunya, bagi Adam, sawah dan pasar memiliki posisi yang sama, yaitu sumber ekomominya. Hal yang sama dilakukan oleh Sunarto, di pagi hari ke sawah dan siangnya menjadi pekerja bangunan di kota. Ketika musim yang menuntut mereka berdua lebih banyak waktu di sawah, seperti musim panen dan tandur, maka mereka meninggalkan kegiatan di pasar dan bangunannya.[4] Meski demikian, beberapa warga ada yang menjadikan sawah sebagai sumber tunggal ekonominya, hal ini diwakili oleh Rojali dan Kusnan. Mereka berdua, kehidupannya tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan di sawah, sehingga jika sawah tidak ada kegiatan maka mereka tidak mempunyai kesibukan.
Disamping sawah dan pasar sebagai sumber kehidupan ekonomi, terdapat beberapa warga dusun yang menjadikan birokrasi, kantor, pabrik, pendidikan dan wirausaha sebagai sumber ekonominya. Abu Rahmah Adhami dan Umi Karimah, misalnya, menjadikan pendidikan sebagai sumber ekonominya, meskipun mereka bukan dibesarkan dari keluarga yang memiliki pendidikan sebagai konsentrasinya. Abu Rahmah dan Umi Karimah sama-sama sebagai Guru Professional di SMK N dan SMP N salah satu di kota tersebut. Bagi mereka, meski tidak dibesarkan oleh keluarga yang berpendidikan, mereka menganggap hal itu penting dan dapat memberikan kehidupan yang berbeda.
Selain mereka berdua, Saifuddin juga merupakan warga yang menjadikan pendidikan sebagai sumber ekonominya. Saifuddin bekerja sebagai staff pengajar salah satu kampus ternama di Propinsi Jawa Timur dan tidak mempunyai kesibukan selain mengajar. Kumala Dewi, sebagai istri dari Saifuddin, juga tidak memilki kesibukan kecuali menjadi Ibu Rumah Tangga. Sistem keluarganya merupakan warisan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya, yaitu Hj Sholihatun-H.Sofjan Hadi dimana keduanya merupakan tokoh dusun Corogo.
Birokrasi diwakili oleh Fuad Hasanuddin dan M Eksan Wahyudi dimana keduanya sumber ekonominya tidak dapat dilepaskan dari birokrasi. Fuad sebagai kepala pedukuhan sehingga waktu kesehariannya dihabiskan di kelurahan. Sedangkan Eksan, meski bukan petugas desa, dia  merupakan salah satu warga yang peduli dengan isu-isu sensitif birokrat, baik di pedukuhan, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi maupun negara.
Selain beberapa sumber ekonomi diatas, sebagian masyarakat Corogo menjadikan pabrik dan wirausaha. Masyarakat buruh pabrik ini diwakili oleh Masyithah, Habibah, Nana dan sebagainya dimana rata-rata mereka mengenyam pendidikan sampai SMP-SMA sederajat. Sedangkan wirausaha diwakili oleh Saifullah, Andri, Lutfi, Udin dan sebagainya dimana mereka sama-sama hanya mengeyam pendidikan sampai SMP-SMA, namun tidak tertarik dengan dunia buruh pabrik.
Sedangkan secara religiusitas, tipoli masyarakat Corogo tidak begitu menonjol. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan Mushollah diluar bulan Ramadhan tidak begitu ramai seperti halnya kegiatan di Mushollah bulan Ramadhan.  Beberapa warga yang menjadikan rutinitas jamaah ke Mushollah, seperti Mulyono, H. Adam Malik, Hj. Sholihatun, Syamsuddin, Mar’ah, Isa, Wagirin, Syafi’i dan sebagainya. Beberapa orang tersebut dalam kegiatan Ramadhan tidak menonjol kecuali beberapa orang. Seperti H. Adam Malik, baik dalam maupun diluar Ramadhan, selalu hadir dalam setiap kegiatan di Mushollah. Keaktifan tersebut dapat dilihat dari posisinya ketika pengajian Ramadhan, disamping sebagai orang yang berperan memberikan tanda akan dimulainya pengajian, H. Adam juga selalu menempati posisi duduk dideretan paling depan sejajar dengan penceramah.
Hal itu juga terjadi pada Hj. Shalihatun dimana dia selalu duduk sejajar dengan penceramah, meski pada wilayah wanita. Hal serupa juga dialami oleh Umi Karimah. Tetapi, perbedaan keduanya terletak pada sisi religiusitas diluar Ramadhan dimana Hj. Shalihatun selalu hadir dalam kegiatan Mushollah, sedangkan Umi Karimah hanya beberapa momen kegiatan. Kondisi Umi Karimah juga sama dengan yang dialami oleh Abu Rahmah Adhami, meski pada kegiatan pengajian Ramadhan menduduki posisi yang sama dengan H. Adam, tetapi diluar Ramadhan dia hanya terlihat aktif pada beberapa sebagian kegiatan yang diadakan di Mushollah. Meskipun mereka berdua tidak aktif dalam kegiatan Mushollah diluar Ramadhan, semua kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat Corogo, bahkan kegiatan non-keagamaan, selalu meminta pendapat dan persetujuan darinya. Hal ini terjadi ketika kegiatan tarling menyambut bulan Ramadhan dimana para pemuda mendiskusikan format acara kepada beberapa tokoh, salah satunya kepada Abu Rahmah Adhami dan Umi Karimah.
Oleh karena itu, realiatas masyarakat diatas seolah-olah mendukung beberapa tokoh yang sependapat dengan tipologi masyarakat jawa yang digagas oleh Geertz. Mark R Woodward (1999: 2-4) melihat bahwa tipologi tersebut hanya dapat dilihat dari prespektif islam modernis dan kolonial. Hal ini, menurutnya, bahwa framework yang dipakai oleh Geertz tidak dapat dilepaskan dari islam prespektif keduanya. Oleh karena itu, Martin Jay (2013:385) berpendapat netralisir sebuah realitas dari beberapa teoritikal yang ada harus melepaskan semua teori-teori tersebut dan mensistesiskan realitas kepada teori baru, bukan realitas yang harus tunduk kepada teori.
Dengan demikian, untuk memahami realitas masyarakat dan berlangsungnya pengajian ramadhan di Dusun Corogo, maka diperlukan titik temu antara realitas sehari-hari masyarakat dengan realiatas yang ada dalam pengajian. Secara garis besar, tujuan sub-bab berikut ini adalah memahami kedua realitas dan mensitesiskan sehingga melahirkan sebuah teori dari realitas yang ada.
3.      Memahami Kegiatan Ramadhan
Puncak dari penelitian ini adalah menguaraikan secara antropologis kegiatan pengajian ramadlan di Dusun Corogo. Salah satu titik berangkat untuk menjelaskan, sebagaimana struktur tulisan ini, adalah dengan melihat kegiatan ramadlan dengan tipologi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya pada rangkaian pengajian. Oleh karena, sebagai peneliti yang meniliti rutinitas kegiatan warganya sendiri, antara kesadaran subyektif dan obyektif sangat diperlukan.
Kesadaran subyektif merupakan alat untuk menelaah realitas yang secara tidak sadar memiliki nilai-nilai antropologetik. Sedangkan kesadaran obyektif adalah alat untuk menjelaskan realitas tersebut tanpa adanya tendesi yang memihak kelompok tertentu. Tentunya, hal ini sama dengan sebuah penelitian diri sendiri dan menjelaskannya kepada khalayak umum. Sebuah tindakan yang menuntut diri sendiri untuk mencari formula bahwa argumen yang disusun dapat diterima oleh khalayak umum sebagai kebenaran.
Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, bahwa kegiatan pengajian ramadlan merupakan sebuah area warga untuk mengisi waktu disore hari dalam rangka menunggu datangnya adzan maghrib dengan menimba ilmu. Dengan dipelopori oleh kedua tokoh sentral, H. Adam Malik dan Abu Rahmah Adhami, pengajian tersebut seolah menegaskan posisi keduanya dalam struktur masyarakat. Hal ini terlihat dalam struktur duduknya yang tidak pernah tergantikan, mereka berdua selalu duduk disamping penceramah. Selain itu, sebuah tindakan pada penutupan pengajian menjadikan bukti lain dari posisi tersebut. Hal itu tercermin kepada persoalan bingkisan untuk penceramah,
Abu : iki pak ustadz e egk iso gowo bingkisane.
H. Adam : Fuad, ngongkon sopo kunu
Fuad : lha yo, pak Abu karo H. Adam iki piye, bingkisan sak mene yow Ustadz e ora iso gowo
Pul, ngajak o To ngeterno bingkisan nang omah e Ustadz iki
Sunarto : nganggo opo?
Fuad : nganggo motor kae lho (sambil menunjuk ke luar Mushollah)
Saifulloh : giaplek, sak karepe dewe ae rek
Husnan : motor sak mono akene bingung, nyileh diluk gone andri.
Saifulloh dan Sunarto : njeh
Percakapan tersebut memang sederhana, namun jika dianalisa lebih jauh bahwa percakapan tersebut menunjukkan posisi masing-masing dengan tugasnya. Oleh karena itu, struktur masyarakat Dusun Corogo pada umumnya memiliki peranan penting disini. Jika diamati secara seksama, percakapan tersebut mempunyai struktur fungsional masyarakat seperti berikut:
Tokoh
Peranan
H. Adam Maklik
Abu Rahmah Adhami
Memiliki kewenangan untuk memerintah dan mengatur
Fuad
Menerima perintah dan memiliki kewenangan untuk memerintah dan mengatur, tetapi tidak sampai kepada batas peranan H. Adam Malik dan Abu Rahmah Adhami
Saifulloh
Sunarto
Menerima perintah dari dua kategori diatas, namun perintah kategori pertama lebih absolut dari pada perintah kategori kedua yang lebih cenderung tentatif

Sebagaimana sub bab mengenal masyarakat Dusun Corogo, bahwa tipologi masyarakat jawa yang ditetapkan oleh Geertz tidak sepenuhnya dapat diterapkan, maka tipologi masyarakat Corogo tentunya menarik untuk dipelajari lebih jauh. Mudjahirin Tahir (2006:272) mengidentifikasi bahwa masyarakat jawa, selain jawa pesisiran, adanya sebuah hirarki dalam memandang manusia, yaitu dari golongan wong gedhe dan wong cilik cenderung kepada status pekerjaan. Oleh karena itu, status mereka dalam kehidupan sosial ditentukan oleh pekerjaan halus (kantoran) dan kasaran (pertanian dan perdangan). Namun, fenomena pekerjaan yang dimiliki oleh beberapa pelaku dalam pembicaraan tersebut beragamam dan cenderung memilki dua pekerjaan.
Tokoh
Pekerjaan
H. Adam Malik
Pertanian (kasar)
Perdagangan (kasar)
Abu Rahmah Adhami
Guru (halus)
Fuad
Ketua Dukuh (halus)
Sunarto
Pertanian (kasar)
Bangunan (kasar)
Saifullah
Wirausaha (kasar)

Kategori pekerjaan beberapa orang tersebut secara tidak langsung menolak anggapan Mudjahirin Tohir diatas. Hal ini, dua tokoh sentral realitasnya memilki pekerjaan kategori halus dan kasaran. Kategori pekerjaan Fuad juga seharusnya menjadikan orang terpandang, namun pada realitasnya masih merasakan adanya sebuah perintah dari sesama manusia yang harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa hirarki dalam masyarakat di Dusun Corogo ada, namun tidak sebagaimana yang jelaskan oleh Mudjahirin Tahir.
Hirarki masyarakat Dusun Corogo diatas, oleh penulis klasifikasikan sebagai berikut.
Tokoh
Kategori
Kelompok
Ideologi
H. Adam Malik
Atas
Kyai
Pemimpin
Abu Rahmah Adhami
Atas
Kyai
Pemimpin
Fuad
Menengah
Pengurus
Dipimpin
Sunarto
Kebawah
Santri
Dipimpin
Saifullah
Kebawah
Santri
Dipimpin

Sesungguhnya, hirarki tersebut tidak lain merupakan hasil interelasi nilai-nilai pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ridin Sofwan (200:119) interelasi dalam islam tidak hanya pada nilai tidak hanya pada satu arah, namun terkadang juga berlawanan arah, sehingga kebudayaan jawa begitu komplek. Kompleksitas tersebut, menurut Woodward (1999:5) menjadikan kebudayaan jawa menarik menarik untuk diteliti lebih jauh. Selain itu juga, Woodward (1999:2) mengatakan bahwa para sarjana kesulitan untuk menemukan kesapakatan dalam penelitian dibandingkan dengan peniliti lainnya.
Meskipun dalam masyarakat Dusun Corogo, interelasi nilai-nilai pesantren sangat kuat, namun dalam sisi tuturan, masyarakatnya tidak sepenuhnya mengikuti nilai-nilai pesantren. Hal ini terlihat bahwa percakapan diatas tidak digunakannya norma strata tuturan sebagaimana yang dipegang teguh dunia pesantren. Dalam hal ini, masyarakat Dusun Corogo terpengaruh dialek suroboyoan,dimana lebih cenderung meniadakan strata kelas dalam tuturan.
D.    Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa strata sosial yang ada di Dusun Corogo, secara tidak langsung menggambarkan peranan tinggi sosial seseorang karena kecakapan ilmu, pengetahuan, dan wawasannya. Jadi, derajat tinggi bukan hanya sekadar jabatan atau pekerjaan tinggi. Derajat juga bukan dalam artian gaji tinggi, tetapi derajat juga dapat diartikan sebagai peranan yang dimiliki ditengah masyarakat sehingga keilmuan yang dimiliki benar-benar menjadikannya orang berguna.
Oleh karena itu, keilmuan bukan berarti selamanya diartikan sebagai pendidikan formal, semua pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk orang banyak adalah sebuah ilmu dan menjadikan pemiliknya memiliki keistimewaan berbeda dengan orang lain.
E.     Daftar Pustaka
Abdullah. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Amin. Darori (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang:PKIBJ IAIN Walisongo dan Gramedia, 2000
Geertz. Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, tk:tp,tt.
Jay. Martin, Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Nurhadi, terj, Bantul: Kreasi Wacana, 2013
Ritzer. George dan Smart. Barry, Handbook Teori Sosial, Imam Muttaqien, dkk, penj, Bandung: Nusa Media, 2012.
Thohir. Mudjahirin (ed), Refleksi Pengalaman Penelitian Lapangan: Ranah Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Semarang: Fasindo, 2011
Thohir. Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo, 2006
Woodward. Mark R, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Hairus Salim, penj. Yogyakarta:LkiS, 1999.


[1] Menurut Mudjahirin Thohir (2006:9), kategorisasi Geertz berdasarkan struktur sosial masyarakat jawa, tepatnya Mojokuto, yaitu desa yang cenderung animistik dengan tradisi slametan, pasar yang cenderung Islamistik dengan perdangangan dan birokrasi yang cenderung Hinduistik.
[2] Pola pikir abduktif adalah pola pikir yang lebih menekankan adanya unsur hipotesa, interpretasi, proses pengujian, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan yang dihasilkan dari kombinasi dua pola induksi-deduksi untuk memperoleh sebuah pengetahuan.
[3] Pengamatan pada pengajian 19 Ramadhan
[4] Hal ini juga dimungkinkan dengan adanya pandangan bahwa sawah sudah tidak dapat dijadikan sumber ekonomi tunggal sebagaimana masyarakat yang diteliti oleh Geertz.